Semua Bab Rahasia Hati: Terperangkap Menjadi Istri Kedua CEO Dingin : Bab 181 - Bab 190

266 Bab

181. Blank Space—Ruang-ruang Kosong Di Dalam Hati

“H-harusnya seperti itu, Pa,” tanggap Lilia dengan gugup. “Ada banyak kenangan yang bertumpang tindih. Ada William yang terlihat membenciku, ada kalanya juga aku menemukan dia terlihat tersenyum dengan manis, aku bingung harus mempercayai ingatanku yang mana. Aku ingin ingat semuanya.” Tuan Alaric yang mendengar Lilia hanya terus tersenyum. Pria paruh baya itu seperti tak keberatan mendengarnya siang hari ini atau bahkan hingga nanti matahari tak terlihat lagi. Salah satu tangan beliau mengarah ke depan, menyinggahi lengan Lilia dan memberinya usapan lembut. “Bukankah Papa sudah bilang agar kamu pelan-pelan saja mengingat semuanya?” kata beliau. “Jika kamu paksakan, bisa-bisa semua ingatan itu rusak dan selamanya kamu tidak akan bisa mengingat William atau Keano, Nak ….” Lilia tak menjawab selain hanya terus menunduk, sedang Tuan Alaric menarik tangannya saat suaranya yang hangat kembali terdengar. “Jika ingatanmu rusak, kamu bisa tak lagi menderita hilang ingatan sementara, te
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-30
Baca selengkapnya

182. Cara Nicholas Melindungi William Dan Madeline

“Tuan William,” panggil Giff kala tuannya itu hanya membeku, terpancang di lantai. “Kita pergi saja!” pintanya mencegah keributan terjadi. Tapi William tak mengindahkannya, ia berbalik dan pergi ke ruangan Nicholas, hendak masuk untuk menjawab ibunya, membiarkan bibirnya ini mengatakan apapun. Namun, niatan itu ia urungkan saat ia mendengar Nicholas akhirnya menjawab. Tadinya William berpikir kakak lelakinya itu akan setuju-setuju saja dengan permintaan sang Ibu, tetapi ia salah! “Apa Mama akan terus bersikap seperti ini?” tanya Nicholas, suaranya terdengar serak, sarat akan amarah yang tengah coba diredamnya. “Dulu Mama menganggap Madeline tidak berguna karena dia tidak bisa berjalan, lalu sekarang Mama bilang William yang tidak berguna? Apa semua anak-anak yang tidak memenuhi standar Mama adalah anak-anak yang tidak berguna?” “Nic—“ “Apa kami ini produk gagal? Kami ini bukan barang!” sela Nicholas karena sepertinya memang ia belum usai bicara. Tubuh William terasa kebas saat
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-30
Baca selengkapnya

183. Kau Yang Membuatku Merindu

“Bukankah jika didengar dari geramnya Tuan Nicholas memang sepertinya Nyonya Donna sering melakukan hal seperti itu?” sahut Giff dari samping kiri William. “Maaf saya tidak bermaksud lancang, Tuan William.” “Dan sepertinya itu memang benar,” tanggap William tak keberatan. “Artinya memang selama ini diam-diam Nicholas selalu melindungiku tanpa aku tahu. Melindungi Madeline juga … tapi aku hanya terus menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak baik.” William menghela napasnya, dalam, penuh sesak—dan sesal. “Tidak apa-apa, Tuan William,” kata Giff mencoba menenangkannya. “Anda bisa bicara dengan Tuan Nicholas nanti. Bukankah Anda juga belum mengatakan bahwa Anda tahu penyebab sebenarnya kematian Nona Madeline?” “Belum, Giff,” jawabnya. Giff benar … ia memang harus benar-benar duduk dan bicara dengan kakak lelakinya itu untuk banyak hal. Termasuk berterima kasih padanya, yang diam-diam selalu memasang badan untuknya dan mendiang Madeline di depan sang Ibu yang terlalu banyak menuntut da
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-30
Baca selengkapnya

184. Mengejar, Atau Melepas?

“Aah, kalau begitu artinya Anda menyerah untuk mengejar cinta Nona Lilia?” tanggap Giff setelah ungkapan panjang William. “Jika begitu … haruskah saya memberikan dukungan saja pada pegawai kelurahan yang muda dan tampan itu untuk mendekati Nona Lilia?” William tak menjawab Giff, sepasang matanya menggelap menatap pada si tangan kanannya yang tertawa—yang sebenarnya terdengar lebih seperti sebuah ejekan. “Apa maksudnya itu?” tanya William akhirnya. “Kamu mau mengkhianatiku? Kenapa kamu mau mendukung si pegawai kelurahan itu?” “Kenapa lagi memangnya? Bukankah karena Anda sudah tidak ingin mengejar cinta Nona Lilia lagi?” tanya Giff balik. “Bukan—“ “Terserahlah,” potong Giff tak mau tahu. “Semoga Nona Lilia berjodoh dengan Zavian yang tampan dan muda itu.” “Anak ini—“ William mendesis saat Giff memalingkan wajahnya dan mengayunkan kakinya untuk pergi dari sana. “GIFF!” serunya, tetapi pemuda itu tak menoleh sama sekali. “Dia memang muda, tapi aku lebih tampan darinya!” William me
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-30
Baca selengkapnya

185. Mengejar, MENGEJAR CINTA LILIA!

‘LILIA?!’ seru William dalam hati. Ia terhenyak bangun dari berbaringnya dan mengetuk kontak itu dengan tidak sabar. ‘Apa benar ini dia? Apa dia sudah diizinkan Papa memakai ponsel?’ banyak tanya di dalam hatinya. [Lilia Zamora?] balas William memastikan. [Benar.] Napasnya tercekat di dada saat membaca balasan itu. Ia duduk dengan punggung tegak saat tangannya yang dirasanya gemetar itu kembali mengetik. [Aku akan datang besok. Tolong katakan pada Keano juga ya. Sampai jumpa, Lilia.] William beringsut turun dari ranjang, ia berlari keluar dari kamar Keano dan menuju ke kamar di mana Giff berada selama ia tinggal di rumahnya. “Giff!” panggil William setelah membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Si pemilik nama yang tengah berbaring di atas ranjangnya itu menoleh pada William dengan alisnya yang bersinggungan. “Anda tidak bisa mengetuk pintu dulu?” “Ini rumahku,” jawabnya singkat—dan ketus. “Ayo kita pergi, kamu siapkan mobilnya!” “Pergi? Pergi ke ma
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-31
Baca selengkapnya

186. Pria Yang Datang Di Kala Hujan Kepagian

Benar itu adalah William! Lilia dengan cepat membuka pintu rumah, udara dingin yang datang dari luar menyinggahi wajahnya bersamaan saat William tiba di hadapannya dengan tersenyum. Ia terlihat hendak berbicara sebelum Lilia lebih dulu memberinya teguran. “Kenapa Anda selalu tidak memakai payung padahal Anda tahu sedang hujan?” tanyanya. “Kita bertemu pertama kali di depan preschool itu Anda juga tidak memakai payung, ‘kan? Apa tidak ada payung di dalam mobil mahal Anda itu?” Alih-alih menjawab, yang dilakukan oleh William adalah tetap tersenyum, seolah ia sangat senang mendengar celotehan Lilia ini. “Maaf,” jawab William pertama-tama. “Aku hanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu, Lilia.” “Ini masih pagi, apakah Anda dari kota langsung ke sini?” “Tidak. Aku sudah ada di hotel beberapa jam yang lalu dan pagi-pagi ke sini karena aku ingin melihatmu,” terang William. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” “Anda bisa datang lebih siang, setidaknya tidak segelap ini. Apa A
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-31
Baca selengkapnya

187. Sebesar Apa Lukanya?

Lagi pula … bagaimana bisa Lilia menyebutnya berbohong jika matanya yang seolah dipenuhi oleh cumulonimbus itu berbicara lebih banyak sebesar apa lukanya. Sepertinya Tuan Alaric juga benar saat menyebut tentang William yang hampir gila selama pria itu berpikir bahwa Lilia dan Keano telah tewas terpanggang bara api. Lilia tersenyum sebagai jawaban. “Tidak apa-apa,” katanya. “Dan terima kasih karena sudah mengakuinya. Saya juga meminta maaf karena melupakan semuanya sehingga kita harus menjadi seperti ini. Asing, seperti orang yang tidak saling mengenal sebelumnya padahal sudah melewati banyak peristiwa.” “Kamu tidak bersalah, Lilia,” jawab William. “Kamu hanya korban dari keserakahan orang lain.” Dan Lilia tahu bahwa ‘orang lain’ yang dimaksudkan oleh William itu adalah Gretha—meski ia juga tak ingat seperti apa kejadiannya. Mereka kembali terhening selama beberapa saat. Dimulai sejak William menyesap teh hangat miliknya hingga pria itu kembali memperdengarkan suara baritonnya. S
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-31
Baca selengkapnya

