bonus 1 🤗🤗
“Bukankah jika didengar dari geramnya Tuan Nicholas memang sepertinya Nyonya Donna sering melakukan hal seperti itu?” sahut Giff dari samping kiri William. “Maaf saya tidak bermaksud lancang, Tuan William.” “Dan sepertinya itu memang benar,” tanggap William tak keberatan. “Artinya memang selama ini diam-diam Nicholas selalu melindungiku tanpa aku tahu. Melindungi Madeline juga … tapi aku hanya terus menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak baik.” William menghela napasnya, dalam, penuh sesak—dan sesal. “Tidak apa-apa, Tuan William,” kata Giff mencoba menenangkannya. “Anda bisa bicara dengan Tuan Nicholas nanti. Bukankah Anda juga belum mengatakan bahwa Anda tahu penyebab sebenarnya kematian Nona Madeline?” “Belum, Giff,” jawabnya. Giff benar … ia memang harus benar-benar duduk dan bicara dengan kakak lelakinya itu untuk banyak hal. Termasuk berterima kasih padanya, yang diam-diam selalu memasang badan untuknya dan mendiang Madeline di depan sang Ibu yang terlalu banyak menuntut da
“Aah, kalau begitu artinya Anda menyerah untuk mengejar cinta Nona Lilia?” tanggap Giff setelah ungkapan panjang William. “Jika begitu … haruskah saya memberikan dukungan saja pada pegawai kelurahan yang muda dan tampan itu untuk mendekati Nona Lilia?” William tak menjawab Giff, sepasang matanya menggelap menatap pada si tangan kanannya yang tertawa—yang sebenarnya terdengar lebih seperti sebuah ejekan. “Apa maksudnya itu?” tanya William akhirnya. “Kamu mau mengkhianatiku? Kenapa kamu mau mendukung si pegawai kelurahan itu?” “Kenapa lagi memangnya? Bukankah karena Anda sudah tidak ingin mengejar cinta Nona Lilia lagi?” tanya Giff balik. “Bukan—“ “Terserahlah,” potong Giff tak mau tahu. “Semoga Nona Lilia berjodoh dengan Zavian yang tampan dan muda itu.” “Anak ini—“ William mendesis saat Giff memalingkan wajahnya dan mengayunkan kakinya untuk pergi dari sana. “GIFF!” serunya, tetapi pemuda itu tak menoleh sama sekali. “Dia memang muda, tapi aku lebih tampan darinya!” William me
‘LILIA?!’ seru William dalam hati. Ia terhenyak bangun dari berbaringnya dan mengetuk kontak itu dengan tidak sabar. ‘Apa benar ini dia? Apa dia sudah diizinkan Papa memakai ponsel?’ banyak tanya di dalam hatinya. [Lilia Zamora?] balas William memastikan. [Benar.] Napasnya tercekat di dada saat membaca balasan itu. Ia duduk dengan punggung tegak saat tangannya yang dirasanya gemetar itu kembali mengetik. [Aku akan datang besok. Tolong katakan pada Keano juga ya. Sampai jumpa, Lilia.] William beringsut turun dari ranjang, ia berlari keluar dari kamar Keano dan menuju ke kamar di mana Giff berada selama ia tinggal di rumahnya. “Giff!” panggil William setelah membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Si pemilik nama yang tengah berbaring di atas ranjangnya itu menoleh pada William dengan alisnya yang bersinggungan. “Anda tidak bisa mengetuk pintu dulu?” “Ini rumahku,” jawabnya singkat—dan ketus. “Ayo kita pergi, kamu siapkan mobilnya!” “Pergi? Pergi ke ma
Benar itu adalah William! Lilia dengan cepat membuka pintu rumah, udara dingin yang datang dari luar menyinggahi wajahnya bersamaan saat William tiba di hadapannya dengan tersenyum. Ia terlihat hendak berbicara sebelum Lilia lebih dulu memberinya teguran. “Kenapa Anda selalu tidak memakai payung padahal Anda tahu sedang hujan?” tanyanya. “Kita bertemu pertama kali di depan preschool itu Anda juga tidak memakai payung, ‘kan? Apa tidak ada payung di dalam mobil mahal Anda itu?” Alih-alih menjawab, yang dilakukan oleh William adalah tetap tersenyum, seolah ia sangat senang mendengar celotehan Lilia ini. “Maaf,” jawab William pertama-tama. “Aku hanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu, Lilia.” “Ini masih pagi, apakah Anda dari kota langsung ke sini?” “Tidak. Aku sudah ada di hotel beberapa jam yang lalu dan pagi-pagi ke sini karena aku ingin melihatmu,” terang William. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” “Anda bisa datang lebih siang, setidaknya tidak segelap ini. Apa A
Lagi pula … bagaimana bisa Lilia menyebutnya berbohong jika matanya yang seolah dipenuhi oleh cumulonimbus itu berbicara lebih banyak sebesar apa lukanya. Sepertinya Tuan Alaric juga benar saat menyebut tentang William yang hampir gila selama pria itu berpikir bahwa Lilia dan Keano telah tewas terpanggang bara api. Lilia tersenyum sebagai jawaban. “Tidak apa-apa,” katanya. “Dan terima kasih karena sudah mengakuinya. Saya juga meminta maaf karena melupakan semuanya sehingga kita harus menjadi seperti ini. Asing, seperti orang yang tidak saling mengenal sebelumnya padahal sudah melewati banyak peristiwa.” “Kamu tidak bersalah, Lilia,” jawab William. “Kamu hanya korban dari keserakahan orang lain.” Dan Lilia tahu bahwa ‘orang lain’ yang dimaksudkan oleh William itu adalah Gretha—meski ia juga tak ingat seperti apa kejadiannya. Mereka kembali terhening selama beberapa saat. Dimulai sejak William menyesap teh hangat miliknya hingga pria itu kembali memperdengarkan suara baritonnya. S
Untung saja Lilia tidak jatuh! Selain karena William merengkuhnya, Lilia juga masih sempat mencari pegangan dengan meraih kemeja yang ada di bagian pinggang William dengan erat sebelum perlahan melepasnya. Jantungnya berdebar menggebu-gebu saat William bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba mau jatuh, Lilia?” “T-tidak,” jawab Lilia dengan gugup. “S-saya hanya … hilang keseimbangan.” William pasti tahu bahwa kalimat itu adalah jawaban yang asal ia ucapkan. Biar saja … bukankah tak mungkin baginya untuk mengatakan bahwa ia baru saja menemukan sebuah ingatan bahwa mereka pernah berciuman? Lilia melihat sepasang alis lebat pria itu berkerut, sangat kentara bahwa ia tak menerima jawaban Lilia begitu saja. Ia lalu melepas Lilia seraya bertanya, “Apakah kamu mau masuk?” “Iya,” jawabnya. “Waktunya Keano mandi.” “Dia main di dalam.” William menyisih, memberi jalan untuk Lilia yang masuk ke dalam kamar dan melihat Keano. William benar saat mengatakan ia tengah main di dalam karena kedua tang
Lilia panik, ia berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang pasti tampak, entah itu bra atau bahkan— “Ambilkan coat punyaku yang ada di mobil, Giff!” pinta William pada Giff yang lalu berlari pergi dari sana. Lilia menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat William tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mengisyaratkan pada Keano agar anak lelakinya itu melakukan hal yang sama meski ia tahu Keano terlihat khawatir. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Giff untuk kembali den dengan mata terpejam menyerahkan coat panjang itu pada William, memindahnya pada Lilia tanpa menoleh, meminta agar ia memakainya. “Pakailah,” ucapnya. “Coat ini panjang, kamu bisa menutupi semua bagian yang basah dengan ini.” “Terima kasih,” jawab Lilia kemudian mengenakannya dengan gugup—atau lebih tepatnya malu. Ia hanya wanita sendiri sementara dua orang yang ada di sekitarnya adalah pria dan seorang anak lelaki. “Kita pulang saja, Papa,” ajak Keano. “Kasihan Mama bajunya basah, nanti kalau Mama sakit bagai
“Aku tidak keberatan,” jawab William. “Tapi semuanya kembali lagi pada Lilia dan Keano, ‘kan?” Ia menoleh pada Lilia, memandang bergantian pada anak lelakinya juga. “Mau ya, Mama?” bujuk Keano pada Lilia yang hanya bergeming. Ibunya yang duduk di ruang tengah kemudian bangkit dan menghampiri Lilia, menyentuh punggung tangannya seraya berbisik, “Pergilah … siapa tahu dengan begitu ingatanmu akan segera pulih, Nak ….” Alya menunjukkan senyum tulusnya sebelum beranjak pergi dari sana, membiarkan Lilia mengambil keputusan setelah memikirkannya. “Mama?” panggil Keano sekali lagi, mungkin tidak sabar karena Lilia tak kunjung menjawabnya. “Apakah Mama tidak mau?” Sepasang matanya menatap Lilia dengan mengiba. Hatinya pasti terluka jika Lilia menolak permintaannya itu. “Iya baik, Mama mau,” jawab Lilia seraya menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu juga tersenyum dan berhenti menunjukkan bibir tertekuknya seperti itu. Setelah bersiap dengan membawa beberapa pakaian, mereka pergi men
