Denver mempercepat langkah, darahnya mendidih melihat pemandangan di depannya. Darius berjalan terlalu dekat dengan Dewi, bahunya kedua orang itu nyaris bersentuhan.Tanpa pikir panjang, dia berdiri tepat di hadapan mereka, menghalangi jalan. Rahang Denver mengatup dengan napas memburu, tetapi wajahnya tetap tersenyum."Dewi, kamu ke sini?" tanya Denver, dan suaranya terdengar lebih tajam daripada sebelumnya.Dewi menunduk sedikit karena menghindari tatapan manik elang itu."Mau lihat Ayah," jawab Dewi singkat. Dia selalu saja merasa terjebak di antara dua pria ini, dan yang paling dia inginkan saat ini hanyalah keluar dari situasi menyebalkan secepat mungkin.Dia juga tidak ingin bertemu Darius, tetapi tanpa sengaja keduanya berpapasang di depan pintu, sehingga memaksa Dewi berjalan bersama Darius. Denver melirik Darius sekilas, lalu langsung meraih pergelangan tangan istrinya. "Papamu ada di ruang VIP. Aku antar."Tanpa menunggu persetujuan, Denver menarik Dewi menjauh dari Darius
Dewi merasakan tubuhnya membentur lantai dingin, napasnya pun tercekat oleh kejutan tak terduga ini. Seketika para staf rumah sakit bergegas membantu Dewi berdiri dan membawanya ke sofa tunggu. Tangan wanita itu mencengkeram tas erat, matanya terpaku pada sosok yang berdiri tidak jauh darinya.“Dania?” gumam Dewi dengan napas tersengal.Tatapan Dania dingin dan tajam, tetapi ada yang berbeda kali ini. Tidak ada sindiran tajam atau provokasi. Hanya ada desahan pendek sebelum wanita itu berdecak dan kembali berlari menuju lift, meninggalkan Dewi dengan tanda tanya besar.Dewi memutuskan untuk pulang ke rumah Maharani, meninggalkan segala kegelisahan yang belum terjawab. Begitu tiba, dia langsung disambut suara ceria Dirga yang mengayunkan mainan kecilnya, menghasilkan bunyi nyaring mengisi ruangan.“Pa—pa. Ma—ma.”Bayi itu tergelak sambil merangkak mendekati Dewi, tangan kecilnya mencoba berpe
Di ruang ICU rumah sakit, Darius berdiri di samping Dania yang menangis tersedu, memeluk tubuh tidak berdaya sang ayah. Wajah wanita itu sembab, napasnya tersengal akibat histeris yang tidak kunjung reda. Sudah lebih dari dua minggu ini, Dania mengabaikan obatnya. Dia memilih larut dalam alkohol, membenamkan diri dalam kemarahan dan kekecewaan. “Dania, sebaiknya kita keluar sekarang. Papamu butuh ketenangan,” ujar Darius, mencoba meredakan situasi dengan menepuk pundaknya. Namun, tangan pria itu ditepis dengan kasar. “Pergi sana! Aku mau tetap di sini! Aku tidak akan ninggalin Papa!” bentak wanita itu tajam, matanya berkilat penuh kemarahan. “Ini semua salah kalian! Seandainya donor pertama diberikan ke Papa, jantungnya pasti cocok! Kalau sampai Papa kenapa-napa, aku tuntut rumah sakit ini! Dan kamu, terutama Dewi, akan membayarnya!” Darius mengepalkan tangan, mencoba menahan kesabaran. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Didit yang setengah sadar tiba-tiba mengangkat tangan denga
Pascaperdebatan tentang harta warisan Didit serta ancaman Darius, Dania lebih banyak berdiam diri di rumah.Akan tetapi, bukan berarti dia berubah menjadi lebih baik. Di balik itu, dia masih pergi ke kelab malam secara diam-diam, bertemu dengan rekan-rekannya, dan makin jauh dari dunia kedokteran Bahkan, dia memutuskan mundur dari profesi dokter tanpa sedikit pun penyesalan."Aku berangkat dulu," kata Darius sembari mengenakan kemeja navy-nya.Dania hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada pizza di pangkuannya. Bukannya membalas ucapan sang suami, dia justru menyandarkan tubuh ke kepala ranjang dan menggigit pizza dengan malas.Sebagai suami yang bertanggung jawab, Darius tetap menghampiri wanita itu, duduk di tepi ranjang, dan mencoba berbicara dengannya. "Sebaiknya kamu mulai merencanakan masa depanmu, Dania. Hidup ini tidak bisa terus jalan di tempat," ucap pria itu, mencoba bersikap lembut.Alih-alih tersentu
