semoga Pak Dania sehat sehat
“Pak Danis kenapa, Ruslan?!" Denver menghampiri dengan langkah cepat, sorot mata karamelnya tajam menuntut jawaban.Ruslan masih terengah, tangan asisten itu gemetar saat menunjuk layar ponsel. Dewi yang sudah diliputi kecemasan langsung merebutnya."Ha—halo ...," ucapnya dengan goyah dan napas tersendat."Ya, halo, bagaimana Pak Ruslan? Kapan proses operasi transplantasi dilaksanakan? Jantung untuk Pak Danis sudah siap diambil. Kami menunggu di sini."Sejenak, dunia Dewi terasa berhenti. Tangan yang memegang ponsel mulai bergetar. Seperti dihantam gelombang emosi yang tak tertahan, tangis wanita itu pecah.Bahkan lutut Dewi melemas, membuat tubuhnya nyaris ambruk jika saja Denver tidak sigap merangkulnya."Mon ange ...," bisik Denver, menahan Dewi dalam dekapannya, membiarkan wanita itu menumpahkan segala asa dalam pelukannya."Makasih, Dokter. Makasih, suamiku ... jantung untuk Ayah sudah ada," isak Dewi dengan tangan me
Dewi menggigit bibir, berusaha menahan getaran yang merambat ke seluruh tubuhnya. Suaranya bergetar saat dia berbicara. "Apa maksudnya ini? Rahasia apa?" Sepasang mata Denver dan Darius langsung membelalak, refleks mereka menoleh ke arah Dewi yang kini berdiri dengan tatapan tajam menusuk. Kedua pria itu membisu, seolah-olah tidak tahu harus berkata apa.Udara di sekitar mereka pun seakan berubah menegang. Beberapa saat sebelumnya, Dewi merasa ada yang tidak beres dengan proses operasi sang ayah. Dia sempat mencoba menghubungi Denver, tetapi panggilan itu tidak tersambung.Saat itulah dia melihat sang suami berjalan tergesa menuju lift dengan ekspresi yang tegang. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan, dan dia sudah mengetahui semua. Kini, baru saja hatinya merasa tenang, Dewi kembali gundah. "Kenapa diam saja? Barusan kalian bicara tentang aku, sekarang kenapa malah membisu?" Suara Dewi terdengar getir. Napas yang sudah memburu membuat dadanya naik turun. Ada sesuatu
Mengawasi jalannya operasi Danis, ditambah dengan berbagai tugas manajemen lainnya, membuat Denver tidak diam di satu tempat sepanjang hari.Bahkan setelah operasi transplantasi selesai, dia masih memastikan semuanya berjalan lancar dan memerintahkan Dwyne serta Oma Nayla untuk pulang lebih dulu. Namun, dia sendiri tetap berjaga di rumah sakit hingga Danis siuman.Saat sedang berbincang dengan Dokter James, ponsel di saku jas putihnya bergetar terus-menerus. Awalnya Denver mengabaikan, tetapi bunyi itu terus mengusik. Dengan gerakan cepat, dia merogoh saku dan melihat nama Oma Nayla di layar.“Ya, Oma?” sapa Denver, sementara mata karamelnya tetap tertuju pada layar tablet yang menampilkan rekam medis Danis.“Denver! Ya ampun, istri dan anakmu hilang!” Suara Oma Nayla terdengar kacau dengan napas tersengal-sengal.Jantung Denver seketika mencelos. Pikiran pria itu mendadak kosong, tetapi refleksnya langsung menajam. Jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat, sementara pandangannya me
Berbeda dengan Denver yang sibuk mencari Dewi, wanita itu justru duduk di dalam kamar tamu rumah Maharani. Dia memeluk lutut, dengan mata yang sembab menatap langit pekat tanpa bintang.Dingin malam menggigit kulit putih Dewi, tetapi hatinya lebih beku daripada udara yang berembus di wajahnya."Ternyata benar, Rani," lirih Dewi dengan suara serak karena terlalu banyak menangis. "Orang yang paling dekat dengan kita bisa menyakiti kita sedalam ini."Maharani menghela napas, lalu mendekat, merangkul Dewi dengan lembut. "Aku enggak bisa bilang aku ngerti masalahmu. Tapi kalau kamu butuh tempat bersembunyi sementara, kamu tahu rumahku selalu terbuka buatmu."Dewi tersenyum tipis, meskipun air mata masih menetes. "Makasih, ya, Rani. Maaf kalau aku merepotkan."Tadinya Dewi berniat menyewa hotel atau kontrakan kecil, tetapi dia sadar bahwa Denver pasti akan melacaknya lewat kartu ATM yang diberikannya. Sebab dia tidak memiliki ung cash dalam jumlah besar.
