POV Livia
Aku mengambil tas dan keluar dari rumah. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, tetapi di sisi lain, ada rasa lega yang menyelinap. Mungkin dengan pergi, aku bisa mendapatkan sedikit ketenangan dan jarak dari semua yang terjadi.
Setelah keluar dari rumah Adrian, rasa marah dan sakit hati masih membara di dalam diriku. Aku merasa tertekan oleh semua tuduhan yang dilemparkan, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya mendukungku. Aku tidak bisa tinggal di tempat yang membuatku merasa tidak diinginkan, dan saat itu, keputusan untuk pergi terasa seperti satu-satunya cara untuk meredakan semua emosi yang menggerogoti.
Saat aku berjalan menjauh dari rumah Adrian, aku merasakan air mata menggenang di mataku.
Suara Adrian yang memanggil namaku dari belakang seolah menghilang dalam riuhnya pikiran.
“Livia! Tunggu!” teriaknya, tetapi aku tidak
POV LiviaMalam itu, aku terbaring di tempat tidur, dikelilingi oleh keheningan yang menyelimuti rumah ibuku. Dalam keadaan sepi itu, pikiranku terus berputar, mencoba mengurai kekacauan yang ada di dalam hatiku. Setiap kali aku menutup mata, bayangan Adrian muncul, dan rasa sakit yang dia sebabkan kembali menghantui.Aku merenungkan semua yang terjadi antara kami. Ketika kami pertama kali bersama, semuanya terasa begitu indah. Namun, kini, aku tidak bisa mengabaikan rasa curiga yang menggerogoti pikiranku. Apakah dia benar-benar mencintaiku, ataukah aku hanya menjadi pelampiasan emosinya?Adrian selalu terlihat seperti sosok yang kuat dan tegas, tetapi di balik semua itu, aku mulai meragukan ketulusan niatnya. Apa dia menikahiku sebagai bentuk balas dendam? Balas dendam pada semua orang yang pernah menyakitinya? Atau mungkin pada diriku sendiri karena aku tidak bisa memberikan apa yang dia ingi
POV LiviaSambil menyantap sarapan, aku berusaha merenungkan semua ini. “Apa yang sebenarnya aku inginkan?” tanyaku dalam hati. “Apakah aku ingin kembali kepada Adrian, ataukah aku harus mencari jalanku sendiri?”Ibu memperhatikan ekspresi wajahku, seolah bisa membaca pikiranku. “Livia, kamu tidak perlu terburu-buru. Berikan dirimu waktu untuk merenung. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu,” katanya, menepuk tanganku.Rasa syukur mengalir dalam diriku. Mungkin, dengan dukungan ibuku yang baru, aku bisa menemukan jawabanku. Mungkin, hanya mungkin, perjalanan ini bisa membawaku untuk mengenal diriku sendiri lebih dalam.Setelah sarapan, aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Udara segar di luar rumah membangkitkan semangatku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak, menikmati keindahan alam di sekitarku. Saat itu, aku merasakan ketenangan yang lama tidak kurasakan.
POV Livia Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman. Aku melihat pasangan-pasangan yang duduk di bangku, saling menggenggam tangan, berbagi cerita, dan tertawa. Saat melihat mereka, hatiku terasa sedikit sakit. Apakah aku akan pernah merasakan kebahagiaan itu lagi?Namun, saat aku berjalan lebih jauh, aku melihat seorang ibu yang sedang mengajari anaknya bersepeda. Anak itu tampak gugup, tetapi ibunya dengan sabar membimbingnya. “Ayo, kamu bisa! Keseimbangan itu penting!” serunya dengan semangat. Melihat momen itu membuatku tersadar. Dalam hidup, ada kalanya kita harus jatuh sebelum bisa bangkit. Mungkin, inilah saatnya bagiku untuk belajar berdiri sendiri. Setelah beberapa saat, aku menemukan bangku kosong yang menghadap kolam. Aku duduk di situ dan menutup mata, membiarkan suara air dan suara alam mengalir ke dalam diriku. Aku perlu memberi diriku ruang untuk merenung dan mendapatkan perspektif baru. Dengan menutup mata, aku mulai membayangkan