Darius berdiri mematung di tengah ruangan IGD, matanya menajam ke arah brankar yang baru saja masuk. Perawat dengan cekatan menarik tirai, menutupi sosok yang terbujur di sana. Napas Darius sempat tercekat. Belum sempat pria itu berpikir lebih jauh, suara panik Dewi menggema di koridor. Dengan napas tersengal, wanita itu menerobos masuk ke IGD, ditemani oleh Denver yang tampak waspada. "Dokter Darius?" tanya Dewi dengan suara bergetar, mata hitamnya memandang nanar mencari ke seluruh ruangan. "Apa Dokter lihat Maharani? Di mana dia?" Kepala Dewi bergerak ke kanan dan kiri, tubuhnya sedikit gemetar karena kecemasan. Darius masih belum bisa memastikan. Bayangan sosok yang tergeletak di brankar tadi masih membayangi pikirannya. Sedangkan Denver yang berdiri di samping Dewi menatap Darius dengan tajam. "Kamu menginap di RS?" Darius mengangg
Denver yang sedang tersenyum di atas podium sebagai moderator acara workshop tiba-tiba menegang. Informasi yang baru saja diterimanya melakui earphone membuat tenggorokannya mengering. Dadanya berdebar tak karuan, dan tatapannya sesaat kehilangan fokus. Dia menatap jam tangannya, tetapi waktu seolah berjalan lebih lambat. Berkali-kali dia menarik napas dalam, berusaha meredam kegelisahan sembari menunggu pemateri menyelesaikan sesi. "Pak, saya mohon izin, istri saya sakit," bisik Denver kepada salah satu panitia. "Serahkan saja acara ini pada penyelenggara!" ujar pemateri tanpa keberatan. Setelah berkoordinasi, Denver langsung bergegas ke bandara. Tangan pria itu bergerak cepat menekan nomor pilot pribadi. "Malik, saya harus kembali ke Jakarta sekarang juga!" Dalam perjalanan, Denver hanya bisa menatap layar ponsel. Dia memandangi foto Dewi berulang kali. Firasatnya benar. Sejak berangkat seminar ke Bali, dia merasa enggan meninggalkan rumah, dan kini terbukti—Dewi sakit. Setel
Denver tersenyum kecut membaca kepemilikan dalam sertifikat itu. Mata pria itu menyipit tajam, dan tangannya meremas kertas itu lebih keras, sampai hampir robek. Setiap kata yang dibaca membuat dadanya menjadi sesak. Terlebih melihat bukti pembayaran yang jumlahnya tidak sedikit, dia merasa ada yang janggal. Pantas saja dia tidak tahu apa-apa, ternyata Dewi menggunakan uang dari rekening pribadinya, yang jelas tak terlacak olehnya. Alih-alih mengamuk, Denver memilih untuk tetap tenang. Dia menyiapkan pakaian Dewi dengan asal, menaruhnya di ujung ranjang tanpa berbicara."Bajumu!" ujar Denver pelan, kata-katanya terucap tanpa semangat.Ekor mata Denver tertuju pada pakaian yang tergeletak begitu saja. Rasa kecewa yang luar biasa hampir menguasai, tetapi dia tetap menahan diri.Setelahnya, dia berbalik pergi, berjalan menuju pintu kamar dengan langkah yang berat. Tentu saja Dewi merasakan perubahan itu.Wanita itu memegangi
“Dewi!” panggil seseorang itu dengan suara tegas, dan langkahnya makin mendekat.Dewi mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Hari yang dia kira akan tenang ternyata tidak berpihak padanya.“Om Danis titip ini untuk kamu,” Darius mengulurkan paper bag, mata hitam pria itu mengamati wajah Dewi yang tampak pucat. “Om Danis mau ketemu kamu.”Dewi menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Aku ... belum siap,” jawanya dengan suara lirih.Ketika dia hendak menjauh, Darius menahan lengannya. Cengkeraman pria itu tidak kuat, hanya sekadar menahan Dewi tetap di tempat.“Dewi, Om Danis punya alasan kenapa melakukan itu. Kita semua pernah bikin salah. Memberi kesempatan terakhir tidak akan membuatmu kehilangan apa pun.” Nada suara Darius lembut dan penuh pengertian.“Dan ... jangan terlalu stres, tidak baik untuk kalian berdua.” Mata pria itu sekilas melirik perut Dewi yang tertut
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa