Thor akan update sampai bab [184. Mengejar Atau Melepas?] tapi tinggalkan komentar dan ulasan vote juga buat William Lilia Keano 🎉🎈 maacih akak yg baik hati
“Tuan William,” panggil Giff kala tuannya itu hanya membeku, terpancang di lantai. “Kita pergi saja!” pintanya mencegah keributan terjadi.Tapi William tak mengindahkannya, ia berbalik dan pergi ke ruangan Nicholas, hendak masuk untuk menjawab ibunya, membiarkan bibirnya ini mengatakan apapun.Namun, niatan itu ia urungkan saat ia mendengar Nicholas akhirnya menjawab.Tadinya William berpikir kakak lelakinya itu akan setuju-setuju saja dengan permintaan sang Ibu, tetapi ia salah!“Apa Mama akan terus bersikap seperti ini?” tanya Nicholas, suaranya terdengar serak, sarat akan amarah yang tengah coba diredamnya. “Dulu Mama menganggap Madeline tidak berguna karena dia tidak bisa berjalan, lalu sekarang Mama bilang William yang tidak berguna? Apa semua anak-anak yang tidak memenuhi standar Mama adalah anak-anak yang tidak berguna?”“Nic—““Apa kami ini produk gagal? Kami ini bukan barang!” sela Nicholas karena sepertinya memang ia belum usai bicara.Tubuh William terasa kebas saat menden
“Bukankah jika didengar dari geramnya Tuan Nicholas memang sepertinya Nyonya Donna sering melakukan hal seperti itu?” sahut Giff dari samping kiri William. “Maaf saya tidak bermaksud lancang, Tuan William.”“Dan sepertinya itu memang benar,” tanggap William tak keberatan. “Artinya memang selama ini diam-diam Nicholas selalu melindungiku tanpa aku tahu. Melindungi Madeline juga … tapi aku hanya terus menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak baik.”William menghela napasnya, dalam, penuh sesak—dan sesal.“Tidak apa-apa, Tuan William,” kata Giff mencoba menenangkannya. “Anda bisa bicara dengan Tuan Nicholas nanti. Bukankah Anda juga belum mengatakan bahwa Anda tahu penyebab sebenarnya kematian Nona Madeline?”“Belum, Giff,” jawabnya.Giff benar … ia memang harus benar-benar duduk dan bicara dengan kakak lelakinya itu untuk banyak hal.Termasuk berterima kasih padanya, yang diam-diam selalu memasang badan untuknya dan mendiang Madeline di depan sang Ibu yang terlalu banyak menuntut dan mem
“Aah, kalau begitu artinya Anda menyerah untuk mengejar cinta Nona Lilia?” tanggap Giff setelah ungkapan panjang William. “Jika begitu … haruskah saya memberikan dukungan saja pada pegawai kelurahan yang muda dan tampan itu untuk mendekati Nona Lilia?”William tak menjawab Giff, sepasang matanya menggelap menatap pada si tangan kanannya yang tertawa—yang sebenarnya terdengar lebih seperti sebuah ejekan.“Apa maksudnya itu?” tanya William akhirnya. “Kamu mau mengkhianatiku? Kenapa kamu mau mendukung si pegawai kelurahan itu?”“Kenapa lagi memangnya? Bukankah karena Anda sudah tidak ingin mengejar cinta Nona Lilia lagi?” tanya Giff balik. “Bukan—““Terserahlah,” potong Giff tak mau tahu. “Semoga Nona Lilia berjodoh dengan Zavian yang tampan dan muda itu.”“Anak ini—“ William mendesis saat Giff memalingkan wajahnya dan mengayunkan kakinya untuk pergi dari sana.“GIFF!” serunya, tetapi pemuda itu tak menoleh sama sekali.“Dia memang muda, tapi aku lebih tampan darinya!” William meneriaki
“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.” Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le
Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.“Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.”Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole
Lilia tertegun cukup lama mendengar William.‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.“Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?”“S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya.Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.“Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!”“Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.Ia nyaris jatuh dari
Tudingannya menggebu-gebu.Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?”Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian.“Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’”“Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!”Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya.Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan.“Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?”“Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membu
“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.“Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.“Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
