Dewi merasakan tubuhnya membentur lantai dingin, napasnya pun tercekat oleh kejutan tak terduga ini. Seketika para staf rumah sakit bergegas membantu Dewi berdiri dan membawanya ke sofa tunggu. Tangan wanita itu mencengkeram tas erat, matanya terpaku pada sosok yang berdiri tidak jauh darinya.“Dania?” gumam Dewi dengan napas tersengal.Tatapan Dania dingin dan tajam, tetapi ada yang berbeda kali ini. Tidak ada sindiran tajam atau provokasi. Hanya ada desahan pendek sebelum wanita itu berdecak dan kembali berlari menuju lift, meninggalkan Dewi dengan tanda tanya besar.Dewi memutuskan untuk pulang ke rumah Maharani, meninggalkan segala kegelisahan yang belum terjawab. Begitu tiba, dia langsung disambut suara ceria Dirga yang mengayunkan mainan kecilnya, menghasilkan bunyi nyaring mengisi ruangan.“Pa—pa. Ma—ma.”Bayi itu tergelak sambil merangkak mendekati Dewi, tangan kecilnya mencoba berpe
Di ruang ICU rumah sakit, Darius berdiri di samping Dania yang menangis tersedu, memeluk tubuh tidak berdaya sang ayah. Wajah wanita itu sembab, napasnya tersengal akibat histeris yang tidak kunjung reda. Sudah lebih dari dua minggu ini, Dania mengabaikan obatnya. Dia memilih larut dalam alkohol, membenamkan diri dalam kemarahan dan kekecewaan. “Dania, sebaiknya kita keluar sekarang. Papamu butuh ketenangan,” ujar Darius, mencoba meredakan situasi dengan menepuk pundaknya. Namun, tangan pria itu ditepis dengan kasar. “Pergi sana! Aku mau tetap di sini! Aku tidak akan ninggalin Papa!” bentak wanita itu tajam, matanya berkilat penuh kemarahan. “Ini semua salah kalian! Seandainya donor pertama diberikan ke Papa, jantungnya pasti cocok! Kalau sampai Papa kenapa-napa, aku tuntut rumah sakit ini! Dan kamu, terutama Dewi, akan membayarnya!” Darius mengepalkan tangan, mencoba menahan kesabaran. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Didit yang setengah sadar tiba-tiba mengangkat tangan denga
Pascaperdebatan tentang harta warisan Didit serta ancaman Darius, Dania lebih banyak berdiam diri di rumah.Akan tetapi, bukan berarti dia berubah menjadi lebih baik. Di balik itu, dia masih pergi ke kelab malam secara diam-diam, bertemu dengan rekan-rekannya, dan makin jauh dari dunia kedokteran Bahkan, dia memutuskan mundur dari profesi dokter tanpa sedikit pun penyesalan."Aku berangkat dulu," kata Darius sembari mengenakan kemeja navy-nya.Dania hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada pizza di pangkuannya. Bukannya membalas ucapan sang suami, dia justru menyandarkan tubuh ke kepala ranjang dan menggigit pizza dengan malas.Sebagai suami yang bertanggung jawab, Darius tetap menghampiri wanita itu, duduk di tepi ranjang, dan mencoba berbicara dengannya. "Sebaiknya kamu mulai merencanakan masa depanmu, Dania. Hidup ini tidak bisa terus jalan di tempat," ucap pria itu, mencoba bersikap lembut.Alih-alih tersentu
Darius berdiri mematung di tengah ruangan IGD, matanya menajam ke arah brankar yang baru saja masuk. Perawat dengan cekatan menarik tirai, menutupi sosok yang terbujur di sana. Napas Darius sempat tercekat. Belum sempat pria itu berpikir lebih jauh, suara panik Dewi menggema di koridor. Dengan napas tersengal, wanita itu menerobos masuk ke IGD, ditemani oleh Denver yang tampak waspada. "Dokter Darius?" tanya Dewi dengan suara bergetar, mata hitamnya memandang nanar mencari ke seluruh ruangan. "Apa Dokter lihat Maharani? Di mana dia?" Kepala Dewi bergerak ke kanan dan kiri, tubuhnya sedikit gemetar karena kecemasan. Darius masih belum bisa memastikan. Bayangan sosok yang tergeletak di brankar tadi masih membayangi pikirannya. Sedangkan Denver yang berdiri di samping Dewi menatap Darius dengan tajam. "Kamu menginap di RS?" Darius mengangg
