Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Pesugihan Genderuwo: Chapter 81 - Chapter 90

107 Chapters

81. Terbelenggu

Nada bicaranya bergetar tapi keberanian di matanya terlihat jelas. Semua petani terdiam. Udara terasa berat, seperti badai yang akan meledak. Bagas memandang tajam petani itu. Matanya menyala penuh amarah. "Kamu bilang apa tadi?!" Suaranya rendah, penuh ancaman. "Juragan saya hanya mendengar! Nggak lebih!" Petani itu mundur satu langkah. Tetapi, Bagas menghampirinya dengan langkah cepat. "Kalau begitu, dengar ini baik-baik!" Bagas langsung menampar wajah petani itu dengan keras. Membuatnya tersungkur ke tanah. Tidak puas, Bagas menendang beberapa kali. "Maaf, Juragan! Ampun!" Petani itu memohon sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Bagas membungkuk, mencengkeram kerah baju petani tersebut. Lalu, menariknya hingga wajah mereka sejajar. "Kamu punya istri, kan?" "I—iya, Juragan!" jawabnya terbata-bata. "Punya anak juga?" Bagas bertanya lagi, nadanya dingin. "I—iya, Juragan ...." Bagas mendorong petani itu hingga jatuh lagi ke tanah. "Mulai sekarang, kamu nggak kerja
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

82. Keputusan Berat

"Ki, saya bingung. Kenapa nafsu saya terhadap makanan mentah semakin tak terkendali?" tanya Bagas dengan cemas. Ki Praja menatapnya datar. "Daging?" tanyanya. "Iya, Ki! Setiap kali melihat daging, perut saya langsung lapar! Percuma punya uang banyak, tapi nggak bisa makan yang lain!" keluh Bagas. Ki Praja menarik napas panjang. "Itulah risikonya. Ingat, Le, kamu dan Genderuwo sudah menjadi satu. Nafsu kalian pun kini terikat. Ini akibat perjanjian yang kau buat," jelas Ki Praja dengan tenang. Bagas terdiam mendengar penjelasan Ki Praja. Rasa cemas dan bingung semakin mencekam dirinya. Dia merasa seolah terperangkap dalam keputusan yang pernah ia buat tanpa benar-benar memahami akibatnya. Hatinya bergejolak, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. "Jadi, ini memang tak bisa dihentikan?" tanya Bagas, suaranya terdengar lemah. Ki Praja mengangguk pelan. "Setiap perjanjian ada harga yang harus dibayar. Hawa nafsu yang menguasai tubuhmu itu adalah bagian dari pengikatan mu den
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

83. Gantung Diri

"Mas Agung! Kenapa Mas tega ninggalin aku?!" Suara tangis istrinya memecah keheningan, menggema di antara bayangan tubuh yang tergantung kaku.Tetangga mulai berdatangan, wajah mereka penuh rasa cemas."Ayo-ayo, cepat bantu turunkan jasadnya!" seru seorang pria sambil menunjuk ke arah tali."Ambil kursi! Potong talinya dulu!" sahut yang lain.Mereka bergotong-royong menurunkan tubuh Agung yang tergantung di balok kayu. Saat tubuhnya akhirnya terbaring di lantai, istrinya langsung memeluk jasad itu dengan tangisan memilukan."Mas Agung! Kenapa tega ninggalin aku?!" jerit istrinya sambil tersedu.Seorang ibu-ibu memberanikan diri mendekat."Mbak, kok bisa nggak tahu kondisi Mas Agung?" tanyanya lirih.Istri Agung hanya menangis, tubuhnya bergetar, tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya. Tetangga mulai berbisik-bisik, suara mereka semakin lantang."Eh, Bu! Ku rasa ini gara-gara istrinya, deh," ujar seorang wanita sambil melirik tajam."Kok bisa begitu?" sahut yang lain penasaran."Iya,
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