“Aah, kalau begitu artinya Anda menyerah untuk mengejar cinta Nona Lilia?” tanggap Giff setelah ungkapan panjang William. “Jika begitu … haruskah saya memberikan dukungan saja pada pegawai kelurahan yang muda dan tampan itu untuk mendekati Nona Lilia?”William tak menjawab Giff, sepasang matanya menggelap menatap pada si tangan kanannya yang tertawa—yang sebenarnya terdengar lebih seperti sebuah ejekan.“Apa maksudnya itu?” tanya William akhirnya. “Kamu mau mengkhianatiku? Kenapa kamu mau mendukung si pegawai kelurahan itu?”“Kenapa lagi memangnya? Bukankah karena Anda sudah tidak ingin mengejar cinta Nona Lilia lagi?” tanya Giff balik. “Bukan—““Terserahlah,” potong Giff tak mau tahu. “Semoga Nona Lilia berjodoh dengan Zavian yang tampan dan muda itu.”“Anak ini—“ William mendesis saat Giff memalingkan wajahnya dan mengayunkan kakinya untuk pergi dari sana.“GIFF!” serunya, tetapi pemuda itu tak menoleh sama sekali.“Dia memang muda, tapi aku lebih tampan darinya!” William meneriaki
“Bukankah jika didengar dari geramnya Tuan Nicholas memang sepertinya Nyonya Donna sering melakukan hal seperti itu?” sahut Giff dari samping kiri William. “Maaf saya tidak bermaksud lancang, Tuan William.”“Dan sepertinya itu memang benar,” tanggap William tak keberatan. “Artinya memang selama ini diam-diam Nicholas selalu melindungiku tanpa aku tahu. Melindungi Madeline juga … tapi aku hanya terus menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak baik.”William menghela napasnya, dalam, penuh sesak—dan sesal.“Tidak apa-apa, Tuan William,” kata Giff mencoba menenangkannya. “Anda bisa bicara dengan Tuan Nicholas nanti. Bukankah Anda juga belum mengatakan bahwa Anda tahu penyebab sebenarnya kematian Nona Madeline?”“Belum, Giff,” jawabnya.Giff benar … ia memang harus benar-benar duduk dan bicara dengan kakak lelakinya itu untuk banyak hal.Termasuk berterima kasih padanya, yang diam-diam selalu memasang badan untuknya dan mendiang Madeline di depan sang Ibu yang terlalu banyak menuntut dan mem
“Tuan William,” panggil Giff kala tuannya itu hanya membeku, terpancang di lantai. “Kita pergi saja!” pintanya mencegah keributan terjadi.Tapi William tak mengindahkannya, ia berbalik dan pergi ke ruangan Nicholas, hendak masuk untuk menjawab ibunya, membiarkan bibirnya ini mengatakan apapun.Namun, niatan itu ia urungkan saat ia mendengar Nicholas akhirnya menjawab.Tadinya William berpikir kakak lelakinya itu akan setuju-setuju saja dengan permintaan sang Ibu, tetapi ia salah!“Apa Mama akan terus bersikap seperti ini?” tanya Nicholas, suaranya terdengar serak, sarat akan amarah yang tengah coba diredamnya. “Dulu Mama menganggap Madeline tidak berguna karena dia tidak bisa berjalan, lalu sekarang Mama bilang William yang tidak berguna? Apa semua anak-anak yang tidak memenuhi standar Mama adalah anak-anak yang tidak berguna?”“Nic—““Apa kami ini produk gagal? Kami ini bukan barang!” sela Nicholas karena sepertinya memang ia belum usai bicara.Tubuh William terasa kebas saat menden
“H-harusnya seperti itu, Pa,” tanggap Lilia dengan gugup. “Ada banyak kenangan yang bertumpang tindih. Ada William yang terlihat membenciku, ada kalanya juga aku menemukan dia terlihat tersenyum dengan manis, aku bingung harus mempercayai ingatanku yang mana. Aku ingin ingat semuanya.”Tuan Alaric yang mendengar Lilia hanya terus tersenyum. Pria paruh baya itu seperti tak keberatan mendengarnya siang hari ini atau bahkan hingga nanti matahari tak terlihat lagi.Salah satu tangan beliau mengarah ke depan, menyinggahi lengan Lilia dan memberinya usapan lembut.“Bukankah Papa sudah bilang agar kamu pelan-pelan saja mengingat semuanya?” kata beliau. “Jika kamu paksakan, bisa-bisa semua ingatan itu rusak dan selamanya kamu tidak akan bisa mengingat William atau Keano, Nak ….”Lilia tak menjawab selain hanya terus menunduk, sedang Tuan Alaric menarik tangannya saat suaranya yang hangat kembali terdengar. “Jika ingatanmu rusak, kamu bisa tak lagi menderita hilang ingatan semenatara, tetapi s
“T-tapi, benar ini sama dengan punya Papa?” ulang Lilia atas kalimat Keano.“Iya, Mama,” jawab Keano seraya menganggukkan kepalanya dengan yakin. “Cincin itu Mama dapat saat Mama dan Papa ada di rooftop,” terangnya.Meski Lilia mendengar anak lelakinya itu dengan saksama, tapi ia tak bisa mendapatkan kenangan akan hari itu.Satu hal yang jelas, saat ia menunduk dan mengamati cincin itu … cincinnya sangat cantik.Cincin bunga lili. Jika benar itu berasal dari William, ‘Apa itu agar mirip dengan namaku? Bunga lili untuk Lilia?’Berhenti membatin, Lilia menggeleng menyangkal pendapatnya sendiri.‘Tidak mungkin begitu, aku hanya mencocokkannya saja.’Lilia hampir meminta agar Keano menceritakan tentang hal itu lagi sebelum ia mendengar suara Tuan Alaric yang memasuki ruang tengah seraya berujar, “Keano benar, Nak,” katanya. “Papa pernah melihat kamu memakai cincin itu yang memang serasi dengan cincin milik William yang masih dipakainya sampai hari ini. Kalungnya juga sangat cantik.”Lewat
