บททั้งหมดของ Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi: บทที่ 41 - บทที่ 50

70

Samudra Selatan (4)

Dalam kegelapan yang pekat, keheningan menjadi tirai yang menyembunyikan rasa bersalah yang selama ini membayangiku. Namun, satu demi satu, bayangan teman-temanku yang telah kehilangan nyawanya karena aku mulai muncul, membawa tatapan yang seolah-olah menuntut jawaban dariku. Mata mereka penuh luka, kesakitan yang tak terucapkan, tetapi terasa seperti belati yang menembus jiwaku."Ardi... kenapa kau tak menyelamatkanku?" Suara Nina terdengar samar, seperti bisikan yang datang dari dasar jurang. Tubuhnya perlahan muncul dari balik kegelapan, wajahnya pucat dengan darah yang menetes dari sudut bibirnya. Mata itu, penuh kesakitan, menatapku tanpa berkedip."Berhenti..." teriakku, suaraku terdengar parau dan pecah. Aku tak sanggup menatap matanya lebih lama, tetapi tubuhku terasa membeku, terjebak dalam pusaran rasa bersalah yang terus menarikku ke dalam.Namun, suara lain mulai memenuhi ruangan. Kali ini suara Hendra, tajam dan penuh kekecewaan. "Ardi... kenapa kau membiarkan aku mati?"
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-25
อ่านเพิ่มเติม

Samudra Selatan (5)

Gemuruh dari makhluk-makhluk yang muncul dari dinding air terasa begitu nyata, mengguncang lantai marmer di bawah kaki kami. KRRSSHSHHH... CRACK!Lima Salamender itu berdiri menjulang, tubuh mereka berkilauan oleh lapisan sisik yang tampak seperti berlian basah. Mata mereka menyala merah membara, mencerminkan amarah liar yang sulit dijinakkan. Dari rahang mereka yang besar, suara geraman rendah bergema, memantulkan perasaan bahwa mereka adalah predator puncak di dunia ini.GRRRRHHHHHHHHAku menggertakkan gigi, memaksa tubuhku untuk tidak mundur meski setiap naluri dalam diriku menjerit agar aku lari. Di sebelahku, Risa menatap dengan wajah tegang. Tangan kanannya sudah menggenggam erat gagang busurnya, tapi aku bisa melihat bagaimana jemarinya sedikit gemetar.“Ardi,” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di tengah gemuruh, “kita harus mencari cara untuk bertahan. Lima makhluk ini bukan lawan yang bisa kita hadapi begitu saja.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih kosong mencari strat
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-26
อ่านเพิ่มเติม

Samudra Selatan (6)

Riuh suara pertarungan memenuhi aula istana yang megah, namun kini terasa seperti medan perang. Gema benturan logam, desis api, dan pekikan para Salamander menciptakan simfoni kekacauan yang menggema hingga ke langit-langit tinggi berhias ukiran emas. Mayangsari berdiri di atas altar, senyumnya dingin seperti embun beku. Tatapannya yang tajam memperhatikan para peserta ujian yang kelelahan, tubuh mereka terhuyung-huyung melawan makhluk buas yang tak kenal lelah.Dari sudut pandangku, kelima Salamander itu seperti monster yang mustahil ditaklukkan. Tubuh mereka berlapis sisik tebal, mata menyala merah, dan setiap gerakan mereka disertai dengan gelegar yang mengguncang lantai. Aku bisa merasakan setiap serangan mereka mendekatkan kami semua pada keputusasaan.Di sisi lain aula, seorang pria mencoba menyerang dengan pedangnya, teriakan keberanian mengiringi ayunan senjatanya. "Aaaah!" Namun, hanya dalam sekejap, cakar Salamander menghantamnya dengan brutal, membuat tubuhnya terpental sep
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-26
อ่านเพิ่มเติม

Samudra Selatan (7)

Mandala berdiri dengan angkuh, aura dinginnya semakin intens, seolah seluruh ruangan menjadi saksi atas kekuatannya. Langit-langit aula yang sebelumnya penuh ukiran megah kini bergetar setiap kali dia bergerak. Debu mulai jatuh perlahan, menciptakan efek kabut tipis di tengah kerumunan yang tersisa. Udara terasa berat, seperti membawa tekanan yang menghimpit paru-paru setiap orang.Aku mencoba mengatur napas, meskipun rasa sakit dari tendangan tadi masih membakar tubuhku. Di kejauhan, Risa memandangku dengan mata yang basah. Dia ingin berteriak, tetapi sepertinya suaranya tertahan oleh ketakutan yang menguasainya.Mandala memutar kepalanya, mengamati semua orang di ruangan itu, sebelum pandangannya kembali tertuju padaku. "Kau ingin melawan, tapi kau bahkan tak bisa berdiri tegak. Lihatlah dirimu," katanya dengan nada mencibir, suaranya serak namun penuh ejekan.Aku menggenggam pedangku lebih erat. Tangan ini bergetar, bukan karena takut, tetapi karena tubuhku mulai lelah. Tapi aku ti
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-27
อ่านเพิ่มเติม

Samudra Selatan (8)

Ketika Mandala bersiap mengayunkan tangannya ke arahku, sebuah suara desing tiba-tiba memecah udara. WHIZZ! Anak panah melesat dengan kecepatan tinggi, menancap di lengan kanan Mandala yang terangkat. Dia mengerutkan alis, sejenak terhenti, sebelum tatapannya beralih ke arah asal panah. Di ujung sana, berdiri Risa dengan busur di tangannya, napasnya memburu."Kau," gumam Mandala sambil menyipitkan matanya, wajahnya berubah menjadi ekspresi marah yang mengerikan. Dengan satu gerakan cepat, dia menghilang dan muncul di depan Risa."Beraninya kau," desis Mandala sambil menjulurkan tangannya, mencengkram leher Risa. Suara tulangnya seperti hampir berderak di bawah tekanan itu. "Seharusnya kau tetap diam kalau ingin hidup lebih lama."Risa berusaha menggenggam tangan Mandala, kuku-kukunya mencakar tanpa hasil. Napasnya tersendat-sendat, tubuhnya bergetar. Namun, dengan sisa kekuatannya, dia meludah dengan kasar. "Lepaskan tangan kotormu, sialan!"Aku menyaksikan pemandangan itu dari tanah
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-28
อ่านเพิ่มเติม

Samudra Selatan (9)

Darah masih mengalir deras dari tubuh Mandala yang terkapar tak berdaya di sudut aula. Mayangsari, yang masih terengah-engah dengan luka di tubuhnya, menatapku dengan sorot penuh kebencian. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa sakit, tidak hanya fisik tetapi juga emosional."Apa yang kau lakukan, bajingan?!" teriak pria dengan kapak besar yang tadi menyerang Mandala bersamaku. Suaranya menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. "Kita hanya perlu mengalahkannya! Kenapa kau membunuh mereka?!"Aku tidak menjawab. Langkahku berat namun mantap menuju altar, tempat di mana Mayangsari sebelumnya berdiri dengan penuh kewibawaan. Setiap langkahku menggema di aula yang kini terasa sunyi. Suara desah napasku dan dengung energi yang memancar dari relik kristal biru di altar menjadi latar belakang yang mencekam.Mayangsari menggeliat di lantai, tubuhnya mulai bersinar dengan cahaya biru kehijauan yang memancar semakin terang. Ia mencoba berbicara, namun sua
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-28
อ่านเพิ่มเติม

Samudra Selatan (10)

Aku berdiri dengan napas yang terengah-engah, pasir basah di bawah kakiku menggenggam langkahku seperti tangan-tangan kecil yang ingin menyeretku ke bawah. Udara di sekitarku berat, penuh dengan energi yang berdesakan, mengguncang tubuhku seperti gempa. Di atas langit yang kelam, dengan retakan emas yang masih berpendar samar, berdiri makhluk itu. Ia bukan hanya entitas biasa, ia adalah bencana, kehancuran, dalang dari semua yang terjadi. Ia adalah Ordo Zeros. Aku mengepalkan tangan, pandanganku terkunci pada sosok besar itu. Matanya, hitam seperti jurang tanpa dasar, menatapku dengan dingin, tanpa emosi. Suaranya menggema di pikiranku, meski ia belum berkata apa-apa, seakan keberadaannya saja sudah cukup untuk menekan jiwaku. “Ordo Zeros!” Suaraku pecah, melawan angin yang menderu kencang. Aku merunduk, mengambil trisula yang jatuh di hadapanku. Energinya masih berkilauan, meski cahayanya meredup setelah terhempas oleh kekuatan Nyi Roro Kidul. “MATI KAU!” teriakku, memusatkan s
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-28
อ่านเพิ่มเติม