84. Rumah Duka

"Juragan! Agung meninggal gantung diri!" seru seorang petani yang baru tiba di ladang dengan wajah panik. Bagas, yang tengah duduk santai di bawah pohon sambil menikmati rokoknya, hanya melirik sekilas. Bukannya menunjukkan rasa kaget atau iba. Dia justru menyunggingkan senyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti ejekan. Bagas menghembuskan asap rokok perlahan, lalu berkata dengan nada datar, "Ya sudah, ngapain laporan sama saya?" Petani itu terdiam, bingung harus merespons bagaimana. Sementara Bagas, tanpa sedikit pun terganggu, kembali menikmati rokoknya, seolah kabar itu bukan apa-apa baginya. "Di sana lagi ricuh bicarakan Juragan!" ucap si petani, nadanya seolah sengaja ingin memancing emosi Bagas. Bagas menghentikan gerakannya sejenak, lalu mematikan puntung rokoknya dengan cepat. Wajahnya yang tadi terlihat santai berubah drastis. Tatapan dingin berganti dengan sorot penuh amarah, sementara langkahnya langsung tegap dan tergesa. Tanpa sepatah kata, Bagas bergegas meni
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

85. Ratapan

"Mas, maafkan aku!" Istri Agung menangis tersedu di atas batu nisan suaminya. Tangannya gemetar saat mengusap tulisan nama yang terukir di sana. Air matanya mengalir deras, menyatu dengan tanah merah yang masih basah. Ratih duduk di sampingnya, ragu-ragu, tetapi tetap mencoba memberikan dukungan. "Mbak, ikhlaskan suaminya, ya. Biar lapang jalannya di sana," ujarnya dengan nada lembut. Namun, Istri Agung tiba-tiba menoleh dengan tatapan liar. Matanya yang sembab dan merah penuh amarah. "Apa kamu?! Pergi kamu sana! Ini semua karena kalian!" teriaknya, suaranya pecah seperti lonceng yang retak. Ratih terkejut dan mundur beberapa langkah, tetapi sebelum dia bisa merespons, Istri Agung sudah berdiri. Dia mulai mengacak-acak rambutnya sendiri, berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal. "Semua ini salah kalian! Salah kalian semua! Kenapa suamiku? Kenapa bukan kalian yang mati?! Kenapa?!" jeritnya, tangannya meraih gumpalan tanah dan melemparkannya ke arah para pelayat yang menc
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

86. Depresi

"Jangan ambil suamiku!"Istri Agung semakin larut dalam depresinya. Tingkah lakunya kian hari kian menunjukkan tanda-tanda kehilangan akal sehat. Dia sering berbicara sendiri, tertawa di tengah tangis, atau bahkan memeluk foto suaminya dengan erat, seolah-olah Agung masih hidup.Kini, dia benar-benar hidup seorang diri. Anak tirinya menolak tinggal bersamanya dan lebih memilih menetap di kota bersama keluarga dari ibunya—istri pertama Agung yang telah lama meninggal. Rumah itu pun semakin terasa sunyi, hanya diisi oleh suara rintihan dan jeritan malam Istri Agung yang menggema tanpa jawaban."Mas Agung ... Kemana kamu!"Suara Istri Agung melengking, penuh dengan kegelisahan dan emosi yang tak terkendali. Dia berbicara dengan nada bahagia, lalu seketika berubah menjadi tangisan yang memilukan, seakan hatinya diaduk-aduk oleh kenangan dan kesedihan.Ratih yang kebetulan melintas di dekat rumahnya melihat sesuatu yang mengejutkan. Istri Agung sedang jongkok di tanah, mencabut dan memak
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

87. Kobaran Api

"Tolong... tolong!"Suara teriakan warga memecah keheningan malam, membangunkan penduduk desa dari tidur mereka. Dentingan kelontongan dipukul keras, menggema di tengah gelap."Api! Rumah almarhum Agung terbakar!" seru seseorang dengan panik.Langit malam memerah, diterangi kobaran api yang semakin membesar. Asap hitam mengepul ke udara, menyesakkan napas siapa saja yang berada di dekatnya."Air! Cepat ambil air!" teriak beberapa warga sambil berlarian, membawa ember dan alat seadanya untuk memadamkan api.Namun, di tengah kekacauan itu, sebuah suara memekik dengan nada putus asa. "Istri Agung masih di dalam!" ujar salah seorang warga dengan wajah penuh ketakutan.Semua orang tersentak. Tatapan mereka tertuju pada rumah yang sudah hampir dilalap api. Namun, tak ada yang cukup berani untuk masuk. Hanya jeritan dan kekacauan yang terus terdengar di malam mencekam itu.Teriakan itu sampai ke telinga Bagas dan Ratih yang tengah berada di dalam rumah."Mas, itu kayaknya ada kebakaran!" Rat
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

