Semua Bab Boneka Tawanan Sang Penguasa: Bab 61 - Bab 70

96 Bab

61. Tekad Victor

Camila bersembunyi di bawah meja dengan napas tertahan, tubuhnya gemetar hebat. Jantungnya berdegup begitu kencang, seolah-olah akan melompat keluar dari dadanya. Telinganya masih berdenging akibat suara tembakan tadi, dan sekarang ia hanya bisa berjongkok sambil memejamkan mata, mencoba mengendalikan ketakutannya. Di atasnya, ia bisa mendengar suara Victor bergerak cepat. “Sial,” desis suaminya, diikuti suara kokangan pistol yang terdengar begitu jelas. Dengan hati-hati, Victor melangkah mendekati jendela, menajamkan pandangannya ke arah luar. Cahaya redup dari lampu jalan membantu matanya menangkap siluet seseorang di balkon gedung seberang. Mata Victor menyipit saat menyadari sosok itu memegang sesuatu—senapan. Penembak jitu. Tidak menunggu lama, Victor langsung mengangkat pistolnya dan menekan pelatuk. Peluru melesat cepat ke arah penyerang itu, diikuti suara retakan kaca dari jendela restoran. Tembakan Victor tidak sen
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-24
Baca selengkapnya

62. Tidak Akan Meninggalkanmu

Suasana di kamar terasa begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jam di dinding yang berdetak perlahan, seirama dengan helaan napas Victor yang berat. Liam baru saja selesai memeriksa Camila dan kini duduk di kursi dekat ranjang, menatap Victor dengan ekspresi serius. “Dia mengalami syok yang cukup berat,” kata Liam akhirnya. “Itu tidak baik, baik untuk dirinya maupun bayi yang dikandungnya.” Victor menekan bibirnya dengan kuat. Wajahnya menegang, menunjukkan kecamuk dalam pikirannya. “Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Liam menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas. “Kau harus memastikan dia merasa aman, Victor. Dia harus merasa nyaman dan bahagia. Stres yang berlebihan bisa berdampak buruk pada kandungannya. Kau harus berusaha lebih keras.” Victor mengusap wajahnya dengan tangan, frustrasi. “Aku sudah berusaha. Aku mengajaknya makan malam, ingin
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-25
Baca selengkapnya

63. Jaring Konspirasi

Malam telah larut ketika Raphael memasuki ruang kerja Victor. Langkahnya tegas, dan ekspresinya menunjukkan keseriusan yang tidak bisa diabaikan. Victor, yang sedang duduk di kursinya dengan segelas anggur di tangan, langsung menaruh gelasnya begitu melihat ekspresi sahabatnya itu. "Ada kabar?" tanyanya tanpa basa-basi. Raphael mengangguk, lalu menaruh sebuah map tebal di atas meja. “Nathan mulai bergerak, Tuan.” Mata Victor menyipit tajam. Dia membuka map itu dan membaca sekilas beberapa dokumen serta laporan intelijen yang dikumpulkan Raphael dan timnya. “Apa yang dia lakukan sekarang?” “Dia sedang mengadakan pertemuan tertutup dengan sekutunya,” jawab Raphael. “Berdasarkan laporan yang kita dapat, pertemuan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Nathan membahas rencana penyerangan yang akan dilakukan bulan depan.” Seketika rahang Victor mengeras. Tangannya mengepal, menahan kemarahan yang mulai
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-25
Baca selengkapnya

64. Percayalah Padaku

Victor menghela napas, lalu menatap Raphael sejenak sebelum kembali menatap Camila. “Masalah keamanan.” Camila melipat tangan di depan dada. “Keamanan atau sesuatu yang berhubungan dengan Nathan lagi?” Victor diam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. “Ya.” Ekspresi Camila berubah, tapi Victor tidak bisa menebak apakah itu kekecewaan, kemarahan, atau kekhawatiran. “Apa aku harus tahu sesuatu?” lanjut Camila, melangkah lebih dekat ke meja. Raphael melirik Victor, menunggu keputusan atas apa yang harus dikatakan. Victor menatap Camila lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Ini hanya bagian dari pekerjaanku.” Camila mengembuskan napas pelan, jelas tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. Tapi kali ini, dia tidak memaksa lebih jauh. Victor tahu, cepat atau lambat, dia harus menjelaskan sesuatu pada Camila. Tapi untuk saat ini, dia ti
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-25
Baca selengkapnya

65. Memperbaiki

Camila duduk di tepi ranjang dengan tangan yang mengepal erat di atas pahanya. Matanya masih memerah setelah menangis begitu lama, tetapi air mata seakan tidak mau berhenti mengalir. Hatinya terasa begitu sesak, seperti dihimpit oleh kenyataan yang semakin sulit untuk ia tolak. "Jadi … bahkan di saat aku seperti ini, dia memilih meninggalkanku?" bisiknya pelan. Ia mengangkat kepalanya dan menatap pintu kamar yang kini tertutup rapat. Victor sudah pergi, meninggalkannya sendirian di dalam kamar dengan perasaan yang hancur berantakan. Camila tertawa kecil, tetapi suaranya begitu getir. "Bukannya meyakinkanku … bukannya membuatku merasa tenang, tapi dia malah pergi." Ia mengusap air matanya dengan kasar. "Jadi, memang benar, ya? Kau masih mencintai Selena, Victor?" Suara Camila semakin lirih. "Sedangkan aku … aku hanyalah kewajiban bagimu. Kau menikahiku karena kau harus, bukan karena kau menginginkannya." Suasa
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-26
Baca selengkapnya

66. Terasa Sunyi

Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menerangi wajah Camila yang baru saja membuka matanya. Pandangannya masih sedikit buram, tetapi seketika fokusnya tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan cermin, tengah merapikan dasinya. Victor. Suaminya itu tampak begitu tenang, dengan senyum merekah yang seolah tanpa beban. Seperti tidak ada masalah di antara mereka, padahal selama dua minggu terakhir, Camila masih tetap mendiamkan Victor. Tidak peduli seberapa lembut pria itu bersikap, perasaan di hatinya masih terlalu sulit untuk dikendalikan. “Selamat pagi.” Suara Victor terdengar lembut, penuh kehangatan, tetapi Camila hanya diam. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak mendengar ucapan Victor. Victor menatapnya beberapa detik sebelum menghela napas pelan. Dia sudah terbiasa dengan sikap Camila yang terus menjaga jarak darinya belakangan ini, tetapi tetap saja ada ra
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-26
Baca selengkapnya

67. Pada Akhirnya

Camila duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke luar jendela. Langit sore mulai meredup, semburat jingga menyelimuti cakrawala, tetapi keindahan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan yang mengisi hatinya. Kata-kata Leon masih terngiang di kepalanya. "Aku benar-benar peduli." Dia tidak ingin mempercayainya. Tidak setelah semua yang telah terjadi. Tidak setelah bertahun-tahun dia hanya menjadi alat bagi keluarganya, bukan sebagai seorang adik yang dicintai. Sejak kecil, dia selalu menjadi bayang-bayang, hanya dihargai saat berguna bagi mereka. Leon lebih dari siapa pun tahu itu, tapi kenapa sekarang dia seolah menunjukkan sisi lain yang berbeda? Camila menghela napas panjang, jari-jarinya meremas kain selimut di pangkuannya. Selama ini, dia berpikir sudah cukup kuat. Dia sudah memiliki kehidupannya sendiri. Bahkan meski Victor sering membuatnya merasa tidak yakin akan perasaan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-26
Baca selengkapnya

68. Villa di Utara

Victor membuka pintu kamar dengan hati-hati, namun Camila tetap menyadari kehadirannya. Wanita itu duduk di tepi ranjang, tatapannya menerawang ke luar jendela. Saat Victor melangkah masuk, mata Camila perlahan beralih ke arahnya, tetapi tidak ada kehangatan di sana. Victor menutup pintu di belakangnya dan menarik napas dalam sebelum berbicara, "Ada sesuatu yang penting yang harus aku katakan padamu." Camila mendengus kecil. "Memangnya ada hal sepenting itu tentang aku sampai kau merasa harus mengatakan ini?" suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Victor berusaha menahan dirinya agar tidak terpancing emosi. "Tidak ada waktu untuk berdebat. Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu yang penting." Camila tetap menatapnya tanpa ekspresi. Victor melangkah lebih dekat dan berkata dengan nada tegas, "Kau harus pergi ke bagian utara dalam dua hari. Kau tidak bisa tinggal di mansion ini lagi." Dahi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-27
Baca selengkapnya

69. Ayo Bercerai

Tawa Nathan menggema di dalam ruangan. Suaranya terdengar puas, penuh kemenangan, seakan dunia sudah berada dalam genggamannya. Dia bersandar santai di sofa, memainkan gelas whiskey di tangannya sambil menatap layar laptop yang menampilkan berbagai laporan tentang sekutu-sekutu Victor yang kini mulai mundur."Sempurna," gumamnya sambil terkekeh. "Benar-benar sempurna."Di sebelahnya, Lucas duduk dengan tenang, menyeruput kopinya tanpa ekspresi berlebihan. Tatapannya tetap tajam meski terlihat lebih santai dibanding putranya."Aku tidak menyangka rencanamu bisa berhasil seperti ini," ujar Lucas akhirnya, meletakkan cangkirnya ke meja.Nathan melirik ke arah ayahnya, bibirnya membentuk seringai. "Tentu saja berhasil. Aku sudah merencanakannya dengan matang dan penuh perhitungan. Satu langkah kecil cukup untuk meruntuhkan segalanya."Lucas mengangguk kecil. "Victor pasti sudah menyadari apa yang terjadi sekarang.""Tentu saja," Nath
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-27
Baca selengkapnya

70. Maafkan Aku, Camila

Camila bergetar saat dia baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak terucap begitu saja. Perceraian. Victor, matanya yang gelap menatap Camila dengan intens. Dengan gerakan tangan, dia menyuruh para pelayan yang tadi berada di ruangan itu untuk keluar. Tanpa satu kata pun, mereka segera menurut, menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan hanya mereka berdua di dalam kamar yang dipenuhi ketegangan. Camila mengira Victor akan mengabaikan ucapannya dan pergi begitu saja, tapi tidak. Lelaki itu justru mendekatinya. Victor berdiri tepat di hadapannya, menundukkan kepala sedikit, hingga tatapan mereka sejajar. Jarinya terangkat, menangkup lembut kedua pipi Camila, memaksa istrinya itu menatapnya dalam. "Katakan sekali lagi." Suara Victor terdengar rendah, hampir seperti bisikan, tapi sarat dengan ketegangan yang tajam. Camila mengerjapkan mata. Ada keteguhan dalam sorot mata
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-27
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status