POV Livia Aku memutuskan untuk menghubungi teman-temanku yang mungkin bisa membantuku. Salah satu sahabatku, Alena, adalah seorang perawat dan mungkin bisa memberikan perspektif medis. Ketika aku bertemu dengannya, aku menceritakan semua yang terjadi.“Livia, itu sangat serius. Jika dia memberikanmu obat tanpa persetujuanmu, itu bisa dianggap sebagai tindakan kriminal,” ujar Alena, sorot matanya penuh perhatian. “Tetapi kamu tetap harus memiliki bukti.”“Masalahnya, aku tidak punya apa-apa. Semua itu terjadi begitu cepat, dan aku hanya terfokus pada rasa sakitku,” jawabku, merasa semakin putus asa.Alena berpikir sejenak. “Kamu bisa mencoba berbicara pada dokter yang menangani kehamilanmu. Mungkin mereka bisa membantu memberikan keterangan medis yang mendukung ceritamu,” sarannya.Aku merasa sedikit lebih optimis. “Itu ide yang bagus. Aku akan mencobanya,” kataku, bertekad untuk mencoba semua cara yang mungkin.Aku langsung pergi ke klinik tempat aku melakukan pemeriksaan kehamilan s
POV Livia“Cinta tidak seharusnya seperti ini,” jawabku, berusaha menahan air mata. “Cinta seharusnya memberi kebahagiaan, bukan menyakiti. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak menghargai hidupku, apalagi anak kita.”“Jadi, apa ini berarti kamu akan terus maju dengan perceraian?” tanyanya, suara penuh keraguan.Aku mengangguk, merasakan kepastian dalam hatiku. “Ya, aku harus melanjutkan hidupku. Aku tidak bisa terjebak dalam hubungan yang tidak membuatku bahagia lagi.”Dia terdiam, tampak hancur. “Livia, aku tahu ini semua salahku. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja,” ujarnya, suaranya putus asa.“Adrian, kamu harus mengerti. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang diriku dan masa depanku. Aku ingin menemukan kebahagiaan yang sejati, dan itu tidak akan pernah terjadi jika aku terus bers
POV LiviaDia menatapku dengan tatapan campur aduk. “Apa kamu yakin ini yang terbaik?” tanyanya, dengan nada yang tampak khawatir.“Ini yang terbaik untukku, Adrian. Aku perlu melanjutkan hidupku,” jawabku, mencoba menegaskan keputusanku.Dia mengangguk pelan, tetapi aku bisa melihat kekecewaan di wajahnya. “Aku harap kamu tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu,” katanya lagi, suaranya penuh dengan kesedihan.Setelah beberapa saat, aku berbalik dan berjalan keluar dari kantor. Setiap langkah terasa lebih ringan, tetapi hatiku tetap berat. Meskipun aku tahu bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat, ada rasa kehilangan yang sulit untuk diabaikan.Saat aku berjalan menuju halte bus, aku merasa campur aduk. Keputusan untuk resign adalah sesuatu yang kuinginkan, tetapi perpisahan dengan Adrian juga membawaku pada perasaan kehilangan yang mendalam. Sem
POV LiviaAku menemukan tempat duduk di sudut dekat jendela, dan segera memesan kopi. Dengan secangkir kopi di tangan, aku duduk memandangi orang-orang di luar. Beberapa pasangan tampak bahagia, anak-anak bermain, dan semua itu membuatku teringat pada masa-masa yang lebih sederhana.Saat aku merenung, ponselku bergetar di meja. Aku melihat nama pengacaraku, dan jantungku berdegup lebih kencang. Dengan rasa cemas, aku menjawab panggilan itu.“Selamat sore, Livia. Ini Rina, pengacaramu,” katanya dengan nada serius. “Aku ingin memberitahumu tentang proses perceraianmu.”“Ya, bagaimana?” tanyaku, merasa gelisah.“Prosesnya berjalan agak alot. Adrian tidak mau menceraikanmu, dan bukti yang kamu berikan tidak cukup kuat untuk mendukung klaimmu,” jawabnya, suaranya penuh perhatian.Hatiku tercekat. “Apa maksudmu bukti ti
POV Livia“Bu, aku tahu bahwa semua ini sulit. Tetapi aku sudah berusaha untuk berubah. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa menjadi orang yang lebih baik untuk Livia,” jawab Adrian, berusaha meyakinkan.Ibu menggelengkan kepala. “Livia, kamu harus mendengarkan ibumu. Kamu tidak bisa kembali ke hubungan yang penuh kebohongan dan rasa sakit. Apa kamu benar-benar yakin ini yang kamu inginkan?” tanyanya, penuh perhatian.Aku menatap Adrian yang berdiri di sampingku, wajahnya penuh harapan.“Bu, aku sudah berpikir matang-matang tentang ini. Aku ingin memberi Adrian kesempatan kedua. Dia sudah berjanji untuk berubah,” jawabku, berusaha tegas.“Janji tidak cukup, Livia. Kamu harus melindungi dirimu sendiri. Aku tidak ingin kamu kembali ke situasi yang menyakitkan,” kata ibuku, suaranya masih penuh kekhawatiran.“B