Denver yang sedang tersenyum di atas podium sebagai moderator acara workshop tiba-tiba menegang. Informasi yang baru saja diterimanya melakui earphone membuat tenggorokannya mengering. Dadanya berdebar tak karuan, dan tatapannya sesaat kehilangan fokus. Dia menatap jam tangannya, tetapi waktu seolah berjalan lebih lambat. Berkali-kali dia menarik napas dalam, berusaha meredam kegelisahan sembari menunggu pemateri menyelesaikan sesi. "Pak, saya mohon izin, istri saya sakit," bisik Denver kepada salah satu panitia. "Serahkan saja acara ini pada penyelenggara!" ujar pemateri tanpa keberatan. Setelah berkoordinasi, Denver langsung bergegas ke bandara. Tangan pria itu bergerak cepat menekan nomor pilot pribadi. "Malik, saya harus kembali ke Jakarta sekarang juga!" Dalam perjalanan, Denver hanya bisa menatap layar ponsel. Dia memandangi foto Dewi berulang kali. Firasatnya benar. Sejak berangkat seminar ke Bali, dia merasa enggan meninggalkan rumah, dan kini terbukti—Dewi sakit. Setel
Denver tersenyum kecut membaca kepemilikan dalam sertifikat itu. Mata pria itu menyipit tajam, dan tangannya meremas kertas itu lebih keras, sampai hampir robek. Setiap kata yang dibaca membuat dadanya menjadi sesak. Terlebih melihat bukti pembayaran yang jumlahnya tidak sedikit, dia merasa ada yang janggal. Pantas saja dia tidak tahu apa-apa, ternyata Dewi menggunakan uang dari rekening pribadinya, yang jelas tak terlacak olehnya. Alih-alih mengamuk, Denver memilih untuk tetap tenang. Dia menyiapkan pakaian Dewi dengan asal, menaruhnya di ujung ranjang tanpa berbicara."Bajumu!" ujar Denver pelan, kata-katanya terucap tanpa semangat.Ekor mata Denver tertuju pada pakaian yang tergeletak begitu saja. Rasa kecewa yang luar biasa hampir menguasai, tetapi dia tetap menahan diri.Setelahnya, dia berbalik pergi, berjalan menuju pintu kamar dengan langkah yang berat. Tentu saja Dewi merasakan perubahan itu.Wanita itu memegangi
“Dewi!” panggil seseorang itu dengan suara tegas, dan langkahnya makin mendekat.Dewi mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Hari yang dia kira akan tenang ternyata tidak berpihak padanya.“Om Danis titip ini untuk kamu,” Darius mengulurkan paper bag, mata hitam pria itu mengamati wajah Dewi yang tampak pucat. “Om Danis mau ketemu kamu.”Dewi menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Aku ... belum siap,” jawanya dengan suara lirih.Ketika dia hendak menjauh, Darius menahan lengannya. Cengkeraman pria itu tidak kuat, hanya sekadar menahan Dewi tetap di tempat.“Dewi, Om Danis punya alasan kenapa melakukan itu. Kita semua pernah bikin salah. Memberi kesempatan terakhir tidak akan membuatmu kehilangan apa pun.” Nada suara Darius lembut dan penuh pengertian.“Dan ... jangan terlalu stres, tidak baik untuk kalian berdua.” Mata pria itu sekilas melirik perut Dewi yang tertut
“Dewi, kamu jangan terlalu capek!” seru Oma Nayla sambil mengamati tangan Dewi yang cekatan menuangkan bawang goreng ke dalam pan. “Apa Denver ngidam makanan ini?” tanyanya dengan nada penasaran.Dewi tersenyum simpul, lalu menggeleng pelan. Tatapan Oma Nayla pun makin menajam, penuh selidik.“Hari ini … Dewi mau ketemu Ayah,” aku wanita itu dengan suara gugup.Sejak pertemuan tempo hari dengan Darius, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Beberapa hari ini Dewi merasa gelisah, seolah ada duri yang menusuk hatinya.Dia bahkan beberapa kali meminta maaf kepada Denver atas kesalahannya. Beruntung, sang suami tidak mengungkit hal itu.Akan tetapi, Dewi tahu, ada yang berubah. Denver jadi lebih protektif dari biasanya. Dia sering memergoki sang suami memeriksa ponselnya diam-diam di tengah malam. Bahkan, pria itu kini menugaskan pengawal memperketat pengawasan dan melaporkan setiap gerak-geriknya di luar rumah.Dewi tahu,
"Makanlah yang benar! Kasihan anak itu," kata Darius yang bicara tanpa menatap Maharani.Saat ini Maharani duduk di tempat tidur, tangannya gemetar saat menyendokkan nasi ke mulutnya."Iya, Dok. Makasih sudah mau tinggal sebentar di sini.""Bukan masalah," sahut Darius masih sama.Darius ada di sana, menemaninya, dia duduk di kursi di dekat ranjang, tetapi tidak benar-benar memperhatikannya. Pria itu lebih sibuk dengan ponselnya, sesekali mengetik sesuatu dengan ekspresi datar. Baru saja Maharani menelan beberapa suap, dia terperangah dengan kehadiran Dania yang masuk kamar.Wanita itu mengawasi dengan tatapan tajam, seolah memastikan Maharani tidak melewatkan satu butir nasi pun."Habiskan Ran! Badanmu itu sangat lemah, aku tidak mau anak itu kurang gizi!" ucap wanita itu tajam."Iya, Dok. Aku pasti habiskan, kok." Mulut Maharani terus mengunyah, meskipun terasa perih.Suasana benar-benar mencekam. Maharani merasa seperti tahanan yang sedang diawasi sipir penjara.Tidak lama perhat