88. Jadi Makanan Genderuwo

"Astagfirullah, ini jasad istri Agung?!" seru seorang pria dengan wajah pucat.Di hadapan mereka, tubuh itu hangus terbakar. Kulitnya menempel pada tulang, sebagian besar sudah meleleh hingga tak berbentuk. Wajahnya sama sekali tidak bisa dikenali.Namun, beberapa helai rambut yang tersisa di kepala memberi petunjuk siapa dia. Pemandangan itu begitu mengerikan, membuat beberapa orang warga yang melihat langsung berpaling karena tak sanggup menahan rasa mual."Ya Allah, mengenaskan sekali," bisik seorang wanita tua dengan suara gemetar."Ini benar-benar tragis," sahut pria lain sambil menutup hidungnya dengan kain karena bau menyengat dari jasad itu.Warga mulai berbisik-bisik, menyaksikan pemandangan memilukan di depan mereka. Rumah dan mayat itu tampak seakan menjadi satu warna, hitam dan abu-abu, seperti melambangkan akhir hidup yang penuh kesedihan."Aku rasa dia bakar rumahnya sendiri, Bu," bisik seorang wanita berkerudung kepada tetangganya."Iya," sahut wanita lain. "Tadi pagi a
last updateLast Updated : 2024-12-10
Read more

89. Dugaan dan Firasat

"Eh, ini apa?!" Dia berjongkok, menggali dengan jarinya. Namun, semakin dalam dia menggali, semakin yakin bahwa apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang biasa.Tanah yang lembab itu mengungkapkan sesuatu yang menyerupai kulit membiru, berbau anyir busuk. Cairan seperti minyak lengket merembes keluar, membuat beberapa petani yang melihatnya mundur selangkah."Coba pakai pacul, biar lebih jelas!" saran seorang petani lain, yang berdiri di belakangnya dengan raut wajah penasaran.Petani pertama mengangguk, mengambil pacul dan mulai menggali lebih dalam."Astaga!" teriaknya terhenti, wajahnya pucat pasi. "Ini... ini bukan kulit biasa!"Petani lain saling pandang dengan ketakutan, mulai menyadari ada sesuatu yang mengerikan terkubur di sana."Eh ... eh, sebentar! Kok hitam begini?!" seru seorang petani dengan nada heran, matanya tak lepas dari tanah yang mereka gali.Semua terdiam sejenak, saling pandang dengan raut wajah bingung. Namun rasa penasaran mereka mendorong untuk terus mengga
last updateLast Updated : 2024-12-10
Read more

90. Empat Korban Petani

Tok! Tok!"Kyai Ahmad!"Gugun berbisik sambil mengetuk pintu. Petani itu berusaha untuk tetap tenang. Namun, ekspresi mereka tidak bisa di bohongi. "Buruan, ayo cepat!" desak Noles—petani lainnya."Ssst, sabar sedikit," tegur Gugun, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.Petani terus mengetuk pintu itu lebih keras. Sedangkan, teman yang lainnya, melihat situasi di sekitar rumah Kyai. Mereka benar-benar tidak ingin orang mengetahui. Mereka berusaha untuk tidak membuat keributan sedikitpun. "Kalau ketahuan sama Juragan Bagas, kita habis!" bisik Sunta, matanya melirik ke arah jalan setapak."Kita nggak akan ketahuan, asal kalian jangan berisik!" sahut Gugun dengan nada kesal.Mereka kembali mengetuk pintu, kali ini lebih keras. Namun, suara itu masih belum membuat Kyai Ahmad terbangun."Eh, dia tidur pules banget, ya?" gumam Warto."Ssst! Diam! Jangan banyak omong!" perintah Gugun sambil menoleh tajam.Mereka berdiri tegang di depan pintu, berharap Kyai Ahmad segera membuka tanpa men
last updateLast Updated : 2024-12-11
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status