Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 93. Teror Alam Mimpi

Share

93. Teror Alam Mimpi

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2024-12-13 02:29:30

"Haa, dadaku sesak!"

Bagas tersengal-sengal, napasnya seperti dapat dihitung dengan jari.

"Ada apa ini?" tanyanya, semakin panik saat dadanya terasa semakin berat.

Ruangan itu semakin mengecil dan terasa sempit. Tubuh Bagas kaku, tak bisa digerakkan. Lalu, suara-suara itu kembali muncul.

"Bagas, kamu harus bertanggung jawab!"

"Juragan, kamu harus membayar ini semua!"

Bisikan-bisikan itu terdengar semakin jelas. Bagas mulai menyadari, suara-suara tersebut berasal dari mereka yang pernah menjadi korbannya.

Namun, dengan keangkuhan dan keras kepala, Bagas malah membalas dengan suara lantang.

"Aku nggak peduli sama kalian! Yang penting aku kaya!"

Ruangan itu semakin mencekik, seolah menuntut keadilan. Udara menjadi dingin, membuat napas Bagas makin berat. Suara-suara itu tak berhenti, kini terdengar lebih nyaring, penuh amarah.

"Bagas, dosa-dosamu nggak akan hilang begitu aja!"

"Kami menderita karena kamu!"

Bagas mencoba melawan rasa takut yang mulai menyelimuti dirinya. Dia menatap ke ar
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   94. Kepergian Ratih

    "Ayo-ayo, kerja yang benar! Mau dapat gaji nggak kalian?!" Bagas berteriak kepada para petani di ladangnya. Mereka semua bergegas melanjutkan pekerjaan mereka. Meskipun begitu, bisikan tentang sikap Bagas masih menjadi buah bibir di antara mereka.Beberapa petani mulai bergosip saat Bagas mulai tak terlihat lagi di ladang."Kalian sadar nggak sih? Beberapa bulan ini Juragan itu selalu pakai jaket, bahkan di cuaca yang panas sekalipun?" salah seorang petani berkata, melirik temannya dengan heran.Mereka semakin seru membicarakan Bagas. Tanpa memandang dan mengetahui Ratih mendengar semua itu."Aku sih lihat, cuma malas mau tahu. Takut!" jawab petani lainnya sambil menggelengkan kepala."Tapi bener juga, sih! Kadang aku lihat di leher Juragan itu kayak ada bulu gitu!" ujar petani yang lain dengan ekspresi bingung."Ah, kamu ini, kalau soal bulu, ya semua orang juga ada bulu!" sahut petani pertama, sedikit tertawa."Bukan, ini bulunya lebih pekat dan hitam. Apa kalian juga nggak merasa

    Last Updated : 2024-12-13
  • Pesugihan Genderuwo   95. Teror

    "Siapa di sana?!" Teriakan Ratih menggema sambil menatap tajam ke arah ujung rumah kontrakannya. Namun, yang dilihatnya hanya jendela yang terbuka, menimbulkan suara berderit pelan."Huff! Mungkin ini cuma perasaan aku aja," gumamnya, mencoba menenangkan diri sambil mengelus dadanya dan mengusap wajah.Meski sudah pindah dari rumah mewahnya dan meninggalkan Bagas, gangguan itu tidak berhenti. Malah semakin parah. Malam-malam Ratih sering diisi dengan mimpi buruk yang terasa begitu nyata. Dalam mimpinya, Genderuwo itu selalu hadir menatap Ratih seperti ingin mencabik-cabik nya.Di satu mimpi, Ratih terjebak di ruangan gelap tanpa pintu. Suara tawa serak memenuhi ruang itu. Genderuwo muncul dari kegelapan, berjalan perlahan, menghentakkan kakinya hingga tanah bergetar. Ratih ingin lari, tapi tubuhnya kaku."Ratih ... kamu tidak bisa lari dariku," suara itu bergema, membuat Ratih menangis dalam mimpi.Dia terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuh penuh keringat dingin. Ratih memel

    Last Updated : 2024-12-13
  • Pesugihan Genderuwo   96. Fakta mencengangkan

    "Nggak ... Itu nggak mungkin! Jadi selama ini dia menginginkan anak dari aku Kyai?" tanya Ratih agar memperjelas semuanya."Iya, kamu lupa ya! Kalau Bagas pernah berbicara hal itu?" Kyai berusaha membuat Ratih mengingat semuanya."Nggak, Kyai. Aku hanya ingat dia bilang mau memberikan aku sebagai persyaratan—" ucapan itu terpotong ketika Ratih mengingat maksud dari kata persyaratan. "Astaga, Kyai! Aku baru sadar sekarang! Ini ... Ini buat aku mengingat memori ketika—" Ratih tidak melanjutkan ucapannya. Badannya semakin gemetar. Setiap memori itu teringat di kepalanya. Ratih meremas tangannya sendiri, gemetar hebat. Matanya berkaca-kaca, menatap Kyai Ahmad dengan penuh ketakutan. "Jadi... jadi itu sebabnya? Itu sebabnya Genderuwo itu terus datang menghantui aku? Karena... aku bagian dari perjanjiannya?" suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Kyai Ahmad mengangguk pelan, mencoba tetap tenang meskipun hatinya ikut berguncang melihat Ratih yang begitu ketakutan. "Iya, Nak. Ada kemungk

    Last Updated : 2024-12-13
  • Pesugihan Genderuwo   97. Damar atau Ki Praja

    "Aku nggak akan buat kamu tenang!"Bagas terlihat kesal karena ditinggalkan oleh Ratih. Hidupnya benar-benar hancur berantakan. Salah satu ketakutannya kini mulai terlihat dan terbayar."Argh! Ini seharusnya nggak terjadi!" keluhnya sambil memukul meja dengan keras.Tok! Tok!"Assalamu'alaikum, Juragan!"Terdengar suara seseorang memanggil dari luar rumah. Bagas segera membuka pintu dan melihat seorang petani berdiri di depan rumahnya."Ada apa?" tanya Bagas singkat."Ada yang ingin bertemu, Juragan," jawab petani itu dengan nada sopan."Siapa?!" Bagas menatapnya tajam."Nggak tahu, Juragan," ujar petani itu sambil menunduk sedikit."Di mana?""Ke arah ladang belakang sana, Juragan," jawab petani itu sambil menunjuk dengan sopan.Bagas mengangguk dan menutup kembali pintu rumahnya. Tanpa banyak berpikir, dia segera menuju ke ladang belakang, tempat yang belum ditanami. Ladang itu terkenal gersang bahkan tanahnya tidak bisa ditanami apapun.Saat Bagas tiba di sana, dia melihat seseoran

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Genderuwo   98. Tuntutan

    “Bu—bukan aku! Bukan—!”Bagas terbangun. Jeritannya menggema. Tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal.Mimpi buruk itu datang lagi. Wajah-wajah marah menghantuinya. Mata-mata penuh dendam terus menatapnya. Suara-suara mengutuknya tanpa henti.Bagas memegangi kepalanya. Bayangan mimpi itu sulit hilang. Setiap kali ia memejamkan mata, semuanya kembali.Langkahnya gontai menuju ladang. Tangannya gemetar menggenggam cangkul. Pikirannya kacau. Pekerjaan pun berantakan.“Juragan! Minum dulu,” panggil seorang wanita paruh baya, Ibu Petani, yang sudah lama membantu mengurus ladang Bagas.Bagas menoleh dan menerima segelas air dengan tangan yang gemetar. “Terima kasih, ini udah jam berapa?” tanyanya sambil mengelap keringat di dahinya.“Jam 16.00, Juragan,” jawab Ibu Petani sopan.Bagas menghela napas panjang. “Kasih pupuk baru yang ada di gudang,” perintahnya.Ibu Petani mengangguk dan segera menuju gudang kecil di pinggir ladang. Sementara itu, Bagas kembali melanjutkan peker

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Genderuwo   99. Bayangan Mimpi

    “Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Genderuwo   100. Bertubi-tubi

    "Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan

    Last Updated : 2024-12-15
  • Pesugihan Genderuwo   101. Aku adalah Kamu

    “Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri

    Last Updated : 2024-12-16

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   222. Anak Kembar masih terlihat Aneh

    "Kamu itu bukan anakku!" Suara Ratih melengking, dipenuhi amarah dan ketakutan. Napasnya memburu saat menatap kedua anaknya yang berdiri di samping ranjang dengan tatapan kosong. Tubuh mereka kecil, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka—sesuatu yang membuat Ratih semakin muak. Siapa yang ingin memiliki anak dengan wujud seperti setan? Anak-anak yang selama ini menghantui hidupnya? "Kalian lihat apa?! Jangan harap aku akan menyusui kalian lagi!" Ratih meluapkan kekesalannya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kepanikan. Namun, kemarahan itu tak berhenti hanya dengan kata-kata. Ratih mulai kehilangan kendali. Dalam kepanikan yang membutakannya, tangannya terangkat—dan tanpa ragu, dia mencengkram Jagat dan Kala dengan kasar. PLAK! Tangan Ratih menampar tubuh kecil mereka. Jagat dan Kala menangis keras, suara mereka melengking memenuhi kamar. Bagas yang tengah berbaring di ruang tamu sontak terbangun. Jantungnya berdebar ketika mendengar suara tangisan anak-anakn

  • Pesugihan Genderuwo   221. Jagat dan Kala

    "Ngapain kamu ke sini, Mas?"Langkah Bagas terhenti ketika Ratih melihatnya berada di rumah kontrakannya. Tanpa berkata apa pun, Bagas hanya menatap dua anak kembarnya."Apa kamu sudah menemukan nama untuk anak kembar kita?" tanya Bagas.Ratih mengerutkan dahi. "Anak kita? Jelas-jelas mereka bukan seperti manusia, Mas!""Ratih, sudahlah, cukup! Mau ini anakku atau bukan, aku tetap akan menganggap mereka anakku! Karena aku tahu ini adalah kesalahanku!" jawab Bagas dengan tegas.Ratih terdiam. Hatinya belum bisa menerima keberadaan anak kembar mereka, terlebih lagi anak laki-laki itu."Terserah. Mau kasih nama apa, aku nggak peduli!" sahut Ratih sambil mengalihkan pandangannya.Bagas hanya bisa diam. Dia tahu benar perasaan istrinya yang masih belum bisa menerima anak-anak mereka."Jagat Mayar, untuk anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, aku beri nama Kala Sundari," ucap Bagas sambil tersenyum memandang kedua anaknya.Ratih masih memalingkan wajahnya. Namun, dalam hatinya perlahan m

  • Pesugihan Genderuwo   220. Gunjingan hidup

    "Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul

  • Pesugihan Genderuwo   219. Kehidupan baru

    "Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar

  • Pesugihan Genderuwo   218. Kembar

    "Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l

  • Pesugihan Genderuwo   217. Kelahiran Mengerikan

    "Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber

  • Pesugihan Genderuwo   216. Masuk ke tubuh Ratih

    Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang

  • Pesugihan Genderuwo   215. Suara mengerikan

    Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit

  • Pesugihan Genderuwo   214. Kepala Kambing

    "Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status