188. Kenapa Kita Berciuman?

Untung saja Lilia tidak jatuh! Selain karena William merengkuhnya, Lilia juga masih sempat mencari pegangan dengan meraih kemeja yang ada di bagian pinggang William dengan erat sebelum perlahan melepasnya. Jantungnya berdebar menggebu-gebu saat William bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba mau jatuh, Lilia?” “T-tidak,” jawab Lilia dengan gugup. “S-saya hanya … hilang keseimbangan.” William pasti tahu bahwa kalimat itu adalah jawaban yang asal ia ucapkan. Biar saja … bukankah tak mungkin baginya untuk mengatakan bahwa ia baru saja menemukan sebuah ingatan bahwa mereka pernah berciuman? Lilia melihat sepasang alis lebat pria itu berkerut, sangat kentara bahwa ia tak menerima jawaban Lilia begitu saja. Ia lalu melepas Lilia seraya bertanya, “Apakah kamu mau masuk?” “Iya,” jawabnya. “Waktunya Keano mandi.” “Dia main di dalam.” William menyisih, memberi jalan untuk Lilia yang masuk ke dalam kamar dan melihat Keano. William benar saat mengatakan ia tengah main di dalam karena kedua tang
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-31
Baca selengkapnya

189. Tiba-tiba Basah

Lilia panik, ia berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang pasti tampak, entah itu bra atau bahkan— “Ambilkan coat punyaku yang ada di mobil, Giff!” pinta William pada Giff yang lalu berlari pergi dari sana. Lilia menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat William tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mengisyaratkan pada Keano agar anak lelakinya itu melakukan hal yang sama meski ia tahu Keano terlihat khawatir. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Giff untuk kembali den dengan mata terpejam menyerahkan coat panjang itu pada William, memindahnya pada Lilia tanpa menoleh, meminta agar ia memakainya. “Pakailah,” ucapnya. “Coat ini panjang, kamu bisa menutupi semua bagian yang basah dengan ini.” “Terima kasih,” jawab Lilia kemudian mengenakannya dengan gugup—atau lebih tepatnya malu. Ia hanya wanita sendiri sementara dua orang yang ada di sekitarnya adalah pria dan seorang anak lelaki. “Kita pulang saja, Papa,” ajak Keano. “Kasihan Mama bajunya basah, nanti kalau Mama sakit bagai
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-01
Baca selengkapnya

190. Sekamar Denganmu

“Aku tidak keberatan,” jawab William. “Tapi semuanya kembali lagi pada Lilia dan Keano, ‘kan?” Ia menoleh pada Lilia, memandang bergantian pada anak lelakinya juga. “Mau ya, Mama?” bujuk Keano pada Lilia yang hanya bergeming. Ibunya yang duduk di ruang tengah kemudian bangkit dan menghampiri Lilia, menyentuh punggung tangannya seraya berbisik, “Pergilah … siapa tahu dengan begitu ingatanmu akan segera pulih, Nak ….” Alya menunjukkan senyum tulusnya sebelum beranjak pergi dari sana, membiarkan Lilia mengambil keputusan setelah memikirkannya. “Mama?” panggil Keano sekali lagi, mungkin tidak sabar karena Lilia tak kunjung menjawabnya. “Apakah Mama tidak mau?” Sepasang matanya menatap Lilia dengan mengiba. Hatinya pasti terluka jika Lilia menolak permintaannya itu. “Iya baik, Mama mau,” jawab Lilia seraya menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu juga tersenyum dan berhenti menunjukkan bibir tertekuknya seperti itu. Setelah bersiap dengan membawa beberapa pakaian, mereka pergi men
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-01
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1718192021
...
27
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status