Dewi merapatkan cardigannya saat angin siang ini menerpa kuat kulitnya. Dia melangkah cepat, lalu berlari ke arah halte bus. Namun, suara itu terus mengejarnya—suara yang begitu dikenal.Jika saja dia bisa memilih, dia ingin menutup telinga dan pura-pura tidak mendengar. "Dewi, ayolah! Kamu boleh marah padaku, tapi kasihan Om Danis yang terus mencarimu. Papamu itu masih dalam proses penyembuhan, Wi!" Suara tegas itu berasal dari Darius, penuh desakan yang membuat Dewi makin muak. Tanpa menoleh sedikit pun, Dewi terus berjalan, menekan emosi yang mendidih di dada dan kepalanya. Mobil putih di sampingnya masih terus mengikuti. Lalu, terdengar suara langkah kaki yang lebih cepat. "Dewi, kami punya alasan untuk merahasiakan ini dari kamu," ujar Darius, suara pria itu lebih lembut kali ini, mencoba membujuknya. Dewi berhenti mendadak, jantung berdegup lebih kencang. Dia berbalik, lantas menatap Darius dengan mata yang sudah memerah. "Dokter Darius, tolong jangan ganggu aku! Atau a
Teriakan Dewi membangunkan pemilik rumah dan penghuni lainnya. Semua orang keluar, menatap bingung pada Denver yang tergeletak di semak-semak dengan wajah menahan sakit."Pelan-pelan, Mon ange," bisik Denver, mengerang saat nyeri menjalar dari punggung hingga kakinya.Dewi menatap pria itu dengan campuran kesal dan cemas. Tangannya mengepal. Dia tahu Denver bukan pria ceroboh. Jelas sekali suaminya ini memang sengaja memanjat untuk masuk ke kamarnya. Bahkan terdapat tangga besi di dekat Denver terjatuh. Sungguh keterlaluan!Akan tetapi, melihat bagaimana tubuh tinggi besar itu tergeletak dengan ekspresi kesakitan, sesuatu dalam diri Dewi mencelos. Dengan gerakan enggan, Dewi berjongkok dan mulai mengopres punggung pria itu menggunakan es batu."Sebaiknya temui Dokter Ket," ucap Dewi ketus, menekan kantong es lebih keras dari seharusnya.Denver mengerang, lalu menyeringai kecil. "Pakai es batu juga cukup. Tolong bantu aku, Sayang."Alih-alih menuruti, Dewi merogoh saku jaket Denver, me
Denver mempercepat langkah, darahnya mendidih melihat pemandangan di depannya. Darius berjalan terlalu dekat dengan Dewi, bahunya kedua orang itu nyaris bersentuhan.Tanpa pikir panjang, dia berdiri tepat di hadapan mereka, menghalangi jalan. Rahang Denver mengatup dengan napas memburu, tetapi wajahnya tetap tersenyum."Dewi, kamu ke sini?" tanya Denver, dan suaranya terdengar lebih tajam daripada sebelumnya.Dewi menunduk sedikit karena menghindari tatapan manik elang itu."Mau lihat Ayah," jawab Dewi singkat. Dia selalu saja merasa terjebak di antara dua pria ini, dan yang paling dia inginkan saat ini hanyalah keluar dari situasi menyebalkan secepat mungkin.Dia juga tidak ingin bertemu Darius, tetapi tanpa sengaja keduanya berpapasang di depan pintu, sehingga memaksa Dewi berjalan bersama Darius. Denver melirik Darius sekilas, lalu langsung meraih pergelangan tangan istrinya. "Papamu ada di ruang VIP. Aku antar."Tanpa menunggu persetujuan, Denver menarik Dewi menjauh dari Darius
Dewi merasakan tubuhnya membentur lantai dingin, napasnya pun tercekat oleh kejutan tak terduga ini. Seketika para staf rumah sakit bergegas membantu Dewi berdiri dan membawanya ke sofa tunggu. Tangan wanita itu mencengkeram tas erat, matanya terpaku pada sosok yang berdiri tidak jauh darinya.“Dania?” gumam Dewi dengan napas tersengal.Tatapan Dania dingin dan tajam, tetapi ada yang berbeda kali ini. Tidak ada sindiran tajam atau provokasi. Hanya ada desahan pendek sebelum wanita itu berdecak dan kembali berlari menuju lift, meninggalkan Dewi dengan tanda tanya besar.Dewi memutuskan untuk pulang ke rumah Maharani, meninggalkan segala kegelisahan yang belum terjawab. Begitu tiba, dia langsung disambut suara ceria Dirga yang mengayunkan mainan kecilnya, menghasilkan bunyi nyaring mengisi ruangan.“Pa—pa. Ma—ma.”Bayi itu tergelak sambil merangkak mendekati Dewi, tangan kecilnya mencoba berpe
"Makanlah yang benar! Kasihan anak itu," kata Darius yang bicara tanpa menatap Maharani.Saat ini Maharani duduk di tempat tidur, tangannya gemetar saat menyendokkan nasi ke mulutnya."Iya, Dok. Makasih sudah mau tinggal sebentar di sini.""Bukan masalah," sahut Darius masih sama.Darius ada di sana, menemaninya, dia duduk di kursi di dekat ranjang, tetapi tidak benar-benar memperhatikannya. Pria itu lebih sibuk dengan ponselnya, sesekali mengetik sesuatu dengan ekspresi datar. Baru saja Maharani menelan beberapa suap, dia terperangah dengan kehadiran Dania yang masuk kamar.Wanita itu mengawasi dengan tatapan tajam, seolah memastikan Maharani tidak melewatkan satu butir nasi pun."Habiskan Ran! Badanmu itu sangat lemah, aku tidak mau anak itu kurang gizi!" ucap wanita itu tajam."Iya, Dok. Aku pasti habiskan, kok." Mulut Maharani terus mengunyah, meskipun terasa perih.Suasana benar-benar mencekam. Maharani merasa seperti tahanan yang sedang diawasi sipir penjara.Tidak lama perhat
