Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 101. Aku adalah Kamu

Share

101. Aku adalah Kamu

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-16 09:49:25

“Panas… Panas!”

Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api.

Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.

Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan.

"Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.

Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.

“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”

Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.

“T—tunggu! Beri
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   102. Mengubur Hidup-hidup

    "Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • Pesugihan Genderuwo   103. Panen Busuk

    "Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Pesugihan Genderuwo   104. Ratih Mendatangi Bagas

    "Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Pesugihan Genderuwo   105. Berbohong

    “Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Pesugihan Genderuwo   106. Bayangan Kelam

    "Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Pesugihan Genderuwo   107. Tak Bisa Melepaskan

    Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Pesugihan Genderuwo   01. Godaan Kekayaan

    Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Genderuwo   02. Tawaran Pesugihan

    Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.Baga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   107. Tak Bisa Melepaskan

    Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,

  • Pesugihan Genderuwo   106. Bayangan Kelam

    "Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be

  • Pesugihan Genderuwo   105. Berbohong

    “Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men

  • Pesugihan Genderuwo   104. Ratih Mendatangi Bagas

    "Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola

  • Pesugihan Genderuwo   103. Panen Busuk

    "Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak

  • Pesugihan Genderuwo   102. Mengubur Hidup-hidup

    "Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu

  • Pesugihan Genderuwo   101. Aku adalah Kamu

    “Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri

  • Pesugihan Genderuwo   100. Bertubi-tubi

    "Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan

  • Pesugihan Genderuwo   99. Bayangan Mimpi

    “Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y

DMCA.com Protection Status