"Teriak saja, maka aku akan bilang pada orang-orang kau yang menghentikan mobil dan menggodaku," tukas Caden.
"A-pa ... apa katamu? Lihat saja mereka pasti tidak akan percaya padamu!" Caden menyeringai mendengar itu."Coba saja!" ucapnya. "A-pa?" Liz tertegun karena tidak menyangka Caden justru menantang dia. Memanfaatkan kesempatan, Caden justru kemudian membopong Liz di pundaknya. Perempuan muda itu memekik dan memukul-mukul punggung Caden. Namun Caden malah memasukkan Liz ke dalam mobil dan membawa gadis itu pergi dari sana.*** "Hentikan, hentikan mobilnya sekarang atau aku akan berteriak!" Liz yang duduk di samping Caden kembali mengancam. "Kau ini aneh sekali. Selalu mengancam akan berteriak. Kau tadi menjerit saja tidak ada yang datang menolong." "Kau ....!" Ucapan Liz terhenti saat menyadari kebenaran kata-kata Caden. Ia kemudian menyadari bahwa tempat Caden menghentikan dia adalah tempat yang sepi. Caden bersiul sambil tersenyum senang."Jika ingin menjatuhkan lawan, kau harus mengetahui kelemahan lawanmu."*** "Mau apa kita kemari?" tanya Liz saat Caden membawa dia ke apartemen. "Kita bisa melakukan banyak hal di tempat ini." "Aku tidak mau melakukan apa pun bersamamu. Aku mau pulang saja." Liz berbalik dan hendak pergi, tetapi Caden justru menarik Liz ke dalam lift. "Hei, apa yang kaulakukan?" tegur Liz yang berniat keluar dari lift. Caden tentu tidak tinggal diam. Ia kembali menarik Liz dan mendorongnya ke dinding lift. Kedua tangan lelaki itu mengekang hingga Liz tidak bisa untuk pergi dari sana. Pintu lift kemudian menutup. "Ka-u ...," ucap Liz dengan suara tersendat. Wajah Caden yang begitu dekat dengannya. Embusan napas hangat lelaki itu membuat detak jantungnya menjadi tidak teratur. Liz segera mengalihkan pandangan dari Caden. Sungguh aneh jika ia merasakan sesuatu pada pria yang telah menghancurkan hidupnya. Lift berguncang sebentar dan lampu padam. Liz menjerit ketakutan. Matanya kemudian terpejam rapat dan ia memeluk Caden tanpa sadar. "Kau memang perayu ulung, bahkan langsung memelukku begitu saja," ucap Caden. Liz tersadar dan melihat semua telah kembali normal. Ia segera mendorong pria itu menjauh. "Awas saja kalau kau macam-macam denganku!" ancamnya. "Kau yang macam-macam, bahkan memelukku lebih dulu. Apa kau juga berpikir untuk tidur denganku?" "Kau!" geram Liz sambil mengangkat tangan untuk memukul Caden. Namun Caden menahan tangan tersebut. "Kau sudah menamparku kemarin. Selain memukul, apa tidak ada hal lain yang bisa kaulakukan?" tanya pria itu. Tanpa menjawab, Liz segera menendang tulang kering Caden. Pria tersebut segera melangkah mundur dengan terpincang. Wajahnya juga mengernyit menahan sakit. Matanya menatap tajam pada Liz, tetapi perempuan tersebut hanya tersenyum saja. Pintu lift membuka dan beberapa orang berjalan masuk. Seorang pria melihat Liz dengan sorot mata penuh hasrat. Hal itu membuat Liz merasa risih. Pria tersebut bahkan berpindah untuk berdiri dekat dengan Liz. "Maaf," ucap Caden sambil merangkul pundak Liz."Istriku tidak nyaman kau melihatnya seperti itu. Aku juga tidak suka, kecuali kau ingin aku menghajarmu hingga babak-belur, sebaiknya kau berhenti melihat istriku dan pindah ke tempat lain." Pria itu melihat sorot mata Caden yang mengancam hanya mengangguk saja. Ia juga menurut untuk pindah dari sana. Pintu lift membuka. Caden kemudian menggandeng tangan Liz untuk keluar dari lift tersebut.*** Caden mengetik sandi untuk membuka pintu apartemen. Liz menyadari bahwa itu adalah kesempatan dia pergi dari sana. Akan tetapi, saat ia hendak lari, Caden menarik kerah bajunya dan menyeret dia masuk. "Aku mau pulang!" seru Liz yang bergegas menuju pintu. Namun Caden kembali menghalangi dia. Pintu tersebut kemudian menutup di hadapan Liz. Liz segera mendorong Caden dan berlari menuju pintu. Namun apa pun yang dia lakukan, pintu tersebut tidak bisa membuka. "Pintu itu telah mengunci otomatis. Tanpa sandi dariku, kau tidak akan bisa membukanya," ucap Caden. Liz berbalik dan menatap pria itu kesal."Sebenarnya apa yang kauinginkan? Kenapa membawaku kemari dan menahanku di sini?" Caden menarik Liz dan merengkuh dalam pelukan. Ia kemudian mendorong gadis itu ke sofa besar yang ada di sana. Caden membuka satu per satu kancing bajunya. "Apa yang kaulakukan?" tanya Liz panik sambil mengangkat tangannya sebagai tameng. Kedua matanya juga terpejam rapat. Caden mendekat dan tersenyum melihat Liz yang masih memejamkan mata sambil mengangkat tangan. Perlahan tangan pria itu terulur hendak menyentuh pipi Liz. Akan tetapi, sesaat kemudian dia tersadar dan menggeleng. Caden berdehem sesaat. "Pikiranmu itu terlalu kotor," ucap Caden sambil menjentikkan jari di kening Liz. Liz sontak membuka mata dan melihat Caden masih berpakaian lengkap, hanya saja pria itu mengganti kemeja putih yang dikenakan dengan kaos hitam. "Aku hanya berganti pakaian. Lagipula meski aku membuka seluruh pakaianku, seharusnya kau tidak perlu memejamkan mata. Bukankah kau telah mengenal tubuhku dengan sangat baik?" Wajah Liz bersemu mendengar kata-kata Caden. Pria itu kemudian mendekat dan berbisik di telinganya,"Sama sepertiku, aku juga mengenal tubuhmu dengan baik." Melihat Liz hanya diam, Caden tersenyum dan menaruh kemeja putih yang tadi dia kenakan di pangkuan Liz. "Ini cuci bajuku!" perintahnya. Liz tersadar dan dengan mata membeliak menatap Caden. "Apa maksudmu?" "Apa? Apa kaupikir aku membawamu kemari untuk tidur denganku? Jangan harap!" "Aku membawamu kemari agar kau bisa membersihkan tempat ini, mencuci pakaianku, dan memasak untukku." "Aku tidak mau!" "Jika kau tidak mau, maka aku akan memberitahu orang-orang kalau kau adalah istriku yang kabur dariku." Tangan Caden kembali mengungkung tubuh Liz sama seperti yang dia lakukan sebelumnya di lift."Saat itu, aku ingin tahu apa masih ada pria yang mendekatimu dan memboroskan uang mereka untukmu." Tangan Caden kemudian terulur dan memainkan rambut Liz."Kau harusnya berterima kasih, aku mengajarimu untuk mencari uang dengan cara yang baik. Jika kau bisa menyelesaikan pekerjaan, nanti aku akan membayarmu." "Baiklah, aku akan melakukannya," sahut Liz. Caden tersenyum dan mengangguk. Tatapan matanya kemudian jatuh pada bibir penuh Liz. Ia kemudian mendongakkan wajah Liz dan bibirnya kian dekat. Liz sendiri seolah membeku tanpa ada niat untuk melawan. Suara dering ponsel menyadarkan keduanya. Caden segera beranjak dan meraih ponsel tersebut, sedang Liz menghela napas lega. 'Apa-apaan aku ini? Apa aku akan membiarkan Caden menciumku?' tegur Liz pada dirinya sendiri.'Liz, ingat, Liz, dia pria yang jahat. Hidupmu, masa depanmu, semua hancur karena dia.'*** Caden berdiri di beranda sambil melihat pada Liz melalui pintu kaca. Seulas senyum muncul di bibirnya. 'Aku pasti sudah tidak waras. Kenapa aku malah mau mencium dia?'
