Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
Denver merangkul bahu Darius dan menggiringnya keluar dari ruang sidang. Sikapnya mencerminkan kedekatan khas dua lelaki yang sudah seperti saudara. Bahkan postur tubuh mereka yang nyaris sama tinggi membuat keduanya tampak seperti kembar jika dilihat sepintas.Hanya saja, rambut cokelat kehitaman milik Denver tampak kontras dengan rambut Darius yang hitam legam dan selalu tertata rapi.“Lepas, Denver,” gerutu Darius, berusaha menyingkirkan lengan pria itu dari bahunya.“Minum kopi. Aku traktir,” ajak Denver spontan, tahu betul bahwa pikiran sahabatnya itu tengah kusut dan butuh pelarian sejenak.Darius mengangguk kecil dan menghela napas panjang. Setelah berhasil meloloskan diri dari genggaman Denver, dia langsung menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan gedung pengadilan.Sementara itu, Denver harus berjalan sedikit lebih lama. Audi hitam miliknya tadi diparkir cukup jauh karena dia datang agak terlamb
Rupanya wanita yang mengidam, jika tidak dituruti akan membuat suasana hatinya buruk. Termasuk Dewi, ketika meminta dibelikan martabak telur tepat pada pukul tiga dini hari, itu karena dia melihat postingan di sosial media.Tentunya Denver dan Dirga dibuat kewalahan dengan permintaan itu. Dua lelaki beda usia tersebut lebih sering pergi mencari makanan yang diinginkan ibu hamil. Dirga memang ingin terlibat langsung dan dia akan mengamuk jika Denver mengabaikannya.Meskipun Denver bisa membuat martabak telur spesial di rumah, tetap saja Dewi ingin makanan itu dibeli dari pedagang langsung.Mengidam itu pun terus berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya, saat usia kandungan sang Dewi telah membesar dan membuatnya sulit bergerak. Bahkan dia mengajukan cuti lebih awal.“Sayang, kok lama banget? Aku ... aku tegang nunggu kamu,” adu wanita berperut buncit itu dengan suara bergetar.Dia ingin menghampiri Denver yang baru saja masuk ke kamar rawat, tetapi saluran infus di tangan membatasi gera
"Bagaimana keadaan Dewi, Darius?" tanya Dwyne, langsung meraih tangan rekan putranya itu dengan gemetaran.Sejak diberitahu bahwa kondisi Dewi memburuk dan harus segera dilarikan ke ruang operasi, Dwyne bersama Oma Nayla segera bergegas ke rumah sakit. Termasuk Danis yang saat ini sedang dalam perjalanan menuju ibu kota. Sementara itu, Dirga menunggu di rumah, ditemani pengasuh dan Valerie.Di sisi lain, Darius pun menjadi panik setelah mendengar jadwal operasi Dewi dimajukan satu jam. Pria itu baru saja selesai dengan praktiknya. Karena rasa sayang sebagai sepupu, dia langsung mencari tahu informasi tentang kondisi Dewi.Darius baru saja keluar dari ruang tindakan. Dia melihat langsung bagaimana Dewi terbaring di dalam sana."Darius, kenapa kamu diam saja?" ulang Dwyne cemas. Wanita itu mendengkus kecil dan melirik jam tangannya. "Ini sudah lebih dari satu jam, tapi belum ada informasi tentang Dewi. Dia baik-baik saja, bukan?" desaknya.Darius menghela napas. "Aku tidak punya wewenan
"Bagaimana keadaan Dewi, Darius?" tanya Dwyne, langsung meraih tangan rekan putranya itu dengan gemetaran.Sejak diberitahu bahwa kondisi Dewi memburuk dan harus segera dilarikan ke ruang operasi, Dwyne bersama Oma Nayla segera bergegas ke rumah sakit. Termasuk Danis yang saat ini sedang dalam perjalanan menuju ibu kota. Sementara itu, Dirga menunggu di rumah, ditemani pengasuh dan Valerie.Di sisi lain, Darius pun menjadi panik setelah mendengar jadwal operasi Dewi dimajukan satu jam. Pria itu baru saja selesai dengan praktiknya. Karena rasa sayang sebagai sepupu, dia langsung mencari tahu informasi tentang kondisi Dewi.Darius baru saja keluar dari ruang tindakan. Dia melihat langsung bagaimana Dewi terbaring di dalam sana."Darius, kenapa kamu diam saja?" ulang Dwyne cemas. Wanita itu mendengkus kecil dan melirik jam tangannya. "Ini sudah lebih dari satu jam, tapi belum ada informasi tentang Dewi. Dia baik-baik saja, bukan?" desaknya.Darius menghela napas. "Aku tidak punya wewenan
Rupanya wanita yang mengidam, jika tidak dituruti akan membuat suasana hatinya buruk. Termasuk Dewi, ketika meminta dibelikan martabak telur tepat pada pukul tiga dini hari, itu karena dia melihat postingan di sosial media.Tentunya Denver dan Dirga dibuat kewalahan dengan permintaan itu. Dua lelaki beda usia tersebut lebih sering pergi mencari makanan yang diinginkan ibu hamil. Dirga memang ingin terlibat langsung dan dia akan mengamuk jika Denver mengabaikannya.Meskipun Denver bisa membuat martabak telur spesial di rumah, tetap saja Dewi ingin makanan itu dibeli dari pedagang langsung.Mengidam itu pun terus berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya, saat usia kandungan sang Dewi telah membesar dan membuatnya sulit bergerak. Bahkan dia mengajukan cuti lebih awal.“Sayang, kok lama banget? Aku ... aku tegang nunggu kamu,” adu wanita berperut buncit itu dengan suara bergetar.Dia ingin menghampiri Denver yang baru saja masuk ke kamar rawat, tetapi saluran infus di tangan membatasi gera
Denver merangkul bahu Darius dan menggiringnya keluar dari ruang sidang. Sikapnya mencerminkan kedekatan khas dua lelaki yang sudah seperti saudara. Bahkan postur tubuh mereka yang nyaris sama tinggi membuat keduanya tampak seperti kembar jika dilihat sepintas.Hanya saja, rambut cokelat kehitaman milik Denver tampak kontras dengan rambut Darius yang hitam legam dan selalu tertata rapi.“Lepas, Denver,” gerutu Darius, berusaha menyingkirkan lengan pria itu dari bahunya.“Minum kopi. Aku traktir,” ajak Denver spontan, tahu betul bahwa pikiran sahabatnya itu tengah kusut dan butuh pelarian sejenak.Darius mengangguk kecil dan menghela napas panjang. Setelah berhasil meloloskan diri dari genggaman Denver, dia langsung menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan gedung pengadilan.Sementara itu, Denver harus berjalan sedikit lebih lama. Audi hitam miliknya tadi diparkir cukup jauh karena dia datang agak terlamb
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan