"Astagfirullah, ini jasad istri Agung?!" seru seorang pria dengan wajah pucat.Di hadapan mereka, tubuh itu hangus terbakar. Kulitnya menempel pada tulang, sebagian besar sudah meleleh hingga tak berbentuk. Wajahnya sama sekali tidak bisa dikenali.Namun, beberapa helai rambut yang tersisa di kepala memberi petunjuk siapa dia. Pemandangan itu begitu mengerikan, membuat beberapa orang warga yang melihat langsung berpaling karena tak sanggup menahan rasa mual."Ya Allah, mengenaskan sekali," bisik seorang wanita tua dengan suara gemetar."Ini benar-benar tragis," sahut pria lain sambil menutup hidungnya dengan kain karena bau menyengat dari jasad itu.Warga mulai berbisik-bisik, menyaksikan pemandangan memilukan di depan mereka. Rumah dan mayat itu tampak seakan menjadi satu warna, hitam dan abu-abu, seperti melambangkan akhir hidup yang penuh kesedihan."Aku rasa dia bakar rumahnya sendiri, Bu," bisik seorang wanita berkerudung kepada tetangganya."Iya," sahut wanita lain. "Tadi pagi a
"Eh, ini apa?!" Dia berjongkok, menggali dengan jarinya. Namun, semakin dalam dia menggali, semakin yakin bahwa apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang biasa.Tanah yang lembab itu mengungkapkan sesuatu yang menyerupai kulit membiru, berbau anyir busuk. Cairan seperti minyak lengket merembes keluar, membuat beberapa petani yang melihatnya mundur selangkah."Coba pakai pacul, biar lebih jelas!" saran seorang petani lain, yang berdiri di belakangnya dengan raut wajah penasaran.Petani pertama mengangguk, mengambil pacul dan mulai menggali lebih dalam."Astaga!" teriaknya terhenti, wajahnya pucat pasi. "Ini... ini bukan kulit biasa!"Petani lain saling pandang dengan ketakutan, mulai menyadari ada sesuatu yang mengerikan terkubur di sana."Eh ... eh, sebentar! Kok hitam begini?!" seru seorang petani dengan nada heran, matanya tak lepas dari tanah yang mereka gali.Semua terdiam sejenak, saling pandang dengan raut wajah bingung. Namun rasa penasaran mereka mendorong untuk terus mengga
Tok! Tok!"Kyai Ahmad!"Gugun berbisik sambil mengetuk pintu. Petani itu berusaha untuk tetap tenang. Namun, ekspresi mereka tidak bisa di bohongi. "Buruan, ayo cepat!" desak Noles—petani lainnya."Ssst, sabar sedikit," tegur Gugun, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.Petani terus mengetuk pintu itu lebih keras. Sedangkan, teman yang lainnya, melihat situasi di sekitar rumah Kyai. Mereka benar-benar tidak ingin orang mengetahui. Mereka berusaha untuk tidak membuat keributan sedikitpun. "Kalau ketahuan sama Juragan Bagas, kita habis!" bisik Sunta, matanya melirik ke arah jalan setapak."Kita nggak akan ketahuan, asal kalian jangan berisik!" sahut Gugun dengan nada kesal.Mereka kembali mengetuk pintu, kali ini lebih keras. Namun, suara itu masih belum membuat Kyai Ahmad terbangun."Eh, dia tidur pules banget, ya?" gumam Warto."Ssst! Diam! Jangan banyak omong!" perintah Gugun sambil menoleh tajam.Mereka berdiri tegang di depan pintu, berharap Kyai Ahmad segera membuka tanpa men
"Jasadnya nggak wajar!"Warga berkerumun di depan rumah Kyai Ahmad, menatap ngeri pada jasad keempat petani yang tergeletak kaku."Kyai, apa nggak mendengar sesuatu semalam?" tanya salah satu warga dengan nada cemas."Saya benar-benar nggak tahu apa-apa!" jawab Kyai, wajahnya penuh kebingungan."Tapi lihat jasad mereka, sangat mengerikan!" sahut yang lain, suaranya bergetar.Kyai Ahmad hanya bisa diam. Tidak ada jeritan, tidak ada tanda-tanda aneh semalam—semuanya terasa seperti misteri. Jenazah keempat petani itu telah dikebumikan. Awalnya, suasana desa kembali tenang, hingga malam tahlilan digelar di rumah Kyai Ahmad. Namun, ketenangan itu berubah menjadi kepanikan saat beberapa warga tiba-tiba kerasukan.Tubuh mereka bergetar hebat, suara mereka berubah, menyerupai keempat petani yang telah meninggal. Mereka berbicara dengan nada putus asa, meminta tolong."Kami terjebak di tanah! Tolong keluarkan kami!" teriak salah satu warga yang kerasukan, matanya membelalak ketakutan."Tolon
"Juragan, tolong aku!" Ruang itu terasa hampa, sepi, dan gelap. Hanya ada satu sosok di tengah kegelapan, meringkuk dan memeluk kakinya. Tubuhnya tampak kurus, namun masih terbilang muda. "Jangan ... ampun, ampuni aku!" Bagas terkejut melihat dirinya sendiri berada di tengah kegelapan itu. Ia menatap tubuhnya yang terbaring lemah, seolah terperangkap dalam ruang yang tak berujung. Tiba-tiba, bisikan itu kembali terdengar. "Bagas, kamu harus mati!" "Juragan, kamu jahat!" "Juragan, ampun!" "Tanggung jawab, Bagas!" Bisikan-bisikan itu semakin banyak dan semakin jelas. Setiap kata seperti jarum yang menusuk telinganya. Bagas berusaha berteriak, namun suara itu tidak keluar. Seperti ada kekuatan yang membuatnya bisu, terjebak dalam ruang hampa itu tanpa bisa mengungkapkan apapun. Tangan Bagas mengepal, mencoba mengeluarkan suara, mencoba berontak dari bisikan yang terus-menerus menghantuinya. Namun, ruang itu terasa semakin sempit, seperti ada sesuatu yang menekan tubuh
"Haa, dadaku sesak!"Bagas tersengal-sengal, napasnya seperti dapat dihitung dengan jari."Ada apa ini?" tanyanya, semakin panik saat dadanya terasa semakin berat.Ruangan itu semakin mengecil dan terasa sempit. Tubuh Bagas kaku, tak bisa digerakkan. Lalu, suara-suara itu kembali muncul."Bagas, kamu harus bertanggung jawab!""Juragan, kamu harus membayar ini semua!"Bisikan-bisikan itu terdengar semakin jelas. Bagas mulai menyadari, suara-suara tersebut berasal dari mereka yang pernah menjadi korbannya.Namun, dengan keangkuhan dan keras kepala, Bagas malah membalas dengan suara lantang."Aku nggak peduli sama kalian! Yang penting aku kaya!"Ruangan itu semakin mencekik, seolah menuntut keadilan. Udara menjadi dingin, membuat napas Bagas makin berat. Suara-suara itu tak berhenti, kini terdengar lebih nyaring, penuh amarah."Bagas, dosa-dosamu nggak akan hilang begitu aja!""Kami menderita karena kamu!"Bagas mencoba melawan rasa takut yang mulai menyelimuti dirinya. Dia menatap ke ar
"Ayo-ayo, kerja yang benar! Mau dapat gaji nggak kalian?!" Bagas berteriak kepada para petani di ladangnya. Mereka semua bergegas melanjutkan pekerjaan mereka. Meskipun begitu, bisikan tentang sikap Bagas masih menjadi buah bibir di antara mereka.Beberapa petani mulai bergosip saat Bagas mulai tak terlihat lagi di ladang."Kalian sadar nggak sih? Beberapa bulan ini Juragan itu selalu pakai jaket, bahkan di cuaca yang panas sekalipun?" salah seorang petani berkata, melirik temannya dengan heran.Mereka semakin seru membicarakan Bagas. Tanpa memandang dan mengetahui Ratih mendengar semua itu."Aku sih lihat, cuma malas mau tahu. Takut!" jawab petani lainnya sambil menggelengkan kepala."Tapi bener juga, sih! Kadang aku lihat di leher Juragan itu kayak ada bulu gitu!" ujar petani yang lain dengan ekspresi bingung."Ah, kamu ini, kalau soal bulu, ya semua orang juga ada bulu!" sahut petani pertama, sedikit tertawa."Bukan, ini bulunya lebih pekat dan hitam. Apa kalian juga nggak merasa