Lilia juga hampir tersedak mendengar tanya polos Keano. Mereka bertiga orang dewasa harus menggapai gelas berisi air minum dan membasahi leher mereka yang mendadak dilanda kekeringan."Tidak semudah itu, Keano," ucap William akhirnya. Memandang pada anak lelakinya yang mengerjap dan kembali mengunyah makanannya."Lalu bagaimana, Papa?""Adik tidak akan muncul semudah itu. Kalaupun nanti ada kabar baiknya, kita masih harus menunggu sampai sembilan bulan sampai adik lahir," tuturnya menerangkan."Hm ... baiklah." Keano mengangguk, sepertinya bisa memahami apa yang dikatakan oleh William.Mereka kembali melanjutkan makan dan selesai beberapa saat kemudian.Keano mengajak Giff untuk berenang sebelum ia masuk ke kamar atas dan menyusul Lilia yang sibuk dengan tablet yang ia pinjam dari William untuk mencari informasi sekolah Keano.Tadi ia sudah mendapatkan jawaban dari William soal di mana Jayce dan Jasenna bersekolah. Ia memeriksa kapan pendaftarannya dibuka dan biayanya.Sedang William
Memasuki rumah, Lilia harus menghela dalam napasnya untuk menguraikan sesak yang baru saja menjeratnya ini. “Kamu baik-baik aja?” tanya William seraya memindah tangannya dari pinggang Lilia ke bahunya, ia rangkul dan ia beri usapan lembut. “Iya, William. Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Hanya ... sedikit terkejut saja mendengar Gretha berbicara seperti itu tadi.” “Sama. Aku juga terkejut.” “Aku harap dia mendapatkan poinnya bahwa setiap dari yang kita lakukan itu memiliki akibatnya. Yang baik atau yang buruk.” William mengusap bagian belakang kepalanya, pada rambut panjangnya yang hitam legam. Terpesona pada cara Lilia berucap tentang akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Itu lembut dan sangat keibuan. “Seperti yang kamu katakan tadi, Lilia,” ucap William. “Kamu memiliki hak untuk menolak. Jadi keputusan kamu untuk menolak permintaannya tadi itu adalah pilihan yang benar.” “Aku sepertinya terlalu banyak menonton drama,” ujar Lilia saat mereka terus berjalan menuju k
‘A-apa dia bilang?’ batin Lilia, tubuhnya berdiri membeku di belakang William yang tak bisa menahan diri untuk tetap menjaga ketenangannya. “Apa kamu bilang?!” tanya William dengan lantang. Ia selangkah maju tetapi Lilia meraih tangannya sehingga pria itu tetap tertahan di tempatnya. “Kamu bilang agar Lilia merawat anakmu?” Gretha tampak memberikan anggukannya, ia kembali menatap Lilia dan dari jarak yang memisahkan mereka ini, Lilia melihat netra wanita itu berair. Ekspresinya penuh dengan harap, seolah memang Lilia adalah satu-satunya harapannya yang tersisa. Seakan ia tak memiliki lagi tempat ke mana ia harus mengadu. “Iya,” katanya. “Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku tapi bisakah Lilia dan Kak Liam merawat anakku? Dia tidak bersalah, tapi harus menanggung dosa yang aku lakukan dan—“ “Artinya kamu sadar,” sela William sebelum Gretha berceloteh lebih panjang. “Artinya kamu sadar apa yang kamu lakukan adalah sebuah dosa besar. Kenapa baru sekarang? Ke mana saja kamu s
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya William seraya bangun dari duduknya. Jarinya yang terluka yang ia keluhkan pada Lilia itu seketika terlupakan. Alisnya berkerut saat ia menatap Giff yang sekilas menggeleng saat menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan William. Dia hanya bilang ingin bertemu dengan Nona Lilia. Itu saja.” “Suruh dia pergi saja, Giff!” ucap William tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tetapi hal itu tak disetujui oleh Lilia begitu saja. Ia ikut bangun dan meraih tangan William seraya berujar, “Biar aku temui saja dia, William.” “Tidak!” tepis William, wajahnya mengeras, menolak dengan tegas. “Apa setelah semua yang dia lakukan padamu aku bisa membiarkan dia bertemu denganmu begitu saja. Tidak, Lilia! Tidak akan ada yang pergi menemui wanita itu!” Lilia menjumpai kekhawatiran yang besar dari cara William bertutur. Penolakannya yang tegas itu mengatakan lebih banyak bahwa ia tak akan membiarkan Lilia bertatap muka dengan Gretha. “Kalau kamu khawatir kamu bisa peri bers
Untuk pertama kalinya setelah mereka meresmikan pernikahan, Lilia akan beraktivitas sebagai istri William dan tinggal untuk seterusnya di rumah ini. Selama bulan madu itu, ibunya—Alya—dengan bantuan Agni serta pelayan rumah tangga yang ada di rumah William mengemas barang yang ada di rumah neneknya Zain untuk kembali ke kota. Lebih dari sepuluh hari yang panjang dan Lilia melihat barang-barangnya sudah tiba di rumah ini. Alya akhirnya setuju untuk tinggal di rumah yang dibelikan oleh William. Tempatnya tidak jauh dari mereka, hanya berbeda perumahan dengan bangunan yang lebih sederhana sebab yang tinggal di sana hanya Alya dan dua orang pelayan serta seorang security. Lilia senang sebab ibunya itu akhirnya setuju untuk tinggal dirumah baru karena sebelumnya terus saja menolak dan mengatakan ia bisa tinggal di panti asuhan dan merawat anak-anak di sana—Ibu panti itu adalah teman Alya. Tuan Alaric lah yang melobinya, beliau mengatakan kurang lebih seperti, ‘Aku tidak ingin melihat
Sebenarnya Bertha tahu bahwa keputusannya memberanikan diri untuk menemui Alaric itu adalah sesuatu yang ‘bodoh’, tapi hal itu ia lakukan sebab ia tak ingin terus melihat Gretha menangis dan mengkhawatirkan akan seperti apa masa depan yang menunggu mereka, terutama bayi yang dikandungnya itu—yang mau tak mau harus Bertha akui sebagai cucunya. Namun, setibanya di sini, Bertha telah mendapatkan jawaban yang sangat jelas sekarang. Penolakan. Alaric tak bersedia membantunya, bagaimanapun Bertha mencoba menyentuh hati baik pria itu. Sudah tak ada lagi sisa belas kasih di dalam hatinya, caranya bertutur telah menjelaskan segalanya betapa mantan suaminya itu teramat membencinya. Dan alih-alih mengulurkan tangannya, Alaric justru membebaninya dengan sebuah ancaman. Meminta Zain mengamankannya dan memanggil polisi ke sini. “TIDAK, ALARIC!” seru Bertha sekali lagi. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. Bertha berlari meninggalkan teras lobi Seans Holdings saat melihat Zain selangkah me
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatus—yang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya saja—hari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana. Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah. Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana. Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia. 'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai. Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu. Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang m
Sebelum William mengatakan itu, sebenarnya Lilia sempat melihat Keano menepuk bahu ayahnya itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Sepertinya itu adalah agar William segera mengajak Lilia berdansa. Dengan masih termangu, Lilia menatap William dan tangan kanannya yang terulur kepadanya itu. "Terima, Mama!" pinta Keano dengan antusias. "T-tapi aku tidak bisa berdansa," jawab Lilia dengan gugup, merasa bersalah karena ini seperti sebuah penolakan yang tidak kentara. "Tidak apa-apa, aku bisa membuatmu berdansa malam hari ini." Anggukan William seolah sedang meyakinkannya, sehingga Lilia menerima tangan itu dan bangun dari duduknya. Ia berjalan mengikuti William yang tiba di tengah restoran, di bawah lampu chandelier yang bergantung dengan cantik. Meja-meja yang tersisih sejak awal mereka masuk itu sekarang Lilia tahu alasannya. Untuk tempat mereka berdansa. Sekilas melirik pada Keano, bocah kecil itu duduk di sana, tersenyum dengan ditemani oleh Giff yang masuk dan berdir
Gretha mengurungkan niatnya untuk menghubungi Giff. Ia tak yakin pemuda itu akan menjawabnya juga. Yang ada kemungkinan besar ia malah diblokir. Ia lalu meletakkan ponselnya ke samping bantal, memutuskan untuk pelan-pelan membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan air mata menggenang membasahi pipinya. Napasnya terasa berat, ia meraba perutnya. Hari kelahiran bayinya ini sudah semakin dekat. 'Semuanya jadi berantakan,' gumamnya dalam hati. Gigil menyergapnya dari ujung kaki. Saat ia mencoba memejamkan netranya yang lelah, bayangan wajah Ivana tiba-tiba muncul sehingga Gretha dengan cepat kembali membuka matanya. Jantungnya seperti baru saja berhenti berdetak selama beberapa detik karena tiba-tiba saja Ivana yang tak pernah ia pikirkan—dan hampir hilang dari benaknya—muncul tanpa persetujuan. Tatapan mata kakak tirinya itu—ataukah sekarang ia harus menyebutnya sebagai mantan kakak tiri—mendadak datang. Wajah cantik Ivana yang meski puca