Bocah lelaki itu berlari kecil menuju meja. Tanpa menghiraukan peluh yang bercucur, tangannya terulur untuk mengambil salah satu kue berwarna cerah yang tersaji di atas meja. Seorang perempuan muda segera menahan tangan bocah tersebut. "Cuci tanganmu dulu, Axel. Setelah pulang sekolah, langsung mau makan kue, kotor banget pasti tuh tangan," tegur perempuan berparas jelita tersebut. "Mom, kuemu pasti enak sekali. Aku ingin mencicip." "Cuci tangan dulu baru makan kue. Ganti seragammu juga!" Wajah Axel menunduk. Ia kemudian segera bergegas berdiri dari duduknya dan berlari menuju kamar.*** "Mom terlalu cerewet, padahal aku ingin cepat-cepat makan kue. Kalau begini, aku tetap saja nggak bakal kebagian," keluh Axel dalam hati. Setelah berganti pakaian, bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut berjalan dengan wajah cemberut. "Axel, kenapa,
Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah. Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue. "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah. "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.*** Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.&nb
Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut. "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas. Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak? "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja. Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera H
Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri. "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu. "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat. "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja. Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mend
Axel baru tiba di rumah, tetapi Liz telah menjewer dia. "Pak Edwar tadi menelepon, dia bilang kau kabur dari sekolah. Dia sempat mencari-carimu. Mom tadi juga mau ke sana, tapi dia lalu bilang kau sudah kembali," omel Liz pada anak lelakinya itu. Axel kemudian justru menangis dengan keras."Mom marah karena Pak Edwar. Mom tidak sayang lagi padaku. Mom lebih sayang sama dia.," "Kau ini, sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Liz sambil melepas jeweran dari telinga bocah lelaki itu. "Sudah, jangan menangis lagi," ucap Liz lagi saat melihat bocah itu masih saja sesenggukan. Perempuan tersebut kemudian memberi kue pada Axel. "Mom, itu tadi bukan salahku. Pak Edwar yang salah. Dia nggak bisa nemuin aku," ucap Axel sambil mengunyah kue. Tangis bocah tersebut telah reda sepenuhnya. "Mom, jangan suka sama dia. Dia nggak bisa jaga aku. Aku cuma
"Teriak saja, maka aku akan bilang pada orang-orang kau yang menghentikan mobil dan menggodaku," tukas Caden. "A-pa ... apa katamu? Lihat saja mereka pasti tidak akan percaya padamu!" Caden menyeringai mendengar itu."Coba saja!" ucapnya. "A-pa?" Liz tertegun karena tidak menyangka Caden justru menantang dia. Memanfaatkan kesempatan, Caden justru kemudian membopong Liz di pundaknya. Perempuan muda itu memekik dan memukul-mukul punggung Caden. Namun Caden malah memasukkan Liz ke dalam mobil dan membawa gadis itu pergi dari sana.*** "Hentikan, hentikan mobilnya sekarang atau aku akan berteriak!" Liz yang duduk di samping Caden kembali mengancam. "Kau ini aneh sekali. Selalu mengancam akan berteriak. Kau tadi menjerit saja tidak ada yang datang menolong." "Kau ....!" Ucapan Liz terhenti saat men
Axel baru tiba di rumah, tetapi Liz telah menjewer dia. "Pak Edwar tadi menelepon, dia bilang kau kabur dari sekolah. Dia sempat mencari-carimu. Mom tadi juga mau ke sana, tapi dia lalu bilang kau sudah kembali," omel Liz pada anak lelakinya itu. Axel kemudian justru menangis dengan keras."Mom marah karena Pak Edwar. Mom tidak sayang lagi padaku. Mom lebih sayang sama dia.," "Kau ini, sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Liz sambil melepas jeweran dari telinga bocah lelaki itu. "Sudah, jangan menangis lagi," ucap Liz lagi saat melihat bocah itu masih saja sesenggukan. Perempuan tersebut kemudian memberi kue pada Axel. "Mom, itu tadi bukan salahku. Pak Edwar yang salah. Dia nggak bisa nemuin aku," ucap Axel sambil mengunyah kue. Tangis bocah tersebut telah reda sepenuhnya. "Mom, jangan suka sama dia. Dia nggak bisa jaga aku. Aku cuma
Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri. "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu. "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat. "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja. Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mend
Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut. "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas. Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak? "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja. Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera H
Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah. Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue. "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah. "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.*** Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.&nb
Bocah lelaki itu berlari kecil menuju meja. Tanpa menghiraukan peluh yang bercucur, tangannya terulur untuk mengambil salah satu kue berwarna cerah yang tersaji di atas meja. Seorang perempuan muda segera menahan tangan bocah tersebut. "Cuci tanganmu dulu, Axel. Setelah pulang sekolah, langsung mau makan kue, kotor banget pasti tuh tangan," tegur perempuan berparas jelita tersebut. "Mom, kuemu pasti enak sekali. Aku ingin mencicip." "Cuci tangan dulu baru makan kue. Ganti seragammu juga!" Wajah Axel menunduk. Ia kemudian segera bergegas berdiri dari duduknya dan berlari menuju kamar.*** "Mom terlalu cerewet, padahal aku ingin cepat-cepat makan kue. Kalau begini, aku tetap saja nggak bakal kebagian," keluh Axel dalam hati. Setelah berganti pakaian, bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut berjalan dengan wajah cemberut. "Axel, kenapa,