“Wah, kamu ada di sini?” Suara Denver terdengar dingin dan datar, jauh dari sambutan hangat yang biasa dia berikan. Tatapannya tidak menunjukkan keterkejutan atau ketertarikan sedikit pun. “Ya, aku di sini, Dok. Aku mau mengatakan sesuatu,” ucap Dania dengan senyum melengkung di bibir pucatnya, meskipun matanya terlihat redup. Denver tidak menanggapi. Dia memilih duduk dengan santai, menjauh dari wanita itu. Sesekali, tatapannya jatuh ke arloji di pergelangan tangannya, lalu melirik pintu, seolah menunggu seseorang masuk untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Dania, yang tetap berdiri, mendorong tiang infusnya dan melangkah anggun menuju meja Denver. Tanpa meminta izin, dia duduk di tepi meja, menatap pria itu dengan tatapan sendu yang disengaja. “Terima kasih, Dok. Sudah menyelamatkan hidupku. Tapi sekarang aku cacat,” bisiknya, suaranya bergetar. Air mata mulai membasahi pipinya, jatuh tanpa henti. “Kalau boleh memilih, kenapa aku tidak dibiarkan mati saja? Kenapa Dokter
Last Updated : 2025-03-01 Read more