Borobudur

Pasir basah di bawah kakiku seolah berusaha menahanku, seakan-akan tak rela aku meninggalkan istana dasar laut itu. Namun aku tak punya waktu untuk berhenti, apalagi kembali. Langkahku mantap, meski terasa berat. Sesekali, angin laut membawa suara deburan ombak yang menggema seperti rintihan tempat yang perlahan tenggelam ke dalam kehampaan. Istana itu—simbol kemegahan yang kini hanya menjadi kehancuran.Saat aku tiba di tepi pantai, pandanganku disambut oleh tubuh-tubuh yang tergeletak tak sadarkan diri. Mereka adalah orang-orang yang dilempar oleh Ordo Zeros ke sini, ke tempat aman ini. Pasir mengotori pakaian mereka, wajah-wajah mereka pucat, tapi hidup. Di antara mereka, aku menemukan sosok yang membuat nafasku tercekat. Risa. Rambut hitam panjangnya basah oleh air laut, tetapi wajahnya masih sama seperti yang kuingat—tenang, meski penuh luka.Aku berdiri di sana, menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu dalam dadaku yang bergejolak, perasaan yang pernah ada namun t
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-29
อ่านเพิ่มเติม

Borobudur (2)

Angin dingin dari pantai menyelinap di antara robekan bajuku, membelai kulitku dengan kelembutan yang bertentangan dengan pemandangan di belakangku—reruntuhan kota yang ditinggalkan, saksi bisu dari kehancuran yang tak terhindarkan. Di tanganku, trisula itu bersinar redup, cahayanya berdenyut seperti jantung makhluk hidup, biru-hijau yang menguar dalam ritme yang tidak kupahami sepenuhnya. Aku tahu trisula ini adalah kekuatan besar, senjata yang seharusnya bisa menembus kehendak Konstelasi sialan itu. Namun, aku juga sadar satu hal—benda ini tidak tunduk padaku.Debu halus yang tertiup angin menggantung di udara saat aku meninggalkan batas kota, langkahku berat namun pasti menuju satu tujuan: Borobudur. Tempat di mana skenario berikutnya akan dimulai, di mana sebuah portal akan terbuka, menghubungkan pulau-pulau besar di dunia ini. Tapi Borobudur tidak dekat. Perjalanan panjang melintasi Jawa terbentang di hadapanku, jalanan yang penuh bahaya dan ketidakpastian menantiku di setiap sud
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-29
อ่านเพิ่มเติม

Borobudur (3)

Langit terpecah oleh suara gemuruh yang mengguncang telingaku. Gelombang kejut menggetarkan udara, diikuti oleh ledakan dahsyat yang memuntahkan debu ke angkasa. Pecahan kaca dan reruntuhan beterbangan, menghantam jalanan yang sunyi. Aku menghentikan langkah sejenak, jantungku berdebar liar, sebelum akhirnya berlari menuju sumber kekacauan itu.Debu beterbangan, menyelimuti udara dengan partikel abu-abu yang menggantung di langit. Ledakan dahsyat tadi masih menyisakan riak kehancuran di udara. Suara gemuruhnya bergaung, mengguncang gedung-gedung yang telah rapuh. Aku menghentikan langkah, mengatur napas, lalu berlari lebih cepat menuju sumber ledakan. Setiap langkahku menggema di atas aspal retak yang dipenuhi pecahan kaca dan reruntuhan."Ledakan apa itu?" gumamku, jantungku berdetak cepat.Di kejauhan, samar-samar aku melihat dua sosok bertarung. Seorang pria berjubah hitam, auranya gelap bagaikan bayangan malam, menggenggam pedang hitam yang seakan-akan menyerap cahaya di sekelilin
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-29
อ่านเพิ่มเติม
ก่อนหน้า
1234567
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status