"Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."
Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi beBagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,
"Argh! Tidak!"Jeritan Bagas menggema di dalam kamar yang gelap. Mimpi buruknya kembali datang, bahkan kali ini terasa lebih nyata. Sosok Genderuwo itu berdiri di sana, besar dan menyeramkan, dengan sorot mata yang memancarkan kebencian. Suara geramnya menggema di kepala Bagas.“Aku akan mengambilnya, Bagas,” kata Genderuwo dengan suara berat, menjulurkan cakar ke arah Ratih yang terbaring lelap. “Dia milikku kalau kamu gagal menjaga jimat itu.”Bagas terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya langsung mencari Ratih, memastikan istrinya masih aman di sebelahnya.Ratih terbangun mendengar suara suaminya. Matanya yang masih setengah tertutup menatap Bagas dengan khawatir. “Mas, apa yang terjadi? Kamu mimpi buruk lagi?” tanyanya panik.Bagas tidak menjawab. Matanya kosong, penuh ketakutan. Tangannya gemetar saat dia menunjuk ke arah sudut kamar. “Dia bilang … dia akan mengambilmu, Ratih. Genderuwo itu. Dia bilang kamu miliknya dan aku nggak heran soal
Tok! Tok! Terdengar ketukan di pintu. Bagas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, berdiri Ratih dengan senyum lembut di wajahnya, seperti biasanya ia mampir setiap pagi. "Mas, kamu udah sarapan?" tanya Ratih lembut. "Wes, baru aja," jawab Bagas sambil mengangguk. "Tapi kenapa kamu tiap pagi selalu ke sini, Tih?" Nada suaranya terdengar heran. Ratih memandang Bagas dengan tatapan serius, sedikit aneh. "Mas, kamu itu masih suamiku. Gimana pun, ini kewajiban aku untuk memperhatikan kamu. Mulai dari makanan, pakaian, sampai yang lainnya." Bagas yang sedang sibuk membongkar barang-barangnya hanya menanggapi dengan nada datar, bahkan sedikit sinis. "Kalau memang kamu sadar itu, kenapa kamu nggak tinggal di sini aja, Tih? Bukan malah pisah rumah." Ratih terdiam sejenak, menatap Bagas dengan pandangan yang sulit ditebak. Dia menghela napas, seolah ingin menjawab, tetapi memilih untuk menahan diri. Suasana pun mendadak hening, hanya suara barang-barang Bagas yang terus ia bong
"Aku harus cari tahu sendiri di rumah Mas Bagas!" Ratih menutup pintu rumah kontrakannya dengan tekad bulat. Malam itu, bulan redup tertutup awan, dan angin kecil menghantam wajahnya saat dia berjalan melewati pohon-pohon yang rimbun di sepanjang jalan menuju rumah suaminya. "Hmm, aku punya firasat buruk dengan adanya angin ini," gumam Ratih sambil mempercepat langkahnya. Jalanan gelap itu hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil di beberapa rumah warga. Ratih melintasi beberapa rumah dan ladang milik Bagas. Semakin dekat dengan rumah suaminya, suasana semakin sunyi. Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul seseorang yang membuatnya terlonjak kaget. "Eh, maaf, Juragan Ratih! Saya mengagetkan ya!" Pekerja ladang milik Bagas muncul dengan wajah penuh rasa bersalah. "Astaga, Pak! Jantung saya mau copot rasanya! Bapak ngapain malam-malam begini di situ?!" tanya Ratih dengan suara tertahan. "Ini, saya lagi nyari tanaman buat makan, Juragan," ujarnya lesu, sambil menunjukkan beberapa
Wajah Bagas berubah muram, penuh amarah yang ditahan. "Kyai... Kyai... Itu lagi yang kamu sebutkan! Udah berapa kali aku bilang, jangan bawa-bawa dia dalam urusan ini! Aku bisa menyelesaikan ini sendiri!" "Nggak, Mas! Kamu nggak bisa sendiri! Mana buktinya? Apa perubahannya dari ucapanmu itu? Nggak ada, kan? Kamu masih terus terjebak di sini, di kegelapan itu! Setiap orang yang tersesat dalam dunia gaib harus ada yang membimbing, Mas!" Ratih membalas dengan suara yang meninggi, matanya berkaca-kaca, tapi keberaniannya tidak goyah. Bagas mengepalkan tangan, wajahnya semakin tegang. "Ratih, aku udah bilang, ini bukan urusanmu. Kalau kamu terus seperti ini, kamu hanya akan memperburuk semuanya!" "Tidak, Mas. Aku nggak akan diam! Kalau kamu nggak mau keluar dari ini semua, aku akan minta bantuan sendiri dengan Kyai. Aku nggak peduli kalau kamu marah!" Ratih kini berdiri menantang, air mata mengalir di pipinya, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Bagas menatap Ratih dengan mata penuh kebing
Keesokan harinya, Ratih mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang Bagas. Saat sarapan, dia memulai dengan nada santai."Mas, kamu tahu nggak ada pintu terkunci di ruangan kerjamu?" tanya Ratih sambil menyeduhkan tehnya.Bagas menghentikan gerakannya, sendok terhenti di udara."Kenapa kamu ke ruangan kerjaku?" tanyanya dengan nada tinggi.Ratih berpura-pura santai. "Aku cuma iseng lihat-lihat. Pintu itu bikin aku penasaran. Mas tau apa isinya?"Bagas berusaha menenangkan diri. "Itu cuma tempat aku menyimpan barang-barang pribadi. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.""Tapi kenapa harus dikunci rapat?" desak Ratih dengan senyum kecil."Ratih, aku sudah bilang, jangan ganggu urusanku," kata Bagas dengan nada tegas. Dia berdiri dari kursinya, meninggalkan sarapan yang belum selesai.Ratih menatap kepergiannya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, semakin Bagas menghindar, semakin besar kemungkinan bahwa jimat itu memang ada di balik pintu terkunci.'Mas, kamu nggak bisa menyembunyikann
Ketika Bagas pulang malam itu, Ratih sudah menunggunya di ruang tamu dengan jimat di tangannya. Begitu melihat benda itu, wajah Bagas berubah pucat."Ratih, apa yang kamu lakukan?" tanyanya tajam, suaranya bercampur antara marah dan panik.Ratih berdiri tegak, menggenggam jimat erat di tangannya. "Ini yang kamu sembunyikan, kan? Jimat ini sumber semua masalah kita, Mas."Bagas melangkah cepat, mencoba merebut jimat itu, tetapi Ratih menghindar. "Kembalikan itu, Ratih! Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan!"Ratih menatapnya dengan mata yang penuh emosi. "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Benda ini bukan memberikan, Mas. Ini kutukan! Kalau kita nggak menghancurkannya, hidup kita akan terus dihantui!"Bagas menghela napas, wajahnya terlihat putus asa. "Ratih, kalau jimat ini dihancurkan, semua yang kita miliki akan hilang. Rumah ini, usaha kita, semuanya!""Apa gunanya semua itu kalau kita kehilangan harga diri, Mas?" seru Ratih dengan suara bergetar. "Kekayaan nggak ada artiny
"Pak Kyai, saya sudah tahu di mana jimat itu disembunyikan," ujar Ratih dengan suara tegas, meskipun kecemasan masih menggelayuti hatinya. "Dimana kamu menemukannya, Nak Ratih?" tanya Kyai, wajahnya penuh perhatian. "Mas Bagas sudah membohongi kita, Kyai! Waktu kita berusaha membantu dan mencari jimat itu—ternyata Mas Bagas sudah menyembunyikannya. Jimat itu ada padanya! Tapi dia malah menggiring kita ke hutan belakang yang jauh dari desa!" jelas Ratih, suaranya dipenuhi kekecewaan. "Astagfirullah, Nak Bagas!" seru Kyai dengan terkejut, sambil memegangi dadanya. "Pantas saja dia kekeh untuk tidak bertemu dengan saya lagi. Perasaan saya selama ini benar." Ratih kemudian menunjukkan sebuah benda yang di duganya juga jimat Bagas. Kyai langsung memegang jimat itu. "Ini jimat yang ketiga! Ada jimat yang utama masih sama dia! Semoga dia belum memakannya!" seru Kyai. Ratih melongok dengan ucapan Kyai yang seperti berbisik itu. Ratih kemudian, mengubah ekspresinya dengan keyakinan. "
"Udahlah, Fer! Kasihan dia!" kata Umar, teman Feri, dengan nada tegas.Umar berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan. Di balik punggungnya, Feri yang masih diliputi ketakutan segera bersembunyi, hanya menampakkan separuh wajahnya."Ada apa, Mas?" tanya Umar dengan nada datar, menghadapi Bagas yang berdiri dengan ekspresi cemas dan gelisah."Ada Kyai? Saya harus bicara dengan Kyai Ahmad," ucap Bagas buru-buru, nada suaranya mendesak.Umar menghela napas. "Abah sedang nggak di tempat, Mas."Bagas terdiam sesaat, pandangannya menelisik wajah Umar, mencoba membaca kejujurannya. "Kapan beliau kembali?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih terkontrol, meskipun ketegangan masih terasa.Umar menatap Bagas dengan tenang, tetapi perhatiannya terganggu oleh gerakan kecil di belakangnya. Feri, yang bersembunyi dengan gelisah, tampak mencoba menghindari kontak mata dengan Bagas. Umar segera melangkah ke depan, menutupi tubuh Feri sepenuhnya dengan postur tubuhnya yang lebih besar.
"Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s
"Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,
"Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.
"Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel
"Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.
"Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan
"Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p
"Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb