Di ruang ICU rumah sakit, Darius berdiri di samping Dania yang menangis tersedu, memeluk tubuh tidak berdaya sang ayah. Wajah wanita itu sembab, napasnya tersengal akibat histeris yang tidak kunjung reda. Sudah lebih dari dua minggu ini, Dania mengabaikan obatnya. Dia memilih larut dalam alkohol, membenamkan diri dalam kemarahan dan kekecewaan. “Dania, sebaiknya kita keluar sekarang. Papamu butuh ketenangan,” ujar Darius, mencoba meredakan situasi dengan menepuk pundaknya. Namun, tangan pria itu ditepis dengan kasar. “Pergi sana! Aku mau tetap di sini! Aku tidak akan ninggalin Papa!” bentak wanita itu tajam, matanya berkilat penuh kemarahan. “Ini semua salah kalian! Seandainya donor pertama diberikan ke Papa, jantungnya pasti cocok! Kalau sampai Papa kenapa-napa, aku tuntut rumah sakit ini! Dan kamu, terutama Dewi, akan membayarnya!” Darius mengepalkan tangan, mencoba menahan kesabaran. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Didit yang setengah sadar tiba-tiba mengangkat tangan denga
Terakhir Diperbarui : 2025-03-03 Baca selengkapnya