All Chapters of Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi: Chapter 11 - Chapter 20

38 Chapters

Para penyintas (3)

Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
last updateLast Updated : 2025-01-07
Read more

Para penyintas (4)

Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.
last updateLast Updated : 2025-01-07
Read more

Para penyintas (5)

Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan
last updateLast Updated : 2025-01-07
Read more

Para penyintas (6)

Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak
last updateLast Updated : 2025-01-08
Read more

Para penyintas (7)

Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid
last updateLast Updated : 2025-01-08
Read more

Para penyintas (8)

Aku menarik napas panjang, berusaha memusatkan pikiranku di tengah kekacauan dan ketakutan. Aku menatap kelompokku yang kelelahan, lalu kembali mengamati reruntuhan yang kini menjadi sarang Voidborn dan Hunter. Dalam keheningan mencekam, pikiranku mulai merangkai rencana. "Baik," ucapku pelan tapi tegas, suaraku menarik perhatian semua orang. "Kita tidak akan bertahan lama jika tetap di sini. Mereka akan segera menemukan kita jika kita hanya bersembunyi. Jadi, kita harus memanfaatkan situasi ini." Hendra menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" Aku menatap mereka satu per satu. "Kita tidak hanya melarikan diri. Kita akan membuat kekacauan, mengadu mereka satu sama lain, dan menggunakan itu sebagai peluang untuk kabur." Aku menunjuk bangunan yang lebih tinggi di ujung reruntuhan. "Voidborn dan Hunter mungkin tidak memiliki kecerdasan seperti kita, tapi mereka punya naluri. Jika kita bisa menciptakan kebisingan besar di satu tempat, mereka akan tertarik ke sana. Aku butuh Hendra, Dika,
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

Para penyintas (9)

Aku tidak tahu berapa lama kami bertarung. Waktu kehilangan maknanya di tengah teriakan, darah, dan suara dentuman benda logam yang bertabrakan dengan kulit Voidborn. Setiap detik terasa seperti sebuah keabadian yang menyiksa. Hendra, yang paling gigih bertahan dengan pistolnya, kini terduduk dengan tubuh penuh luka. Pistol di tangannya telah lama kosong, dan ia menggunakannya untuk memukul kepala Voidborn yang terlalu dekat. Namun, satu serangan dari makhluk itu membuat lengannya patah, darah mengucur dari luka terbuka di bahunya. Ia masih mencoba bertahan, meskipun tubuhnya mulai lunglai, suaranya lemah ketika ia berkata, “Aku... aku masih belum menyerah makhluk bajingan…” Drian, yang semula tampak seperti orang yang tidak berguna, bertahan lebih lama dari yang kuduga. Ia menggunakan batang logam untuk menyerang, mengincar mata dan bagian lemah Voidborn seperti dia telah biasa menggunakan senja. Namun, serangan balik salah satu makhluk itu menghantam dadanya. Ia terlempar, menda
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

Para penyintas (10)

Aku memimpin teman-temanku menjauh dari reruntuhan dengan tubuh yang hampir kehabisan tenaga. Roy tetap di belakang, menarik perhatian semua makhluk itu. Namun, langkahku terhenti. Perasaan bersalah yang mencekik dadaku tak bisa lagi kuabaikan. Aku menoleh, menatap kabut tebal yang menyelimuti tempat Roy bertempur. Dentuman senapannya terdengar jelas, namun semakin jarang. Dia bertarung sendirian, demi kami. Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini. “Ardi, kau mau apa?!” teriak Hendra saat aku memutar badan, berlari ke arah pertempuran. “Jangan bodoh!” Dika mencoba bangkit untuk menarikku kembali, tetapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku tidak bisa membiarkan dia bertarung sendirian!” jawabku tanpa ragu. Mataku tertuju pada busur yang tergeletak di dekat Dika, busur peninggalan Gatra, seorang pemanah tangguh yang pernah menjadi bagian dari kami sebelum dia gugur. Aku meraihnya tanpa berpikir panjang, meskipun aku tahu aku tidak memiliki kemampuan memanah sepertinya. Aku tiba di m
last updateLast Updated : 2025-01-10
Read more

Para penyintas (11)

Di tengah kekacauan itu, ketika Voidborn dan Hunter semakin mendekat, kami sudah hampir menyerah. Aku dan Roy berdiri berdampingan, tubuh kami terluka parah, napas kami tersengal-sengal, dan tangan kami gemetar memegang senjata yang nyaris tak berguna. Aku menatap ke arah makhluk-makhluk itu. Voidborn dengan tubuh menjulang dan mata menyala penuh kebencian, Hunter yang mengaum liar seperti hewan buas. Kematian terasa begitu dekat, seperti napas dingin yang menyentuh tengkuk. Namun, sebelum makhluk-makhluk itu sempat menyerang, suara gemuruh dari langit tiba-tiba memecah keheningan. Aku mendongak dengan cepat, mataku menangkap sesosok bayangan yang melesat turun dari langit. Cahaya biru menyilaukan menyelimuti sosok itu, seperti bintang jatuh yang meluncur dengan kecepatan luar biasa. Lalu, dia mendarat di antara kami dan para Voidborn. Dentuman keras mengguncang tanah, debu dan serpihan beterbangan ke segala arah. Ketika debu mereda, aku melihatnya berdiri tegak—pria itu. “Kau
last updateLast Updated : 2025-01-10
Read more

Para penyintas (12)

Langit semakin gelap, seolah mengisyaratkan datangnya kehancuran. Makhluk raksasa itu berdiri menjulang, tatapan matanya yang berwarna merah darah seolah menembus ke dalam jiwaku. Raungannya menggema, membuat tanah bergetar hebat. Suara itu membawa ketakutan yang begitu mendalam, seperti menyentuh bagian terdalam dari kegelapan dunia ini.Raka berdiri tegak, pedangnya bersinar lebih terang. Aura biru yang menyelimuti dirinya semakin kuat, melawan kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran. Dia melangkah maju tanpa ragu, setiap langkahnya memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Namun, aku tahu di balik keberanian itu, dia memahami risiko yang dia hadapi.“Ardi, bawa teman-temanmu pergi lebih jauh. Ini bukan pertarungan yang bisa kau hadapi,” kata Raka tanpa menoleh.“Sial pada akhirnya aku tak bisa melakukan apa-apa?” jawabku dengan nada hampir putus asa.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh padaku. Tatapannya tajam, tapi ada rasa hormat di dalamnya. “Kau memang lemah, Ardi. Kau
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more
PREV
1234
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status