Axel baru tiba di rumah, tetapi Liz telah menjewer dia.
"Pak Edwar tadi menelepon, dia bilang kau kabur dari sekolah. Dia sempat mencari-carimu. Mom tadi juga mau ke sana, tapi dia lalu bilang kau sudah kembali," omel Liz pada anak lelakinya itu. Axel kemudian justru menangis dengan keras."Mom marah karena Pak Edwar. Mom tidak sayang lagi padaku. Mom lebih sayang sama dia.," "Kau ini, sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Liz sambil melepas jeweran dari telinga bocah lelaki itu. "Sudah, jangan menangis lagi," ucap Liz lagi saat melihat bocah itu masih saja sesenggukan. Perempuan tersebut kemudian memberi kue pada Axel. "Mom, itu tadi bukan salahku. Pak Edwar yang salah. Dia nggak bisa nemuin aku," ucap Axel sambil mengunyah kue. Tangis bocah tersebut telah reda sepenuhnya. "Mom, jangan suka sama dia. Dia nggak bisa jaga aku. Aku cuma main saja dibilang kabur. Mom, dia itu pengen aku dimarahi Mom." Liz mengangguk sambil tersenyum. Dengan penuh sayang, ia mengacak rambut ikal Axel. "Lagi-lagi seperti ini. Axel punya ribuan ide àgar tidak ada lelaki yang mendekatimu. Kau tahu itu, bukan?" tanya Nyonya Emma setelah Axel pergi ke kamar. Wanita itu memang telah mendengar percakapan Liz dan putranya itu. "Aku tahu, tidak apa, aku juga tidak tertarik dengan mereka." "Liz, kau harus mencoba membuka hatimu," ucap nyonya Emma. Namun Liz hanya menggeleng. Ia merasa tidak ada pria yang bisa membuka hatinya*** Tony mengantar Caden ke sebuah restoran untuk makan malam. Di apartemen yang disewa, tidak ada yang memasak, sehingga untuk makan malam, Caden harus bersantap di restoran. Caden keluar dari mobil dan berjalan masuk. Langkahnya terhenti saat sosok yang ia kenal berdiri di hadapannya. 'Perempuan ini ternyata juga berada di sini. Apa dia mengikutiku?' tanya Caden dalam hati. Liz sendiri juga tertegun saat melihat sosok Caden. Hatinya bertanya-tanya kenapa ia bertemu lagi dengan pria itu. "Liz, ada apa?" tegur Edwar sambil berjalan menghampiri. Edwar memang mengajak Liz untuk makan malam di restoran tersebut. Ia begitu senang karena Liz tidak menolak. Akan tetapi, Liz tidak menanggapi kata-katanya. Saat akan pulang, justru bertemu dengan pria yang tidak ia kenal. Edwar seketika merasa cemburu melihat Liz dan pria tersebut meski mereka hanya saling melihat. 'Ia juga mungkin menyukai Liz,' gumam Edwar dalam hati. "Liz," tegur Edwar lagi sambil menepuk bahu perrmpuan di sampingnya tersebut."Kenapa? Apa kau mengenal dia?" Liz menggeleng dan bergegas berlalu. Edwar segera mengikuti. "Kau bilang tidak mengenalku, tapi bukankah kau telah menghabiskan malam bersamaku?" tanya Caden. Pertanyaan tersebut membuat Liz menghentikan langkah dan berbalik. Ia kemudian menatap tajam pria itu. "Aku memang tidak mengenalmu. Aku juga sudah lupa kalau kita pernah bersama," sahut Liz ketus. Edwar yang mendengar itu terkesiap. 'Jadi benar mereka pernah bersama?' Ia kemudian menatap tidak percaya pada Liz. Perempuan yang ia sukai ternyata tidak sepolos dugaannya. Perempuan tersebut bahkan telah menghabiskan malam dengan seorang pria. Rasa kecewa menyusup ke dalam hati Edwar. Liz berbalik dan hendak berlalu pergi. Namun Caden mencekal tangan Liz dan menariknya dalam pelukan. "Jika kau lupa, maka aku bisa membuatmu mengingat lagi." Bibir Caden mendekat seolah hendak mencium Liz. Liz segera menghindar sehingga ciuman tersebut hanya menyentuh pipinya. Ia kemudian mencoba melepaskan diri dan mendorong Caden, tetapi pria tersebut tetap saja memeluk erat. "Lepaskan aku. Jika tidak, aku akan berteriak!" ancam Liz dengan penuh amarah. "Teriak saja, aku akan beritahu semua orang tentang kebiasaanmu menghabiskan malam dengan pria tidak dikenal demi uang. Mungkin setelahnya pria-pria di sini akan membayarmu tidur dengan mereka." "Kau ...!" geram Liz sengit. "Kenapa marah? Bukankah aku membantumu?" "Lepaskan aku!" tandas Liz lagi. Caden diam sesaat, tetapi kemudian ia melepaskan Liz. Tangan Liz kemudian terangkat dan menampar Caden dengan keras. Ia kemudian berbalik dan berlalu pergi. Edwar segera mengikutinya. Sedang Caden hanya menatap kedua orang tersebut sambil tersenyum dan mengusap pipinya yang memerah karena tamparan keras tersebut.*** "Liz, ada apa?" tanya nyonya Emma pada Liz yang baru pulang. Tadinya ia senang karena Liz mau pergi dengan Edwar untuk makan malam meski hanya untuk meminta maaf karena Axel terus saja berbuat usil di kelas pria itu. Nyonya Emma berharap kali ini Liz akan sungguh menemukan belahan jiwanya. Liz hanya menggeleng menanggapi pertanyaan nyonya Emma. Wanita itu merasa khawatir melihat Liz seperti itu. "Kenapa? Apa Edwar melakukan sesuatu yang tidak sopan? Apa dia menyinggungmu?" tanya nyonya Emma lagi. Liz kembali menggeleng. Nyonya Emma duduk di sampingnya sambil menghela napas. Ia tadi begitu yakin semua akan lancar. Axel yang selalu menjadi pengganggu acara kencan Liz bahkan telah lelap sejak sore. Jadi seharusnya semua berakhir baik. 'Tapi mengapa semua tetap saja berantakan?' gumamnya dalam hati. "Dia datang, dia telah datang ke kota ini. A-ku ... aku tidak tahu kenapa dia bisa berada di sini," ucap Liz dengan suara sarat emosi. "Dia? Ayah Axel?" tanya nyonya Emma pelan. Liz sontak menggeleng. Matanya tampak berkaca-kaca. "Dia bukan ayah Axel. Axel hanya anak aku. Axel tidak boleh punya ayah tidak berperasaan seperti dia!"*** Caden baru saja memeriksa laporan di hari itu. Ia kemudian berencana untuk keluar. Tony hendak mengantar, tetapi Caden menolak. "Aku ingin pergi sendiri," ucapnya. Tony kemudian memberikan kunci mobil pada Caden. Tidak lama, Caden telah berkendara menyusuri jalan. Semalam ia telah bertemu Liz dan kini ia mencari keberadaan perempuan itu. Rasanya yang dia lakukan belum cukup karena Liz selalu memeras dia untuk uang selama ini. Ia kemudian melihat orang yang dicarinya tersebut tengah mengayuh sepeda. Caden tersenyum tipis, di kota kecil semacam ini memang tidak sulit untuk menemukan orang. Liz terkejut saat mobil mewah berwarna hitam berhenti di depannya. Segera ia menghentikan laju sepeda. Lebih terkejut lagi saat ia melihat Caden keluar dari mobil. 'Mau apa lagi dia? Belum cukup membuat masalah untukku semalam. Sekarang malah muncul di sini. Baik, apa dia kira aku takut? Aku akan hadapi dia,' tekad Liz dalam hati. "Kau mau cari masalah lagi? Lihat saja aku akan berteriak dan membuat orang mengeroyokmu!" ancam Liz pada Caden yang kini berdiri di sampingnya. Caden hanya tersenyum saja. Ia kemudian menarik tangan Liz hingga sepeda gadis itu roboh. "Kau, apa yang kaulakukan? Lepaskan aku sekarang!" gertak Liz sambil terus berusaha menarik tangannya dari cekalan Caden."Lepaskan aku atau aku akan teriak sekarang!""Teriak saja, maka aku akan bilang pada orang-orang kau yang menghentikan mobil dan menggodaku," tukas Caden. "A-pa ... apa katamu? Lihat saja mereka pasti tidak akan percaya padamu!" Caden menyeringai mendengar itu."Coba saja!" ucapnya. "A-pa?" Liz tertegun karena tidak menyangka Caden justru menantang dia. Memanfaatkan kesempatan, Caden justru kemudian membopong Liz di pundaknya. Perempuan muda itu memekik dan memukul-mukul punggung Caden. Namun Caden malah memasukkan Liz ke dalam mobil dan membawa gadis itu pergi dari sana.*** "Hentikan, hentikan mobilnya sekarang atau aku akan berteriak!" Liz yang duduk di samping Caden kembali mengancam. "Kau ini aneh sekali. Selalu mengancam akan berteriak. Kau tadi menjerit saja tidak ada yang datang menolong." "Kau ....!" Ucapan Liz terhenti saat men
Bocah lelaki itu berlari kecil menuju meja. Tanpa menghiraukan peluh yang bercucur, tangannya terulur untuk mengambil salah satu kue berwarna cerah yang tersaji di atas meja. Seorang perempuan muda segera menahan tangan bocah tersebut. "Cuci tanganmu dulu, Axel. Setelah pulang sekolah, langsung mau makan kue, kotor banget pasti tuh tangan," tegur perempuan berparas jelita tersebut. "Mom, kuemu pasti enak sekali. Aku ingin mencicip." "Cuci tangan dulu baru makan kue. Ganti seragammu juga!" Wajah Axel menunduk. Ia kemudian segera bergegas berdiri dari duduknya dan berlari menuju kamar.*** "Mom terlalu cerewet, padahal aku ingin cepat-cepat makan kue. Kalau begini, aku tetap saja nggak bakal kebagian," keluh Axel dalam hati. Setelah berganti pakaian, bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut berjalan dengan wajah cemberut. "Axel, kenapa,
Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah. Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue. "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah. "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.*** Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.&nb
Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut. "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas. Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak? "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja. Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera H
Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri. "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu. "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat. "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja. Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mend
"Teriak saja, maka aku akan bilang pada orang-orang kau yang menghentikan mobil dan menggodaku," tukas Caden. "A-pa ... apa katamu? Lihat saja mereka pasti tidak akan percaya padamu!" Caden menyeringai mendengar itu."Coba saja!" ucapnya. "A-pa?" Liz tertegun karena tidak menyangka Caden justru menantang dia. Memanfaatkan kesempatan, Caden justru kemudian membopong Liz di pundaknya. Perempuan muda itu memekik dan memukul-mukul punggung Caden. Namun Caden malah memasukkan Liz ke dalam mobil dan membawa gadis itu pergi dari sana.*** "Hentikan, hentikan mobilnya sekarang atau aku akan berteriak!" Liz yang duduk di samping Caden kembali mengancam. "Kau ini aneh sekali. Selalu mengancam akan berteriak. Kau tadi menjerit saja tidak ada yang datang menolong." "Kau ....!" Ucapan Liz terhenti saat men
Axel baru tiba di rumah, tetapi Liz telah menjewer dia. "Pak Edwar tadi menelepon, dia bilang kau kabur dari sekolah. Dia sempat mencari-carimu. Mom tadi juga mau ke sana, tapi dia lalu bilang kau sudah kembali," omel Liz pada anak lelakinya itu. Axel kemudian justru menangis dengan keras."Mom marah karena Pak Edwar. Mom tidak sayang lagi padaku. Mom lebih sayang sama dia.," "Kau ini, sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Liz sambil melepas jeweran dari telinga bocah lelaki itu. "Sudah, jangan menangis lagi," ucap Liz lagi saat melihat bocah itu masih saja sesenggukan. Perempuan tersebut kemudian memberi kue pada Axel. "Mom, itu tadi bukan salahku. Pak Edwar yang salah. Dia nggak bisa nemuin aku," ucap Axel sambil mengunyah kue. Tangis bocah tersebut telah reda sepenuhnya. "Mom, jangan suka sama dia. Dia nggak bisa jaga aku. Aku cuma
Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri. "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu. "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat. "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja. Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mend
Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut. "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas. Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak? "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja. Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera H
Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah. Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue. "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah. "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.*** Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.&nb
Bocah lelaki itu berlari kecil menuju meja. Tanpa menghiraukan peluh yang bercucur, tangannya terulur untuk mengambil salah satu kue berwarna cerah yang tersaji di atas meja. Seorang perempuan muda segera menahan tangan bocah tersebut. "Cuci tanganmu dulu, Axel. Setelah pulang sekolah, langsung mau makan kue, kotor banget pasti tuh tangan," tegur perempuan berparas jelita tersebut. "Mom, kuemu pasti enak sekali. Aku ingin mencicip." "Cuci tangan dulu baru makan kue. Ganti seragammu juga!" Wajah Axel menunduk. Ia kemudian segera bergegas berdiri dari duduknya dan berlari menuju kamar.*** "Mom terlalu cerewet, padahal aku ingin cepat-cepat makan kue. Kalau begini, aku tetap saja nggak bakal kebagian," keluh Axel dalam hati. Setelah berganti pakaian, bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut berjalan dengan wajah cemberut. "Axel, kenapa,