"Siapa di sana?!" Teriakan Ratih menggema sambil menatap tajam ke arah ujung rumah kontrakannya. Namun, yang dilihatnya hanya jendela yang terbuka, menimbulkan suara berderit pelan."Huff! Mungkin ini cuma perasaan aku aja," gumamnya, mencoba menenangkan diri sambil mengelus dadanya dan mengusap wajah.Meski sudah pindah dari rumah mewahnya dan meninggalkan Bagas, gangguan itu tidak berhenti. Malah semakin parah. Malam-malam Ratih sering diisi dengan mimpi buruk yang terasa begitu nyata. Dalam mimpinya, Genderuwo itu selalu hadir menatap Ratih seperti ingin mencabik-cabik nya.Di satu mimpi, Ratih terjebak di ruangan gelap tanpa pintu. Suara tawa serak memenuhi ruang itu. Genderuwo muncul dari kegelapan, berjalan perlahan, menghentakkan kakinya hingga tanah bergetar. Ratih ingin lari, tapi tubuhnya kaku."Ratih ... kamu tidak bisa lari dariku," suara itu bergema, membuat Ratih menangis dalam mimpi.Dia terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuh penuh keringat dingin. Ratih memel
"Kamu itu bukan anakku!" Suara Ratih melengking, dipenuhi amarah dan ketakutan. Napasnya memburu saat menatap kedua anaknya yang berdiri di samping ranjang dengan tatapan kosong. Tubuh mereka kecil, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka—sesuatu yang membuat Ratih semakin muak. Siapa yang ingin memiliki anak dengan wujud seperti setan? Anak-anak yang selama ini menghantui hidupnya? "Kalian lihat apa?! Jangan harap aku akan menyusui kalian lagi!" Ratih meluapkan kekesalannya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kepanikan. Namun, kemarahan itu tak berhenti hanya dengan kata-kata. Ratih mulai kehilangan kendali. Dalam kepanikan yang membutakannya, tangannya terangkat—dan tanpa ragu, dia mencengkram Jagat dan Kala dengan kasar. PLAK! Tangan Ratih menampar tubuh kecil mereka. Jagat dan Kala menangis keras, suara mereka melengking memenuhi kamar. Bagas yang tengah berbaring di ruang tamu sontak terbangun. Jantungnya berdebar ketika mendengar suara tangisan anak-anakn
"Ngapain kamu ke sini, Mas?"Langkah Bagas terhenti ketika Ratih melihatnya berada di rumah kontrakannya. Tanpa berkata apa pun, Bagas hanya menatap dua anak kembarnya."Apa kamu sudah menemukan nama untuk anak kembar kita?" tanya Bagas.Ratih mengerutkan dahi. "Anak kita? Jelas-jelas mereka bukan seperti manusia, Mas!""Ratih, sudahlah, cukup! Mau ini anakku atau bukan, aku tetap akan menganggap mereka anakku! Karena aku tahu ini adalah kesalahanku!" jawab Bagas dengan tegas.Ratih terdiam. Hatinya belum bisa menerima keberadaan anak kembar mereka, terlebih lagi anak laki-laki itu."Terserah. Mau kasih nama apa, aku nggak peduli!" sahut Ratih sambil mengalihkan pandangannya.Bagas hanya bisa diam. Dia tahu benar perasaan istrinya yang masih belum bisa menerima anak-anak mereka."Jagat Mayar, untuk anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, aku beri nama Kala Sundari," ucap Bagas sambil tersenyum memandang kedua anaknya.Ratih masih memalingkan wajahnya. Namun, dalam hatinya perlahan m
"Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul
"Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar
"Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l
"Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber
Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang
Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit
"Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya