Semua Bab Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi: Bab 31 - Bab 40

70 Bab

Sanctum Perennial (8)

Pagi di Sanctum terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan hanya suhu udara yang membuat tubuhku merinding—melainkan tatapan tajam Mirna yang menusuk, seakan menyelami pikiranku hingga ke dasar. Ia berdiri hanya beberapa langkah dariku, sikapnya tegap dan penuh kontrol."Ardi," katanya, suaranya datar namun sarat dengan tekanan. "Kemana saja kau setiap malam, apa yang kau lakukan?"Aku membuka mulut, mencoba merangkai jawaban, tapi Mirna memotongku sebelum satu kata pun keluar."Keributan semalam apa ini ulahmu juga." ucapnya tanpa memberiku jeda. "Apa yang kau cari Ardi, tanpa melibatkan kita semua, apa kau tak percaya pada kami?"Dadaku berdegup kencang. Aku melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Mirna, ini bukan saatnya untuk–""Untuk apa?" ia menyelaku dengan nada penuh emosi. "Untuk mempercayaimu begitu saja? Kau menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak akan diam melihat kita semua berada dalam bahaya!"Aku terdiam, mencoba merangkai jawaban yang
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-17
Baca selengkapnya

Sanctum Perennial (9)

Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.Aku tidak menjawab,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-18
Baca selengkapnya

Sanctum Perennial (10)

Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-18
Baca selengkapnya

Sanctum Perennial (11)

Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku. “Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya. "Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-19
Baca selengkapnya

Sanctum Perennial (12)

Tetesan air bergema dalam ruang gelap, bergabung dengan suara samar gerakan tikus di sudut-sudut. Aroma amis darah bercampur logam menguar tajam, membuat hidung perih dan perut mual. Di lantai berbatu yang licin, jejak-jejak merah menciptakan pola acak, dan di tengahnya, tubuh teman-temanku tergeletak tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi putus asa yang membuat dadaku terasa sesak. Cahaya redup dari lentera yang hampir mati menambah kesan muram, bayangannya menari di dinding seperti ejekan dari kegelapan.Semua ini salahku. Aku yang mengirim mereka ke neraka ini, dan sekarang tubuh mereka dingin di lantai berbatu. Aku bisa melihat wajah Mia, Mirna, Ayu, dan Dika yang penuh harapan... harapan yang akan segera hancur seperti yang lain. Aku tak berdaya. Apa pun yang kulakukan, aku hanya akan membawa mereka menuju kematian. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk melindungi mereka, andai saja aku diberi peran dalam skenario busuk ini. Tapi aku hanya pion tanpa guna, menonton tra
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-20
Baca selengkapnya

Sanctum Perennial (13)

Suara ledakan besar mengguncang seluruh penjara bawah tanah, menggema seperti guntur yang mengoyak langit. Dinding-dinding batu yang kokoh runtuh dalam hitungan detik, debu tebal menyelimuti ruangan, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat. Rasa panas dari ledakan masih terasa di kulitku, seperti bara yang baru saja padam. Aku terduduk di lantai, tubuhku terguncang, sementara debu-debu halus mengendap di rambut dan pakaianku.Lalu, langkah kaki bergema di antara reruntuhan, suara beratnya mengguncang lantai yang kini tertutup puing. Ada sesuatu yang aneh dan familiar dari suara itu, sebuah memori yang muncul samar-samar dari masa lalu. Aku memicingkan mata, mencoba melihat melalui kabut debu yang menari di udara. Sesosok pria perlahan muncul dari balik kabut, bayangan tubuhnya kian jelas. Pedang besar tergantung di punggungnya, mengkilap meski dikelilingi debu dan darah. Dia berhenti tepat di depanku, menatapku seolah menilai kerusakan yang telah terjadi.Tanpa berkata ap
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-21
Baca selengkapnya

Sanctum Perennial (14)

Langkah berat pria berjaket hitam bergema di lantai aula Sanctum. Sepasang mata hitamnya, dingin seperti lubang tanpa dasar, menatap langsung ke arahku. Aura kekuasaan menyelimuti sosoknya, membuat udara terasa lebih berat. Dia bukan sembarang orang, itu jelas dari cara semua yang ada di ruangan menahan napas. Tapi aku tidak peduli. Tatapanku hanya terpaku pada Davin, orang yang selama ini menjadi sumber penderitaanku. Aku mengepalkan pedang di tangan, menyatakan niatku yang jelas untuk menghabisi Davin. Tangan yang gemetar oleh emosi kini digerakkan oleh hasrat membalas dendam. Namun, saat aku melangkah maju, pria itu mendekat dengan gerakan santai, seolah waktu di ruangan ini adalah miliknya. Dalam satu gerakan, dia meraih pergelangan tanganku dengan cengkeraman seperti baja. "Sepertinya kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkan perintahku," katanya dengan suara rendah yang menusuk, dingin seperti malam tanpa bulan. Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkeramannya tidak go
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-22
Baca selengkapnya

Samudra Selatan

Hujan rintik mulai turun ketika aku melangkah keluar dari Sanctum, membawa sisa luka di tubuh dan jiwa. Tidak ada arah pasti yang mengiringi langkahku, hanya satu tujuan yang terpahat dalam pikiranku: menghancurkan Skenario, Konstelasi, dan segala entitas yang terlibat di dalamnya. Langkahku berat, kakiku hampir menyeret di atas aspal yang retak. Aku mendapati diriku di sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta. Bogor, nama itu tiba-tiba muncul di pikiranku saat aku melihat tulisan besar yang hampir rubuh di atas jalan utama.Tubuhku terlalu lelah untuk terus bergerak. Bangunan mall yang setengah hancur di sisi jalan terlihat seperti tempat berlindung sementara. Kaca-kaca pecah dan puing-puing yang berserakan di sekitarnya menyambutku. Aku melangkah masuk, waspada, mengamati setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian makhluk atau ancaman lainnya.Di dalam mall itu, udara lembab dan bau busuk menguasai ruangan. Bekas-bekas kehidupan manusia terlihat di sana-sini: mainan anak-a
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-22
Baca selengkapnya

Samudra Selatan (2)

Malam telah turun ketika mobil tua itu melaju perlahan di jalanan kosong yang menuju Samudra Selatan. Lampu-lampu jalanan banyak yang sudah lama padam, meninggalkan hanya cahaya bulan yang samar untuk menerangi aspal yang retak dan berdebu. Suara mesin mobil menjadi satu-satunya irama yang menemani perjalanan. Di dalam kabin, aku hanya ditemani oleh suara hembusan napasku sendiri dan bayangan masa lalu yang terus menghantui di kaca spion.Setelah beberapa jam menyusuri jalan, aku akhirnya tiba di sebuah perbukitan yang menghadap langsung ke laut. Aku mematikan mesin mobil dan keluar, membiarkan angin dingin yang membawa aroma garam menyambutku. Dari tepi bukit, aku bisa melihat ombak besar bergulung, menghantam bebatuan karang dengan ganas. Kabut tipis menyelimuti area itu, membuat segalanya tampak seperti dunia yang terputus dari kenyataan.Aku berdiri di pinggir tebing, menatap laut yang tampak tak berujung. "Istana dasar laut," gumamku dengan nada pelan. "Jadi, pemilik relik itu ad
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-23
Baca selengkapnya

Samudra Selatan (3)

Kami tiba di tepi pantai Samudra Selatan saat malam mulai menebarkan selimut kelamnya. Gelombang bergulung deras, memecah keheningan dengan suara hantaman ke karang yang menggema di udara. Aku berdiri di sana, menatap lurus ke horizon yang tampak tak berujung, mencari tanda-tanda yang bisa menunjukkan jalan menuju istana bawah laut. Namun, keheningan malam itu segera dipecahkan oleh suara gemuruh mengerikan yang menggema dari dasar laut. Getarannya terasa hingga ke pasir di bawah kaki kami.“Apa itu?” suara Risa bergetar, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Matanya menatap ke laut dengan ketakutan yang jelas.Aku tidak menjawab. Ada perasaan ganjil, seolah suara itu adalah peringatan dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa kubayangkan.“Sepertinya tuan rumah tidak menyambut kita dengan hangat,” gumamku, mataku tetap terpaku pada air yang mulai bergerak dengan cara yang tak wajar.Air laut di ujung pantai tiba-tiba terbelah perlahan-lahan, menciptakan jalan ya
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-24
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status