Pascaperistiwa menegangan hari itu, Maharani akhirnya mengaktifkan kembali ponselnya. Dia menyadari bahwa menghilang tidak ada gunanya karena pada kenyataannya semua tetap terbongkar.Hal pertama yang dia lakukan menghubungi Dewi.“Dewi … ini aku, Rani. Bisa kita bertemu di Kafe Rainbow?” pintanya, dengan suara pelan dan penuh keraguan. Dia sungguh berharap Dewi datang bertemu dengannya.Siangharinya, Maharani sudah menunggu cukup lama. Bahkan dia telah menghabiskan dua gelas jus di kafe yang sepi itu.Saat Maharani mulai pasrah dan yakin sahabatnya tidak akan datang, detik itu juga Dewi mendekat dengan tatapan nanar.“Rani?” panggil Dewi, suaranya lemah lembut.Seketika Maharani menggenggam gelas kosong erat, sementara Dewi langsung meraih tangan wanita itu dalam genggamannya. Keheningan pun menyelimuti mereka.Kedua duduk saling berhadapan. Tatapan Maharani dipenuhi kerinduan dan penyesalan, seolah ada
Maharani berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Darius berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam tulangnya. Udara di ruangan itu mendadak begitu berat, napasnya terasa sesak."Kenapa kamu diam? Jawab aku, Maharani! Apa yang kamu pikirkan sampai melakukan ini?" Suara Darius terdengar dalam dan menegangkan, membuat Maharani mendadak kehilangan kosakata.“Aku … hanya ….” Maharani memejamkan matanya sejenak. Dia menelan ludah, berusaha menghindari tatapan menusuk itu.“Hanya apa? Apa istriku mengancammu, hah? Katakan!” perintah Darius lagi tanpa memberi ampun.Dia melirik ke arah Dania, berharap wanita itu membantunya keluar dari situasi ini. Namun, Dania hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, tampak sorot matanya penuh kepuasan. Maharani tidak menyangka seseorang yang dianggap sebagai rekan kerja, membiarkannya tenggelam sendirian seper
Dewi bergegas ke dapur begitu mendengar suara pecahan gelas. Saat sampai, alangkah terkejutnya dia mendapati Valerie sedang berjongkok, meringis kesakitan sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Ya ampun Valerie!" Dewi segera mendekat, menarik tangan Valerie. "Jangan sentuh pakai tangan kosong!" pekiknya. Mata sipitnya melebar melihat ada luka di jari Valerie, cairan merah merembes keluar. "Kamu–" "Aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Valerie, wajahnya sedikit pucat. "Aku tadi mau ambil air, tapi tanganku sakit." Tanpa banyak bicara lagi, Dewi mengambil kotak P3K, lalu dengan cekatan membersihkan luka Valerie. "Makasih, ya, Wi." ujar Valerie setelah tangannya dibalut plester. Dewi tersenyum lantas menyentuh bahu Valerie. Adik sepupu Denver itu meringis. "Harusnya aku yang bilang makasih, tanganmu pegal karena gendong Dirga," ucap Dewi sungkan. "Ya, mungkin. Badannya Dirga berat, sih." Valerie tergelak mengingat anak kecil itu. Dewi terseny
"Wi, ada pasien trauma tingkat 1 di kepala. Tolong bantu."Suara itu menyadarkan Dewi, dia tidak boleh meninggalkan rumah sakit ini sebelum jam kerjanya selesai.Dewi menghela napas panjang, meremas jemarinya yang terasa dingin."Iya Sus." Dewi segera berlari membantu tim medis lain. Barulah setelah menyelesaikan sif-nya di rumah sakit, tanpa memberitahu Denver, dia segera meluncur ke rumah kontrakan Maharani.Begitu sampai, langkahnya terhenti saat melihat Astuti terduduk di lantai ruang tamu, bahunya terguncang karena isakan.Di hadapannya, ads selembar cek senilai seratus juta tergeletak begitu saja di atas meja kayu tua.“Bu Astuti?” Dewi mendekat, menahan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Apa yang terjadi?”Astuti mendongak, wajahnya yang sembab memperlihatkan keputusasaan begitu kentara. “Rani pergi ... Dokter Dania kasih uang ini. Seratus juta, Dewi. Ibu takut!”Dewi memicingkan mata, perasaan tidak enak menyergap pikirannya. “Uang sebanyak ini untuk apa?”Astuti
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Rani
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel