All Chapters of Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi: Chapter 21 - Chapter 30

38 Chapters

Para penyintas (13)

Langit seolah runtuh di atas kami, retakan gelap seperti pecahan kaca membelah cakrawala, diiringi raungan Guardian of Abyss yang menghancurkan gendang telinga. Makhluk itu berdiri kokoh meski tubuhnya penuh luka, setiap celah daging yang tercabik dengan cepat menyatu kembali. Regenerasinya bukan sekadar cepat, tetapi sempurna. Tidak ada darah yang keluar, hanya energi hitam pekat yang berdenyut seperti jantung kedua.Aku merasakan busur Gandiwa di tanganku bergetar, seolah memberiku peringatan. Lina bilang aku hanya punya lima menit, tapi dengan monster seperti ini, lima menit rasanya seperti sekejap. Namun, aku tahu aku harus membuat setiap detik berarti.“Ardi!” teriak Danis, mengangkat tombaknya untuk menangkis pukulan raksasa dari Makhluk itu. Dentuman keras menggetarkan tanah di bawah kami, membuat retakan menyebar seperti sarang laba-laba. “Kita harus menyerangnya bersamaan! Ini satu-satunya cara!”Raka mengangguk, tubuhnya diselimuti aura biru yang lebih terang dari sebelumnya
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more

Para penyintas (14)

Saat aku membuka mata, bayangan gelap yang menyelimuti kesadaranku perlahan memudar. Dunia di sekitarku masih terasa samar, seperti melihat melalui kaca yang berkabut. Pandanganku mulai jelas, dan aku menyadari keberadaan orang-orang di sekelilingku—wajah-wajah yang sangat aku kenal, meskipun biasanya tak menunjukkan ekspresi seperti ini. “Ardi!” seru Mirna dengan suara bergetar. Matanya memerah, seperti habis menangis. Dia menggenggam tanganku erat, jari-jarinya dingin namun penuh kehangatan. "Kau akhirnya sadar..." katanya, suaranya nyaris tenggelam oleh isak tangis yang ditahannya. “Kak Ardi,” tambah Ayu dengan nada lega, meski wajahnya tak mampu menyembunyikan keletihan yang mendalam. Dia berdiri di sebelah Mirna, sesekali menyeka keringat di dahinya. Aku mencoba berbicara, tapi yang keluar hanya suara serak yang nyaris tak terdengar. Tenggorokanku seperti terbakar, kering seolah aku baru saja melintasi gurun pasir. Dengan susah payah, aku mengucapkan, “Apa... yang terjadi?” Ni
last updateLast Updated : 2025-01-12
Read more

Para penyintas (15)

Aku duduk di hadapan kelompokku memikirkan semua hal yang telah terjadi selama ini, aku tidak tau apa yang menjadi akhir dari perjalananku ini. Tapi satu hal yang pasti: dunia ini jauh lebih kejam daripada yang pernah aku bayangkan. Kami duduk di antara reruntuhan, mencoba beristirahat dari pertarungan yang panjang dan melelahkan. Udara masih dipenuhi debu, dan aroma darah serta keringat bercampur menjadi satu, memenuhi indra penciumanku.Mirna duduk di sampingku. Dia tersenyum kecil, tetapi senyumnya terasa hambar, tertutup oleh sorot kecemasan yang tak mampu disembunyikannya. Di seberang kami, Rei, Ayu, Nina, dan Mia duduk dalam lingkaran kecil. Mereka tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana yang berat, tetapi canda mereka terasa dipaksakan. Sementara itu, Dika hanya diam, menatap lantai dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mungkin lega, atau mungkin hanya kosong.Keheningan di antara kami akhirnya pecah oleh suara Mirna. “Berapa lama kita akan terus seperti ini?” tanyanya lirih,
last updateLast Updated : 2025-01-12
Read more

Sanctum Perennial

Kami berkumpul dalam lingkaran kecil, mengelilingi peta yang baru saja diberikan oleh Raka. Udara di sekitar kami terasa semakin berat, seperti reruntuhan yang mengelilingi kami membawa kenangan tentang kehancuran yang terus-menerus. Aku memandang wajah teman-temanku satu per satu, mencoba membaca pikiran mereka. Kebingungan, rasa takut, dan harapan yang rapuh terpancar jelas.“Apa kita benar-benar akan pergi kesana?” tanya Hendra, memecah keheningan. Dia menatapku dengan keraguan, tetapi aku bisa melihat ada sedikit harapan dalam sorot matanya.“Kita tak punya pilihan lain?” jawabku. “Dunia ini sudah cukup menghancurkan kita. Jika kita tetap berjalan tanpa tujuan, kita hanya akan menunggu mati. Kalau ada sedikit saja kesempatan untuk tetap bertahan, bukankah kita harus mencobanya?”Hendra menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Aku hanya ingin kita semua tetap hidup. Itu saja.”Mirna menatapku tajam, matanya menyipit seolah-olah mencoba membaca pikiranku. “Kau tahu betapa berbahaya
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

Sanctum Perennial (2)

Langkah kami perlahan menyusuri jalan berbatu yang dingin, diterangi cahaya remang-remang dari bulan di langit. Reruntuhan kota tempat pertarungan kami hanya menjadi bayangan kelam, seperti monumen bisu dari kehancuran yang ditinggalkan. Udara malam terasa menusuk, tapi yang lebih dingin adalah ketidakpastian di hati kami. Peta di tanganku menjadi satu-satunya panduan, meskipun setiap langkah ke depan terasa seperti berjalan menuju jurang yang tak terlihat.“Berapa jauh lagi kak Ardi sampai kita sampai?” tanya Ayu, suaranya terdengar lelah. Dia menggenggam lenganku erat, seolah takut jika dia melepaskannya, dia akan tersesat dalam kegelapan.Aku menatap peta di tanganku. “Jika tanda ini benar, kita harus mencapai sungai dalam tiga hari,” jawabku. “Setelah itu, Sanctum Perennial tidak akan terlalu jauh.”“Tiga hari?” Dika mengeluh, menyandang ranselnya yang hampir kosong. “Dengan persediaan kita yang tinggal sedikit, aku tidak yakin kita bisa bertahan.”“Jangan berpikir terlalu jauh,”
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

Sanctum Perennial (3)

Langit malam di atas tembok Sanctum Perennial memancarkan warna kelabu yang diselingi kilau bintang, menciptakan pemandangan yang sekaligus indah dan suram. Angin sejuk mengalir lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang entah mengapa terasa asing di tengah hiruk-pikuk kehancuran dunia di luar. Aku berdiri di depan gerbang raksasa dari baja hitam, mengingat perjalanan panjang yang telah kulewati untuk sampai di sini. Setiap langkah membawa bekas luka, baik di tubuh maupun di hati. Nama-nama yang pernah ada dalam perjalanan ini, seperti Gatra dan Pak Rusdi, berputar di pikiranku seperti nyanyian pilu. Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa bersalah yang merayap tanpa henti. Andai saja aku lebih kuat, lebih cepat, atau lebih berani... mungkin mereka masih bersama kami sekarang. Di sebelahku, Dika melangkah maju, memecah keheningan dengan gumaman cemas, "Jadi... ini tempat yang katanya aman?" Aku tidak menjawab. Pikiranku teralihkan oleh suara gesekan logam dari atas tem
last updateLast Updated : 2025-01-14
Read more

Sanctum Perennial (4)

Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kecil di kamar kami, memberikan sedikit kehangatan di tengah udara dingin Sanctum Perennial. Suara lonceng pagi yang khas bergema di seluruh kota, mengingatkan para penduduk untuk memulai aktivitas mereka. Aku bangun lebih awal dari yang lain, duduk di tepi tempat tidur sambil menatap jendela di sudut ruangan."Ardi, kamu sudah bangun?" tanya Mirna pelan, suaranya sedikit serak karena baru bangun tidur. Dia melangkah mendekat dan duduk di sebelahku. "Kau juga memikirkan apa yang Dika katakan semalam, kan?"Aku mengangguk. "Aku tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada lebih banyak hal yang terjadi di sini daripada yang mereka tunjukkan."Mirna hanya diam. Kami berdua terjebak dalam pikiran masing-masing, hingga suara ketukan di pintu membuyarkan keheningan."Hei, sudah waktunya sarapan," kata Dika dari balik pintu. Aku bangkit dan membuka pintu, menemukan dia sudah siap dengan seragam Wardens-nya. "Cepatlah. Hari ini ada pertemuan di aula besa
last updateLast Updated : 2025-01-15
Read more

Sanctum Perennial (5)

Keesokan harinya, suasana Sanctum terasa lebih berat dari biasanya. Langit yang biasanya cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang mulai meresap di antara kami semua. Para penghuni berjalan lebih cepat dari biasanya, dengan kepala tertunduk dan langkah tergesa-gesa.Saat aku sedang menyusun arsip di ruang Archivists, Drian menghampiriku. Wajahnya tampak serius, lebih dari biasanya. Dia menyodorkan secarik kertas kecil, nyaris tersembunyi di antara tumpukan dokumen yang dia bawa.“Ini yang berhasil kudapatkan,” bisiknya. “Aku belum bisa mengakses keseluruhan dokumen itu, tapi ada satu kalimat yang menarik perhatian.”Aku membuka kertas kecil itu dan membaca tulisan yang ditulis dengan tergesa-gesa:“Penyintas adalah wadah kosong untuk pemeran, dan untuk menciptakan pemeran buatan maka di butuhkan inti kekuatan dari seorang pemeran murni.”Kalimat itu menancap dalam pikiranku. Apa maksudnya? Siapa yang dimaksud dengan pemeran murni? Apakah orang-orang se
last updateLast Updated : 2025-01-15
Read more

Sanctum Perennial (6)

Keesokan harinya, langit Sanctum masih kelabu, seakan-akan mendung itu enggan pergi. Langkah-langkah para penghuni terdengar tergesa-gesa di lorong-lorong, dan suasana semakin terasa menyesakkan. Aku tak bisa mengenyahkan rasa gelisah yang menyelubungi pikiranku sejak pertemuan tadi malam. Tawaran Davin masih bergema di benakku seperti jerat yang tak kasat mata.Di ruang arsip, aku duduk bersama Drian, Ayu, dan beberapa anggota faksi Archivists lainnya. Suara gemerisik kertas menjadi latar belakang monoton yang biasanya menenangkan, tetapi hari ini terasa lebih menekan. Drian, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumennya. Namun, aku tahu pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Pandangannya sering melayang ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya.Akhirnya, dia tak tahan lagi. "Ardi," bisiknya pelan, memastikan tak ada yang mendengar. "Kau harus berhati-hati dengan Davin. Aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku yakin dia tidak akan menawarka
last updateLast Updated : 2025-01-16
Read more

Sanctum Perennial (7)

Lorong-lorong gelap Sanctum berubah menjadi labirin yang terasa semakin sempit seiring suara sirene yang menggema di seluruh penjuru. Alarm yang nyaring itu menggigit telinga, menciptakan ketegangan yang menekan dada kami. Aku memimpin kelompok kami keluar dari laboratorium, mencoba mengingat setiap tikungan dan lorong tersembunyi yang pernah disebutkan Drian. Di belakangku, Nina terengah-engah sambil memegangi luka kecil di lengannya yang didapat saat merunduk dari salah satu rak logam.“Kita tidak bisa kembali ke gudang,” bisik Drian, matanya melirik ke sekeliling, mencari alternatif. “Mereka akan menyisir setiap sudut Sanctum.”“Kalau begitu, ke mana kita harus pergi?” tanya Hendra dengan nada mendesak.Sebelum aku sempat menjawab, langkah-langkah kaki berat terdengar mendekat. Kami semua terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, aku mengisyaratkan agar kami berlindung di balik pintu baja kecil yang sedikit terbuka. Kami masuk satu per satu dengan cepat, menutup pintu itu denga
last updateLast Updated : 2025-01-16
Read more
PREV
1234
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status