POV LiviaAku menghela napas, merasa lega bisa mengungkapkan perasaanku. “Aku tertarik untuk bekerja sebagai penjaga toko paruh waktu, dari pagi sampai siang. Aku rasa itu akan memberiku kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang dan belajar hal baru,” jawabku dengan semangat.“Penjaga toko? Itu terdengar menarik! Apa yang membuatmu tertarik?” Adrian bertanya, wajahnya kini penuh minat.“Aku menyukai lingkungan yang ramai dan interaksi dengan orang-orang. Selain itu, aku juga ingin belajar lebih banyak tentang manajemen dan penjualan. Rasanya menyenangkan bisa berkontribusi langsung dan melihat hasilnya,” kataku, merasakan semangat dalam suaraku.Adrian mengangguk, tampak mendukung. “Jika itu yang membuatmu bahagia, aku mendukung penuh keputusanmu. Tapi, pastikan kau memilih tempat yang tepat,” katanya, senyum di wajahnya menunjukkan bahwa dia benar-benar
POV Livia“Livia! Livia! Bangun!”Suara Adrian menggema lembut di telingaku. Perlahan, aku membuka mata dan melihat wajahnya tersenyum di samping tempat tidur. Keceriaan di wajahnya membuat hatiku berbunga-bunga.“Adrian!” seruku dengan suara serak.“Kau sudah pulang?” Rasanya seperti mimpi ketika melihatnya di depan mataku. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas yang terasa seperti selamanya.“Ya, aku pulang lebih awal. Pekerjaanku sudah selesai lebih cepat dari yang diperkirakan,” jawabnya dengan senyum lebar. Dia duduk di tepi tempat tidur, dan aku bisa merasakan kehangatan kehadirannya.Aku merasa senang dan bersyukur. “Aku tidak sabar untuk melihat apa yang kau bawa! Ada oleh-oleh?” tanyaku, mataku berbinar-binar penuh harapan.Adrian tertawa kecil, lalu
POV LiviaSetelah semuanya siap, aku duduk di meja dan menunggu. Rasanya aneh, menunggu seseorang yang tidak ada di sampingku, tetapi aku tahu bahwa dia akan segera kembali. Dengan setiap detik yang berlalu, aku merasakan harapan baru tumbuh di dalam diriku. Mungkin, dengan sedikit usaha dan kejujuran, aku bisa membawa kembali kebahagiaan yang hilang.Saat aku menunggu, aku kembali memikirkan percakapan kami sebelumnya. Adrian selalu bisa membuatku merasa tenang, dan aku tahu bahwa jika aku bisa membuka diri padanya, segalanya akan terasa lebih baik. Rasa takut dan keraguan yang selama ini menghalangiku harus kuhadapi.Ketika ponselku berdering lagi, aku langsung mengambilnya. Itu adalah pesan dari Adrian.[Aku tidak sabar untuk pulang dan menikmati masakanmu. Semangat ya, sayang!]Senyumku mengembang saat membaca pesannya. Mungkin, dengan sedikit keberanian dan kejujuran, ak
POV LiviaAdrian mengangguk, tetapi aku bisa melihat keraguan di matanya. "Kau terlihat sedikit murung, Livia. Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan nada khawatir."Aku tidak apa-apa, sungguh," kataku, berusaha meyakinkan. "Hanya sedikit lelah, mungkin." Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutku, aku tahu bahwa Adrian bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Dia menghela napas. "Aku baru saja menyelesaikan satu pekerjaan besar dan sedang istirahat di hotel. Aku pikir bisa menghubungimu sebelum kembali bekerja. Tapi… apa kau yakin tidak ada yang salah? Kau bisa bercerita padaku, kamu tahu itu."Hatiku bergetar mendengar ungkapannya. Adrian selalu menjadi pendengar yang baik, dan dia selalu membangkitkan rasa aman di dalam diriku. Namun, saat ini, aku merasa tidak siap untuk berbagi. Rasa sakit yang masih menggerogoti hatiku terasa terlalu berat untuk diungkapkan. Mungkin jika
POV LiviaSetelah beberapa jam berbincang dan tertawa, aku merasa lebih ringan. Maya memberikan dukungan yang aku butuhkan, dan aku berterima kasih padanya."Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik," kataku, merasa bersyukur memiliki sahabat sepertinya."Selalu, Livia. Aku di sini untukmu," jawabnya tulus.Aku melangkah pulang, bertekad untuk menunjukkan pada Adrian bahwa aku bisa menjadi istri yang lebih baik. Kesedihan dan rasa sakit yang sempat menguasai diriku kini mulai pudar, tergantikan oleh harapan dan semangat untuk memperbaiki hubungan kami.Ketika aku sampai di rumah, aku membuka lemari dan mulai mencari resep-resep masakan yang ingin kucoba. Aku ingin memasak sesuatu yang spesial untuk Adrian, sesuatu yang menunjukkan betapa aku mencintainya. Namun, saat aku mulai mencari, salah satu acara di televisi menarik perhatianku. Acara itu adalah program khusus u
POV LiviaAku beranjak dari sofa dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Suasana di luar tampak cerah, tetapi hatiku gelap. Aku mengingat kembali saat-saat ketika kami berdua merencanakan masa depan. Semua impian yang kami bangun bersama kini terasa seperti ilusi.“Bagaimana bisa semuanya berubah secepat ini?” pikirku, merasakan kesedihan yang mendalam.Saat itu, aku berusaha mengingat kembali semua momen indah yang kami lewati. Tawa, pelukan, dan janji-janji yang pernah kami buat. Namun, semua itu terasa samar sekarang, tertutupi oleh bayang-bayang kekecewaan dan rasa sakit.“Apakah semua itu hanya sebuah kebohongan?” tanyaku pada diriku sendiri.Air mata kembali mengalir saat aku teringat bagaimana Adrian selalu berjanji untuk mencintainya tanpa syarat. Tetapi kini, seolah-olah janji itu sudah terlupakan. Aku merasa seolah-olah Adrian lebih memilih
POV LiviaSetelah Adrian pergi, rumah kami terasa sepi dan hampa. Meskipun baru beberapa hari, rasa kesepian ini sudah menyelinap ke dalam hati.Pagi menjelang, dan aku baru saja terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Suara detakan jam dinding mengingatkanku bahwa hari baru telah dimulai, tetapi semangatku masih tertinggal di malam sebelumnya.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, mencuci muka untuk menghilangkan rasa kantuk. Saat aku melihat bayanganku di cermin, aku menyadari betapa lelah dan cemasnya aku. Rasa khawatir akan Adrian dan ketidakpastian yang menyelimuti pikiranku membuatku merasa tidak tenang.Tiba-tiba, suara ketukan keras terdengar dari pintu rumah. Awalnya, aku mengira itu hanya imajinasiku, tetapi ketukan itu semakin menjadi. Dengan cepat, aku bergegas menuju pintu, berharap bisa mengusir rasa sepi yang melanda.Saat aku membuka pintu, aku terk
POV Adrian"Ini luar biasa," ujar Livia sambil menikmati pemandangan di depan kami. "Aku suka saat-saat seperti ini."Aku tersenyum, merasa bahagia melihatnya menikmati momen itu."Aku juga. Ini adalah bagian dari kehidupan yang ingin aku jalani bersamamu."Kami duduk berhadapan, menikmati sarapan dengan penuh kehangatan. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami berbagi momen ini bersama. Aku memperhatikan Livia, rambutnya yang basah mengkilap terkena sinar matahari, dan senyumnya yang cerah membuatku merasa seolah kami adalah satu-satunya orang di dunia ini."Adrian," Livia memanggilku, membuatku menatapnya. "Aku ingin kita membuat lebih banyak kenangan seperti ini.""Aku setuju," kataku, meraih tangannya. "Setiap hari adalah kesempatan baru untuk kita berdua."Setelah sarapan, kami membersihkan meja dan menikmati sisa waktu pagi deng
POV AdrianAku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui pikiranku. Aku ingat saat aku membuat keputusan yang salah, saat aku membiarkan egoku menguasai diriku. Sekarang, setiap kali melihat Livia, aku selalu teringat akan kesalahanku dan betapa beruntungnya aku masih bisa memiliki dia di sisiku.“Tidak akan aku sia-siakan kesempatan kedua ini,” pikirku, tekad menguat dalam hati. Aku berjanji untuk menjadi lebih baik, untuk tidak hanya mencintainya tetapi juga menghargai setiap momen yang kami miliki bersama. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.Malam itu, saat Livia terlelap, aku menyaksikan suasana rumah kami. Setiap sudutnya mengingatkanku akan perjalanan yang telah kami lalui. Dari ruang tamu yang baru saja kami tata hingga dapur tempat kami memasak bersama, semuanya dipenuhi dengan kenangan indah. Aku merasa betapa hidupnya rumah ini menjadi berkat kehad