Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Pesugihan Kandang Bubrah: Chapter 11 - Chapter 20

79 Chapters

11. Tumbal Pertama

"Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s
last updateLast Updated : 2024-11-17
Read more

12. Bayangan yang Mengintai  

Arif berjalan mondar-mandir di ruang tamu, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kontrak yang telah ia tandatangani dengan Mbah Mijan. Sesuatu dalam dirinya meronta, merasakan kegelisahan yang kian menumpuk, meskipun kekayaan yang ia dambakan mulai mengalir deras. Rumahnya kini terlihat lebih megah, dengan renovasi yang terus berjalan tanpa henti. Namun, meski tampak sejahtera, perasaan cemas itu tidak juga hilang.“Rif, sudah waktunya makan,” panggil ibunya dari dapur. Suaranya serak, masih penuh kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang penuh kekacauan, menyusul kematian mendadak nenek Bunyu. Arif mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu depan rumah, seolah berharap sesuatu akan muncul di baliknya.Arif teringat akan mimpinya semalam, wajah nenek Bunyu yang penuh luka dan penderitaan. Tawa yang mengerikan itu masih terngiang di telinganya, seolah memperingatkan bahwa jalan yang dia pilih bukanlah jalan yang benar. Tetapi, Arif tidak bisa mundur lagi. Semuanya t
last updateLast Updated : 2024-11-17
Read more

13. Bayang-Bayang yang Menghantui

Arif berdiri mematung di halaman belakang, pandangannya tak bisa lepas dari jendela rumahnya yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan mata merah menyala. Meskipun dia tahu dirinya tak salah lihat, bagian dalam dirinya bagian yang rasional berusaha membujuknya bahwa itu hanya imajinasinya saja.Perasaan aneh semakin menguasai dirinya. Arif merasa seperti ada yang memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa Arif jelaskan. Dalam kebingungannya, Arif berbalik dan melangkah cepat ke dalam rumah, membanting pintu belakang dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar.“Siapa... siapa itu?” bisiknya, meskipun tahu tak ada jawaban yang akan datang.Tiba-tiba, suara ketukan di jendela depan terdengar jelas. Suara itu membuat hatinya hampir melompat keluar dari dadanya. Arif segera berjalan menuju jendela dengan langkah ragu-ragu, tangan gemetar saat Arif meraih tirainya. Dengan sekali tarik, Arif membuka tirai itu dan jantungnya hampi
last updateLast Updated : 2024-11-17
Read more

14. Arif Ingin Menggagalkan Rencana Gibran

Ketika Arif memasuki kamarnya, kegelapan malam itu terasa lebih pekat daripada sebelumnya. Udara dingin menyelimuti ruangannya, dan suara jangkrik yang biasanya terdengar dari luar kini seolah menghilang. Arif mengangkat tangan untuk menutup pintu, tetapi matanya tertuju pada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu kamar.Itu sosok yang sama. Sosok gelap yang dia lihat beberapa malam lalu. Mata merah menyala itu menatapnya dengan penuh kebencian. Arif merasa tubuhnya membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah menunggu.Arif menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya. Ini tidak bisa terjadi. Dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Ritual itu harusnya memberinya kekuatan, tapi mengapa sosok itu tetap ada? Mengapa Arif merasa seperti ada yang mengintai setiap langkahnya?"Siapa... siapa kamu?" Arif akhirnya bisa berbicara, suara suaranya terdengar serak.Sosok itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, semaki
last updateLast Updated : 2024-11-17
Read more

15. Persaingan Secara Nyata Bukan Omongan Semata

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Arif menemui Suryanto Cendana, ayah Lila, untuk membicarakan masalah ini. Arif tahu ini adalah jalan terakhir yang harus dia tempuh jika ingin memisahkan Lila dari Gibran.Suryanto duduk di kursinya yang besar, matanya menatap Arif dengan serius. "Jadi, kau ingin aku memilih antara Gibran dan kau, Arif?" tanyanya dengan suara rendah."Ya, Pak Suryanto," jawab Arif dengan tegas. "Saya ingin menunjukkan bahwa saya lebih dari sekadar kaya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa memberi Lila kehidupan yang lebih baik, yang bebas dari perseteruan keluarga Mahoni."Suryanto tersenyum tipis, namun matanya penuh perhitungan. "Baiklah. Aku akan memberi kalian kesempatan, Arif. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang uang atau kekuasaan. Ini tentang siapa yang benar-benar bisa memberikan kebahagiaan untuk Lila."Suryanto berdiri, matanya tajam menatap Arif. "Kita akan melihat siapa yang lebih layak untuk Lila. Aku akan memberikan kesempatan untuk dua lamaran. Sat
last updateLast Updated : 2024-11-17
Read more

16. Pasar Tumpah

Arif berdiri di atas tanah yang baru saja dibersihkan, matanya menatap lahan yang luas di Pasar Tumpah. Sisa-sisa puing bekas lapak pedagang masih terlihat berserakan di sudut-sudut, sementara di kejauhan, suara hiruk-pikuk pasar yang padat dengan pedagang dan pembeli bergema. Semua itu tampak biasa, tapi bagi Arif, tempat ini adalah medan pertempuran yang menentukan hidup dan mati bagi keluarganya, serta masa depannya dengan Lila."Bagaimana, Bos?" Suara seorang anak buahnya, Joko, menyapa. Lelaki itu berdiri di samping Arif, tangan memegang cetak biru desain gudang.Arif mengangguk, matanya menyipit melihat peta lahan. "Kita tidak punya waktu banyak, Joko. Mulai sekarang, semuanya harus berjalan cepat. Kita harus bangun gudang ini dalam waktu setengah bulan, karena kalau sebulan aku takut belum sempat memulai usahanya.""Tenang, Bos," jawab Joko dengan senyum lebar. "Kami semua sudah siap. Mesin-mesin sudah datang, bahan bangunan juga sudah disiapkan."Sehari-hari, Arif dan anak bua
last updateLast Updated : 2024-11-18
Read more

17. Bara di Keluarga Mahoni

“Kamu itu tidak tahu diri, Arif!” Suara berat Bintan Mahoni menggema, di ruang tamu rumah besar keluarga Mahoni.Wajahnya merah padam dan telunjuknya menuding tajam ke arah Arif yang duduk tenang di kursi rotan. “Sebagai keluarga termuda, kau harus tahu batasmu! Lila bukan untukmu, dia untuk Gibran!”Arif mengangkat alis, menahan senyum sinis. “Pakde Bintan, ini bukan soal siapa yang tertua atau termuda. Ini soal siapa yang pantas. Dan saya rasa, Pak Suryanto sudah memberi jawabannya.”Bintan menghentakkan kakinya ke lantai, membuat debu-debu beterbangan. “Kau pikir uangmu bisa membeli semua? Kau tak punya apa-apa dibandingkan Gibran! Apa yang kau miliki sekarang hanya keberuntungan sementara!” Dari sudut ruangan, Misna Bengkirai, ibu Arif, berdiri dan menatap tajam ke arah kakak iparnya, Bintan. “Jangan hina anakku, Bintan!” serunya dengan suara lantang. “Kalau kau menganggap keluarga Bengkirai ini tak ada artinya, kau salah besar. Kami tak butuh belas kasihan darimu! Bahkan Arif ta
last updateLast Updated : 2024-11-18
Read more

18.  Jalan Gelap ke Hutan Srengege

Arif mengangguk pelan di hadapan Suryanto Cendana, yang menatapnya penuh keyakinan. "Saya percaya padamu, Arif," kata Suryanto. "Jangan sia-siakan kesempatan ini." “Terima kasih, Pak Suryanto,” balas Arif dengan nada hormat. Wajahnya terlihat tenang, namun di dalam dadanya, rasa gelisah menggeliat seperti ular. Ketika Suryanto pergi meninggalkannya, suara Gibran kembali terngiang di pikirannya. ‘Aku tahu siapa dirimu sebenarnya.’ Kalimat itu menggantung di benaknya, seperti duri yang menusuk perlahan. “Waktunya hampir tiba,” gumam Arif pada dirinya sendiri. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Ritual tahunan pesugihan kandang bubrah harus dilanjutkan. Kali ini, dia sudah memutuskan tumbal berikutnya. ‘Bintan Mahoni.’ Nama itu tertulis di dalam pikirannya.Malam itu, di rumahnya, Arif duduk di meja kecil dengan lampu minyak yang menyala redup. Di tangannya, Arif memegang foto Bintan Mahoni. Dalam gambar itu, Bintan terlihat tersenyum lebar di acara keluarga, senyuman yang sekarang mem
last updateLast Updated : 2024-11-18
Read more

19. Bayaran yang Harus Dibayar

Pikiran Arif terusik. Suara Mbah Niah terngiang jelas di telinganya meski dia sudah kembali ke rumah. Kata-katanya seakan menjadi mantera yang tak henti-hentinya memutar di dalam benaknya. ‘Ingat, Arif. Apa yang kau minta selalu punya harga. Jangan lupa apa yang sudah kau janjikan.’Saat itu, di hutan Srengege, Mbah Niah berubah. Tubuh rentanya tiba-tiba memudar, berganti menjadi sosok wanita muda dengan kecantikan yang luar biasa. Senyum manisnya terasa menipu, matanya berkilat penuh misteri. “Arif, kau memilih jalan ini. Jangan pernah ragu lagi,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan yang merayap ke dalam jiwa Arif. Kini, di kamar kecilnya yang suram, bayangan wajah cantik itu terus muncul di pikirannya. Dia mengguncang kepalanya dengan kasar, mencoba mengusirnya. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu menyerangnya. Pagi harinya di depan rumah, Bintan. “Bapak Bintan kenapa, Bu?” tanya seorang tetangga yang melongok dari balik pagar rumah keluarga Maho
last updateLast Updated : 2024-11-18
Read more

20. Pria Misterius

Arif duduk di ruang tamunya yang luas, ditemani hanya oleh kesunyian. Rumah megahnya kini hampir selesai, setiap sudut dan celah telah direnovasi dengan cermat.“Uang-uang ini, seperti mimpi. Dulu untuk memiliki selembar saja sulit.” Arif bergumam sendiri, Tumpukan uang hasil penjualan jengkol baru-baru ini terhampar di meja, mencerminkan keberhasilannya yang semakin gemilang.Sejak kematian Bintan, Arif merasa dunia berada di tangannya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya. “Setidaknya aku sudah, sedikit tenang. Musuhku berkurang satu. Orang yang selalu memandang rendah diriku dan orang tuaku,” gumamnya di ikuti senyum kecil kemenangan.Namun, ketenangannya terganggu oleh suara bisikan lembut yang datang dari arah jendela. Arif menoleh cepat, matanya menelusuri ruangan yang sepi itu. Tidak ada apa-apa. Angin berhembus pelan, namun bisikan itu seolah menyusup jauh ke dalam jiwanya. Dia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mendalam.
last updateLast Updated : 2024-11-20
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status