Tuan Alaric pergi melewati mereka setelah mengatakan hal itu.Suara langkah kakinya lambat laun tak terdengar di kejauhan, kepergiannya jelas bersama dengan Zain sebab samar dari tempat Gretha berdiri ia mendengar suara pria itu yang menyapa, ‘Selamat malam’ kepada ayahnya.Gretha mendorong napasnya seraya memandang sang Ibu. “Apa maksudnya itu, Ma?” tanyanya. “Memangnya bagaimana cara Mama dan Papa menikah dulu?”“Kamu tidak perlu tahu,” jawab Nyonya Bertha. “Yang penting kamu hidup enak ‘kan sampai hari ini?”Nyonya Bertha hampir pergi sebelum Gretha mencegahnya.“Aku penasaran dengan Papa kandungku,” ucapnya yang seketika membuat sang Ibu terhenti langkahnya, membeku di tempatnya berdiri dan menatap Gretha dengan leher yang bergerak kaku. “Selama ini aku tidak pernah melihat Papa kandungku. Mama bilang kalau Papa sudah mati, apa memang benar begitu, atau ada hal lain yang Mama sembunyikan dariku?”Nyonya Bertha tak menjawab. Ia menghindari tatapan penuh rasa penasaran anak perempua
Gretha tertawa mendengar ucapan tersebut. Kedua tangannya bersedekap saat menjawab, “Jangan harap!” ucapnya penuh penekanan. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika bukan William maka tidak!”“Lalu apa kamu akan membiarkan anak itu lahir tanpa ayah?”“Dia punya ayah, ayahnya adalah William,” jawab Gretha. “Jangan merasa kamu berhak menuntutku ini dan itu hanya karena kamu memasukkan benihmu kedalam tubuhku, Henry!”Henry sejenak terlihat seperti orang linglung. Ia tak bisa meraba apa yang sebenarnya diinginkan oleh Gretha.“Kenapa pemikiranmu aneh sekali, Gretha?” tanya Henry. “Kita berhubungan, anak itu adalah anakku. Kamu juga sudah berjanji memberi kesempatan padaku jika aku melakukan apapun yang kamu mau. Tapi kenapa begini sekarang?” cecar Henry balik, suaranya sarat akan ketidakpuasan dan rasa kecewa yang besar.Seakan apa yang ia lakukan selama ini hanyalah sebuah kesia-siaan yang tak ada artinya di mata Gretha.“Kenapa kamu keras kepala, Gretha?” imbuhnya. “Aku mau bertanggung
William melihat Henry yang kedua telinganya memerah. Tubuhnya bergerak menunjukkan gestur bahwa ia tidak nyaman, seolah ia tengah tertangkap basah padahal tak ada yang menyebut namanya sama sekali.Ada kepanikan yang ia sembunyikan dan dari sanalah sepertinya William telah tahu anak siapa di dalam perut Gretha itu.Ia memandang Giff melalui sudut matanya, sekretarisnya itu seolah tahu apa yang ia pikirkan sehingga memberi anggukan samar.“Kamu tidak perlu tahu, Rey!” jawab Gretha akhirnya. Ia memandang Reynold dengan tatapan sengit sebelum mengayunkan kakinya pergi dari sana, hampir bisa dikatakan berlari kala meninggalkan lobi Velox Corp padahal sebelumnya bersikeras mengatakan ingin ikut seminar.Reynold memandang kepergian Gretha dengan alis lebatnya yang nyaris bersinggungan.“Apakah kamu mengenalnya, Reynold?” tanya William.“Iya. Mantan pacar saya, Tuan,” akunya. “Apakah Anda juga mengenalnya?”“Dia adik tiri dari mendiang istriku.”Reynold terlihat memiringkan kepalanya sekila
Sehari setelah kembali dari luar kota—tempat di mana Lilia, Keano dan Alya berada—pagi ini William kembali menjalani aktivitas rutinnya.Di lobi Velox Corp, ia berjalan dengan Giff yang ada di belakangnya, sepasang matanya menjumpai sosok tak asing yang duduk di sana.Gretha.Wanita itu terbalut dalam pakaian hamilnya, berdiri dengan gegas saat melihat William yang berjalan melewatinya tanpa peduli.“Kak Liam,” panggil Gretha seraya menghalangi langkah kakinya.William mau tak mau berhenti karena Gretha benar-benar ada di hadapannya.Ia terlihat tak tertarik sesaat sebelum suaranya akhirnya terdengar, “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya William dengan enggan.“Aku mendapat undangan untuk datang ke seminar yang diselenggarakan di hall milikmu. Sebagai perwakilan,” terang Gretha. “Aku membawa undangannya jika Kak Liam tidak percaya padaku.”William yang mendengar itu menoleh ke sebelah kanannya, pada Giff. “Apa kamu mengundangnya juga, Giff?”“Maaf saya tidak ingat karena undanganny