Suasana di kamar terasa begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jam di dinding yang berdetak perlahan, seirama dengan helaan napas Victor yang berat. Liam baru saja selesai memeriksa Camila dan kini duduk di kursi dekat ranjang, menatap Victor dengan ekspresi serius.
“Dia mengalami syok yang cukup berat,” kata Liam akhirnya. “Itu tidak baik, baik untuk dirinya maupun bayi yang dikandungnya.” Victor menekan bibirnya dengan kuat. Wajahnya menegang, menunjukkan kecamuk dalam pikirannya. “Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Liam menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas. “Kau harus memastikan dia merasa aman, Victor. Dia harus merasa nyaman dan bahagia. Stres yang berlebihan bisa berdampak buruk pada kandungannya. Kau harus berusaha lebih keras.” Victor mengusap wajahnya dengan tangan, frustrasi. “Aku sudah berusaha. Aku mengajaknya makan malam, inginMalam telah larut ketika Raphael memasuki ruang kerja Victor. Langkahnya tegas, dan ekspresinya menunjukkan keseriusan yang tidak bisa diabaikan. Victor, yang sedang duduk di kursinya dengan segelas anggur di tangan, langsung menaruh gelasnya begitu melihat ekspresi sahabatnya itu. "Ada kabar?" tanyanya tanpa basa-basi. Raphael mengangguk, lalu menaruh sebuah map tebal di atas meja. “Nathan mulai bergerak, Tuan.” Mata Victor menyipit tajam. Dia membuka map itu dan membaca sekilas beberapa dokumen serta laporan intelijen yang dikumpulkan Raphael dan timnya. “Apa yang dia lakukan sekarang?” “Dia sedang mengadakan pertemuan tertutup dengan sekutunya,” jawab Raphael. “Berdasarkan laporan yang kita dapat, pertemuan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Nathan membahas rencana penyerangan yang akan dilakukan bulan depan.” Seketika rahang Victor mengeras. Tangannya mengepal, menahan kemarahan yang mulai
Victor menghela napas, lalu menatap Raphael sejenak sebelum kembali menatap Camila. “Masalah keamanan.” Camila melipat tangan di depan dada. “Keamanan atau sesuatu yang berhubungan dengan Nathan lagi?” Victor diam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. “Ya.” Ekspresi Camila berubah, tapi Victor tidak bisa menebak apakah itu kekecewaan, kemarahan, atau kekhawatiran. “Apa aku harus tahu sesuatu?” lanjut Camila, melangkah lebih dekat ke meja. Raphael melirik Victor, menunggu keputusan atas apa yang harus dikatakan. Victor menatap Camila lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Ini hanya bagian dari pekerjaanku.” Camila mengembuskan napas pelan, jelas tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. Tapi kali ini, dia tidak memaksa lebih jauh. Victor tahu, cepat atau lambat, dia harus menjelaskan sesuatu pada Camila. Tapi untuk saat ini, dia ti
Camila duduk di tepi ranjang dengan tangan yang mengepal erat di atas pahanya. Matanya masih memerah setelah menangis begitu lama, tetapi air mata seakan tidak mau berhenti mengalir. Hatinya terasa begitu sesak, seperti dihimpit oleh kenyataan yang semakin sulit untuk ia tolak. "Jadi … bahkan di saat aku seperti ini, dia memilih meninggalkanku?" bisiknya pelan. Ia mengangkat kepalanya dan menatap pintu kamar yang kini tertutup rapat. Victor sudah pergi, meninggalkannya sendirian di dalam kamar dengan perasaan yang hancur berantakan. Camila tertawa kecil, tetapi suaranya begitu getir. "Bukannya meyakinkanku … bukannya membuatku merasa tenang, tapi dia malah pergi." Ia mengusap air matanya dengan kasar. "Jadi, memang benar, ya? Kau masih mencintai Selena, Victor?" Suara Camila semakin lirih. "Sedangkan aku … aku hanyalah kewajiban bagimu. Kau menikahiku karena kau harus, bukan karena kau menginginkannya." Suasa
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menerangi wajah Camila yang baru saja membuka matanya. Pandangannya masih sedikit buram, tetapi seketika fokusnya tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan cermin, tengah merapikan dasinya. Victor. Suaminya itu tampak begitu tenang, dengan senyum merekah yang seolah tanpa beban. Seperti tidak ada masalah di antara mereka, padahal selama dua minggu terakhir, Camila masih tetap mendiamkan Victor. Tidak peduli seberapa lembut pria itu bersikap, perasaan di hatinya masih terlalu sulit untuk dikendalikan. “Selamat pagi.” Suara Victor terdengar lembut, penuh kehangatan, tetapi Camila hanya diam. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak mendengar ucapan Victor. Victor menatapnya beberapa detik sebelum menghela napas pelan. Dia sudah terbiasa dengan sikap Camila yang terus menjaga jarak darinya belakangan ini, tetapi tetap saja ada ra
Camila duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke luar jendela. Langit sore mulai meredup, semburat jingga menyelimuti cakrawala, tetapi keindahan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan yang mengisi hatinya. Kata-kata Leon masih terngiang di kepalanya. "Aku benar-benar peduli." Dia tidak ingin mempercayainya. Tidak setelah semua yang telah terjadi. Tidak setelah bertahun-tahun dia hanya menjadi alat bagi keluarganya, bukan sebagai seorang adik yang dicintai. Sejak kecil, dia selalu menjadi bayang-bayang, hanya dihargai saat berguna bagi mereka. Leon lebih dari siapa pun tahu itu, tapi kenapa sekarang dia seolah menunjukkan sisi lain yang berbeda? Camila menghela napas panjang, jari-jarinya meremas kain selimut di pangkuannya. Selama ini, dia berpikir sudah cukup kuat. Dia sudah memiliki kehidupannya sendiri. Bahkan meski Victor sering membuatnya merasa tidak yakin akan perasaan
Victor membuka pintu kamar dengan hati-hati, namun Camila tetap menyadari kehadirannya. Wanita itu duduk di tepi ranjang, tatapannya menerawang ke luar jendela. Saat Victor melangkah masuk, mata Camila perlahan beralih ke arahnya, tetapi tidak ada kehangatan di sana. Victor menutup pintu di belakangnya dan menarik napas dalam sebelum berbicara, "Ada sesuatu yang penting yang harus aku katakan padamu." Camila mendengus kecil. "Memangnya ada hal sepenting itu tentang aku sampai kau merasa harus mengatakan ini?" suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Victor berusaha menahan dirinya agar tidak terpancing emosi. "Tidak ada waktu untuk berdebat. Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu yang penting." Camila tetap menatapnya tanpa ekspresi. Victor melangkah lebih dekat dan berkata dengan nada tegas, "Kau harus pergi ke bagian utara dalam dua hari. Kau tidak bisa tinggal di mansion ini lagi." Dahi
Tawa Nathan menggema di dalam ruangan. Suaranya terdengar puas, penuh kemenangan, seakan dunia sudah berada dalam genggamannya. Dia bersandar santai di sofa, memainkan gelas whiskey di tangannya sambil menatap layar laptop yang menampilkan berbagai laporan tentang sekutu-sekutu Victor yang kini mulai mundur."Sempurna," gumamnya sambil terkekeh. "Benar-benar sempurna."Di sebelahnya, Lucas duduk dengan tenang, menyeruput kopinya tanpa ekspresi berlebihan. Tatapannya tetap tajam meski terlihat lebih santai dibanding putranya."Aku tidak menyangka rencanamu bisa berhasil seperti ini," ujar Lucas akhirnya, meletakkan cangkirnya ke meja.Nathan melirik ke arah ayahnya, bibirnya membentuk seringai. "Tentu saja berhasil. Aku sudah merencanakannya dengan matang dan penuh perhitungan. Satu langkah kecil cukup untuk meruntuhkan segalanya."Lucas mengangguk kecil. "Victor pasti sudah menyadari apa yang terjadi sekarang.""Tentu saja," Nath
Camila bergetar saat dia baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak terucap begitu saja. Perceraian. Victor, matanya yang gelap menatap Camila dengan intens. Dengan gerakan tangan, dia menyuruh para pelayan yang tadi berada di ruangan itu untuk keluar. Tanpa satu kata pun, mereka segera menurut, menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan hanya mereka berdua di dalam kamar yang dipenuhi ketegangan. Camila mengira Victor akan mengabaikan ucapannya dan pergi begitu saja, tapi tidak. Lelaki itu justru mendekatinya. Victor berdiri tepat di hadapannya, menundukkan kepala sedikit, hingga tatapan mereka sejajar. Jarinya terangkat, menangkup lembut kedua pipi Camila, memaksa istrinya itu menatapnya dalam. "Katakan sekali lagi." Suara Victor terdengar rendah, hampir seperti bisikan, tapi sarat dengan ketegangan yang tajam. Camila mengerjapkan mata. Ada keteguhan dalam sorot mata
Mentari sore mulai merunduk perlahan, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap masuk melalui jendela besar di ruang kerja Victor. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan satu tangan mengusap pelipis, menyudahi rapat yang melelahkan. Di hadapannya, Raphael berdiri sambil merapikan berkas-berkas yang baru saja selesai dibahas.“Jadi … hanya itu yang aku bisa kerjakan hari ini?” tanya Victor santai, meski nada suaranya menggoda dan sedikit menantang.Raphael menatap Victor dengan alis terangkat. “Tuan sudah selesai. Berkas-berkas sudah ditandatangani, laporan sudah kuperiksa ulang. Tidak ada yang tersisa untuk hari ini, Tuan.”Victor tertawa pelan sambil berdiri dan mengambil jasnya. “Bagus. Karena aku sudah tidak sabar ingin pulang.”Raphael mengangguk mengerti. “Nyonya Camila, ya?”Victor hanya tersenyum, tapi dari matanya, jelas terpancar kerinduan. “Kau tahu sendiri bagaimana Camila akhir-akhir ini. Masih sedikit terganggu sejak William datang bersama Elena. Aku harus c
Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil
Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan
Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn
Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan
Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me
Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla
Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu
Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar