Beranda / Romansa / Mantanku Kembali / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab Mantanku Kembali: Bab 31 - Bab 40

56 Bab

31

POV AdrianAkhirnya, setelah beberapa saat, ibunya mulai melunak. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Livia. Mungkin aku terlalu keras,” katanya, suara lebih lembut. Livia menatap ibunya dengan penuh harap. “Ibu, aku ingin kita bisa saling mendukung. Aku ingin merasa bisa berbicara tanpa takut,” katanya. Kami bertiga duduk dalam keheningan, dan aku merasa ada perubahan di udara. Mungkin, hanya mungkin, kami bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan ini. Ketika percakapan itu berakhir, aku merasakan beban yang terangkat dari bahu Livia. Dia tersenyum, dan aku bisa melihat bahwa harapan baru telah tumbuh di hatinya. Kami berhasil menghadapi tantangan besar ini bersama-sama. “Adrian, terima kasih telah mendukungku,” Livia berbisik, matanya berbinar. “Aku akan selalu ada untukmu, Livia. Kita bisa melalui ini bersama,” kataku,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-08
Baca selengkapnya

32

POV Livia Saat Adrian dan aku duduk di ruang tamu, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang telah aku tunggu-tunggu, tetapi sekaligus juga membuatku cemas. Dengan berani, aku memutuskan untuk berbicara tentang perasaanku dengan ibuku. Namun, aku juga merasa bahwa jika Adrian ada di sampingku, aku akan lebih kuat.  Ketika ibuku datang, suasana terasa tegang. Dia melihatku dengan tatapan yang penuh pertanyaan, dan aku tahu bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua yang terpendam di hatiku.  “Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kataku, berusaha menenangkan suara yang bergetar. Aku bisa merasakan tatapan Adrian yang mendukung di sampingku, dan itu memberiku keberanian.  “Aku merasa sangat terbebani oleh harapan-harapan yang selalu kamu berikan padaku,” lanjutku.  Melihat wajah ibuku yang terkej
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-09
Baca selengkapnya

33

POV Livia Saat aku berjalan menuju ruang rapat, aku merasakan jantungku berdebar. Meski sudah beberapa kali hadir dalam rapat, tetap saja ada rasa gugup yang menghampiriku. Namun, kali ini aku berusaha untuk tidak membiarkan rasa cemas itu menguasai diriku. Aku telah melalui banyak hal dengan Adrian, dan aku tahu aku bisa melakukannya. Setelah memasuki ruang rapat, aku meletakkan dokumen di meja dan melihat para peserta rapat yang sudah menunggu. Mereka semua adalah eksekutif senior, dan aku merasa sedikit terintimidasi. Namun, saat Adrian masuk dan menyapaku dengan senyum, aku merasa tenang.  “Terima kasih, Livia. Kamu selalu tepat waktu,” katanya, lalu berbalik ke arah peserta rapat. “Baiklah, mari kita mulai.” Selama rapat, aku duduk di samping meja, mendengarkan setiap diskusi dengan seksama. Adrian memimpin dengan percaya diri, menjelaskan rencana dan strategi perusahaan den
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-09
Baca selengkapnya

34

POV Livia Tiba-tiba aku mendengar Adrian mulai mengigau. “Livia… aku… maaf… tidak seharusnya…” suaranya pelan tetapi penuh emosi. Aku mengerutkan dahi, merasa sedikit khawatir.  “Adrian, kamu baik-baik saja?” tanyaku pelan, tetapi dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia terus mengigau. “Aku menyesal… aku tidak seharusnya memberikanmu obat itu… tidak seharusnya… aku membuatmu… keguguran…” Hatiku terhenti. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Semua kenangan tentang malam itu, saat kami berada di restoran, kembali menyerang pikiranku. Saat itu, kami sedang dalam situasi yang penuh tekanan, dan keputusan yang diambil Adrian benar-benar menghancurkan segalanya. Aku merasa marah, bingung, dan sakit hati sekaligus. “Mengapa kamu mengigau tentang itu, Adrian?” tanyaku, suaraku bergetar. “Menga
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-10
Baca selengkapnya

35

POV Livia Aku mengambil tas dan keluar dari rumah. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, tetapi di sisi lain, ada rasa lega yang menyelinap. Mungkin dengan pergi, aku bisa mendapatkan sedikit ketenangan dan jarak dari semua yang terjadi.   Setelah keluar dari rumah Adrian, rasa marah dan sakit hati masih membara di dalam diriku. Aku merasa tertekan oleh semua tuduhan yang dilemparkan, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya mendukungku. Aku tidak bisa tinggal di tempat yang membuatku merasa tidak diinginkan, dan saat itu, keputusan untuk pergi terasa seperti satu-satunya cara untuk meredakan semua emosi yang menggerogoti. Saat aku berjalan menjauh dari rumah Adrian, aku merasakan air mata menggenang di mataku.  Suara Adrian yang memanggil namaku dari belakang seolah menghilang dalam riuhnya pikiran.  “Livia! Tunggu!” teriaknya, tetapi aku tidak
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-10
Baca selengkapnya

36

POV Livia   Malam itu, aku terbaring di tempat tidur, dikelilingi oleh keheningan yang menyelimuti rumah ibuku. Dalam keadaan sepi itu, pikiranku terus berputar, mencoba mengurai kekacauan yang ada di dalam hatiku. Setiap kali aku menutup mata, bayangan Adrian muncul, dan rasa sakit yang dia sebabkan kembali menghantui. Aku merenungkan semua yang terjadi antara kami. Ketika kami pertama kali bersama, semuanya terasa begitu indah. Namun, kini, aku tidak bisa mengabaikan rasa curiga yang menggerogoti pikiranku. Apakah dia benar-benar mencintaiku, ataukah aku hanya menjadi pelampiasan emosinya?  Adrian selalu terlihat seperti sosok yang kuat dan tegas, tetapi di balik semua itu, aku mulai meragukan ketulusan niatnya. Apa dia menikahiku sebagai bentuk balas dendam? Balas dendam pada semua orang yang pernah menyakitinya? Atau mungkin pada diriku sendiri karena aku tidak bisa memberikan apa yang dia ingi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-11
Baca selengkapnya

37

POV Livia Sambil menyantap sarapan, aku berusaha merenungkan semua ini. “Apa yang sebenarnya aku inginkan?” tanyaku dalam hati. “Apakah aku ingin kembali kepada Adrian, ataukah aku harus mencari jalanku sendiri?” Ibu memperhatikan ekspresi wajahku, seolah bisa membaca pikiranku. “Livia, kamu tidak perlu terburu-buru. Berikan dirimu waktu untuk merenung. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu,” katanya, menepuk tanganku. Rasa syukur mengalir dalam diriku. Mungkin, dengan dukungan ibuku yang baru, aku bisa menemukan jawabanku. Mungkin, hanya mungkin, perjalanan ini bisa membawaku untuk mengenal diriku sendiri lebih dalam. Setelah sarapan, aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Udara segar di luar rumah membangkitkan semangatku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak, menikmati keindahan alam di sekitarku. Saat itu, aku merasakan ketenangan yang lama tidak kurasakan. 
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-11
Baca selengkapnya

38

POV Livia Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman. Aku melihat pasangan-pasangan yang duduk di bangku, saling menggenggam tangan, berbagi cerita, dan tertawa. Saat melihat mereka, hatiku terasa sedikit sakit. Apakah aku akan pernah merasakan kebahagiaan itu lagi?Namun, saat aku berjalan lebih jauh, aku melihat seorang ibu yang sedang mengajari anaknya bersepeda. Anak itu tampak gugup, tetapi ibunya dengan sabar membimbingnya. “Ayo, kamu bisa! Keseimbangan itu penting!” serunya dengan semangat. Melihat momen itu membuatku tersadar. Dalam hidup, ada kalanya kita harus jatuh sebelum bisa bangkit. Mungkin, inilah saatnya bagiku untuk belajar berdiri sendiri. Setelah beberapa saat, aku menemukan bangku kosong yang menghadap kolam. Aku duduk di situ dan menutup mata, membiarkan suara air dan suara alam mengalir ke dalam diriku. Aku perlu memberi diriku ruang untuk merenung dan mendapatkan perspektif baru. Dengan menutup mata, aku mulai membayangkan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-12
Baca selengkapnya

39

POV Livia Aku memutuskan untuk menghubungi teman-temanku yang mungkin bisa membantuku. Salah satu sahabatku, Alena, adalah seorang perawat dan mungkin bisa memberikan perspektif medis. Ketika aku bertemu dengannya, aku menceritakan semua yang terjadi.“Livia, itu sangat serius. Jika dia memberikanmu obat tanpa persetujuanmu, itu bisa dianggap sebagai tindakan kriminal,” ujar Alena, sorot matanya penuh perhatian. “Tetapi kamu tetap harus memiliki bukti.”“Masalahnya, aku tidak punya apa-apa. Semua itu terjadi begitu cepat, dan aku hanya terfokus pada rasa sakitku,” jawabku, merasa semakin putus asa.Alena berpikir sejenak. “Kamu bisa mencoba berbicara pada dokter yang menangani kehamilanmu. Mungkin mereka bisa membantu memberikan keterangan medis yang mendukung ceritamu,” sarannya.Aku merasa sedikit lebih optimis. “Itu ide yang bagus. Aku akan mencobanya,” kataku, bertekad untuk mencoba semua cara yang mungkin.Aku langsung pergi ke klinik tempat aku melakukan pemeriksaan kehamilan s
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-12
Baca selengkapnya

40

POV Livia “Cinta tidak seharusnya seperti ini,” jawabku, berusaha menahan air mata. “Cinta seharusnya memberi kebahagiaan, bukan menyakiti. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak menghargai hidupku, apalagi anak kita.” “Jadi, apa ini berarti kamu akan terus maju dengan perceraian?” tanyanya, suara penuh keraguan. Aku mengangguk, merasakan kepastian dalam hatiku. “Ya, aku harus melanjutkan hidupku. Aku tidak bisa terjebak dalam hubungan yang tidak membuatku bahagia lagi.”  Dia terdiam, tampak hancur. “Livia, aku tahu ini semua salahku. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja,” ujarnya, suaranya putus asa. “Adrian, kamu harus mengerti. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang diriku dan masa depanku. Aku ingin menemukan kebahagiaan yang sejati, dan itu tidak akan pernah terjadi jika aku terus bers
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-13
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status