Pascaperistiwa menegangan hari itu, Maharani akhirnya mengaktifkan kembali ponselnya. Dia menyadari bahwa menghilang tidak ada gunanya karena pada kenyataannya semua tetap terbongkar.Hal pertama yang dia lakukan menghubungi Dewi.“Dewi … ini aku, Rani. Bisa kita bertemu di Kafe Rainbow?” pintanya, dengan suara pelan dan penuh keraguan. Dia sungguh berharap Dewi datang bertemu dengannya.Siangharinya, Maharani sudah menunggu cukup lama. Bahkan dia telah menghabiskan dua gelas jus di kafe yang sepi itu.Saat Maharani mulai pasrah dan yakin sahabatnya tidak akan datang, detik itu juga Dewi mendekat dengan tatapan nanar.“Rani?” panggil Dewi, suaranya lemah lembut.Seketika Maharani menggenggam gelas kosong erat, sementara Dewi langsung meraih tangan wanita itu dalam genggamannya. Keheningan pun menyelimuti mereka.Kedua duduk saling berhadapan. Tatapan Maharani dipenuhi kerinduan dan penyesalan, seolah ada
Maharani berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Darius berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam tulangnya. Udara di ruangan itu mendadak begitu berat, napasnya terasa sesak."Kenapa kamu diam? Jawab aku, Maharani! Apa yang kamu pikirkan sampai melakukan ini?" Suara Darius terdengar dalam dan menegangkan, membuat Maharani mendadak kehilangan kosakata.“Aku … hanya ….” Maharani memejamkan matanya sejenak. Dia menelan ludah, berusaha menghindari tatapan menusuk itu.“Hanya apa? Apa istriku mengancammu, hah? Katakan!” perintah Darius lagi tanpa memberi ampun.Dia melirik ke arah Dania, berharap wanita itu membantunya keluar dari situasi ini. Namun, Dania hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, tampak sorot matanya penuh kepuasan. Maharani tidak menyangka seseorang yang dianggap sebagai rekan kerja, membiarkannya tenggelam sendirian seper
Dewi bergegas ke dapur begitu mendengar suara pecahan gelas. Saat sampai, alangkah terkejutnya dia mendapati Valerie sedang berjongkok, meringis kesakitan sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Ya ampun Valerie!" Dewi segera mendekat, menarik tangan Valerie. "Jangan sentuh pakai tangan kosong!" pekiknya. Mata sipitnya melebar melihat ada luka di jari Valerie, cairan merah merembes keluar. "Kamu–" "Aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Valerie, wajahnya sedikit pucat. "Aku tadi mau ambil air, tapi tanganku sakit." Tanpa banyak bicara lagi, Dewi mengambil kotak P3K, lalu dengan cekatan membersihkan luka Valerie. "Makasih, ya, Wi." ujar Valerie setelah tangannya dibalut plester. Dewi tersenyum lantas menyentuh bahu Valerie. Adik sepupu Denver itu meringis. "Harusnya aku yang bilang makasih, tanganmu pegal karena gendong Dirga," ucap Dewi sungkan. "Ya, mungkin. Badannya Dirga berat, sih." Valerie tergelak mengingat anak kecil itu. Dewi terseny
"Wi, ada pasien trauma tingkat 1 di kepala. Tolong bantu."Suara itu menyadarkan Dewi, dia tidak boleh meninggalkan rumah sakit ini sebelum jam kerjanya selesai.Dewi menghela napas panjang, meremas jemarinya yang terasa dingin."Iya Sus." Dewi segera berlari membantu tim medis lain. Barulah setelah menyelesaikan sif-nya di rumah sakit, tanpa memberitahu Denver, dia segera meluncur ke rumah kontrakan Maharani.Begitu sampai, langkahnya terhenti saat melihat Astuti terduduk di lantai ruang tamu, bahunya terguncang karena isakan.Di hadapannya, ads selembar cek senilai seratus juta tergeletak begitu saja di atas meja kayu tua.“Bu Astuti?” Dewi mendekat, menahan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Apa yang terjadi?”Astuti mendongak, wajahnya yang sembab memperlihatkan keputusasaan begitu kentara. “Rani pergi ... Dokter Dania kasih uang ini. Seratus juta, Dewi. Ibu takut!”Dewi memicingkan mata, perasaan tidak enak menyergap pikirannya. “Uang sebanyak ini untuk apa?”Astuti
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Rani
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel