"Aku harus cari tahu sendiri di rumah Mas Bagas!" Ratih menutup pintu rumah kontrakannya dengan tekad bulat. Malam itu, bulan redup tertutup awan, dan angin kecil menghantam wajahnya saat dia berjalan melewati pohon-pohon yang rimbun di sepanjang jalan menuju rumah suaminya. "Hmm, aku punya firasat buruk dengan adanya angin ini," gumam Ratih sambil mempercepat langkahnya. Jalanan gelap itu hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil di beberapa rumah warga. Ratih melintasi beberapa rumah dan ladang milik Bagas. Semakin dekat dengan rumah suaminya, suasana semakin sunyi. Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul seseorang yang membuatnya terlonjak kaget. "Eh, maaf, Juragan Ratih! Saya mengagetkan ya!" Pekerja ladang milik Bagas muncul dengan wajah penuh rasa bersalah. "Astaga, Pak! Jantung saya mau copot rasanya! Bapak ngapain malam-malam begini di situ?!" tanya Ratih dengan suara tertahan. "Ini, saya lagi nyari tanaman buat makan, Juragan," ujarnya lesu, sambil menunjukkan beberapa
Wajah Bagas berubah muram, penuh amarah yang ditahan. "Kyai... Kyai... Itu lagi yang kamu sebutkan! Udah berapa kali aku bilang, jangan bawa-bawa dia dalam urusan ini! Aku bisa menyelesaikan ini sendiri!" "Nggak, Mas! Kamu nggak bisa sendiri! Mana buktinya? Apa perubahannya dari ucapanmu itu? Nggak ada, kan? Kamu masih terus terjebak di sini, di kegelapan itu! Setiap orang yang tersesat dalam dunia gaib harus ada yang membimbing, Mas!" Ratih membalas dengan suara yang meninggi, matanya berkaca-kaca, tapi keberaniannya tidak goyah. Bagas mengepalkan tangan, wajahnya semakin tegang. "Ratih, aku udah bilang, ini bukan urusanmu. Kalau kamu terus seperti ini, kamu hanya akan memperburuk semuanya!" "Tidak, Mas. Aku nggak akan diam! Kalau kamu nggak mau keluar dari ini semua, aku akan minta bantuan sendiri dengan Kyai. Aku nggak peduli kalau kamu marah!" Ratih kini berdiri menantang, air mata mengalir di pipinya, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Bagas menatap Ratih dengan mata penuh kebing
Keesokan harinya, Ratih mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang Bagas. Saat sarapan, dia memulai dengan nada santai."Mas, kamu tahu nggak ada pintu terkunci di ruangan kerjamu?" tanya Ratih sambil menyeduhkan tehnya.Bagas menghentikan gerakannya, sendok terhenti di udara."Kenapa kamu ke ruangan kerjaku?" tanyanya dengan nada tinggi.Ratih berpura-pura santai. "Aku cuma iseng lihat-lihat. Pintu itu bikin aku penasaran. Mas tau apa isinya?"Bagas berusaha menenangkan diri. "Itu cuma tempat aku menyimpan barang-barang pribadi. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.""Tapi kenapa harus dikunci rapat?" desak Ratih dengan senyum kecil."Ratih, aku sudah bilang, jangan ganggu urusanku," kata Bagas dengan nada tegas. Dia berdiri dari kursinya, meninggalkan sarapan yang belum selesai.Ratih menatap kepergiannya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, semakin Bagas menghindar, semakin besar kemungkinan bahwa jimat itu memang ada di balik pintu terkunci.'Mas, kamu nggak bisa menyembunyikann
Ketika Bagas pulang malam itu, Ratih sudah menunggunya di ruang tamu dengan jimat di tangannya. Begitu melihat benda itu, wajah Bagas berubah pucat."Ratih, apa yang kamu lakukan?" tanyanya tajam, suaranya bercampur antara marah dan panik.Ratih berdiri tegak, menggenggam jimat erat di tangannya. "Ini yang kamu sembunyikan, kan? Jimat ini sumber semua masalah kita, Mas."Bagas melangkah cepat, mencoba merebut jimat itu, tetapi Ratih menghindar. "Kembalikan itu, Ratih! Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan!"Ratih menatapnya dengan mata yang penuh emosi. "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Benda ini bukan memberikan, Mas. Ini kutukan! Kalau kita nggak menghancurkannya, hidup kita akan terus dihantui!"Bagas menghela napas, wajahnya terlihat putus asa. "Ratih, kalau jimat ini dihancurkan, semua yang kita miliki akan hilang. Rumah ini, usaha kita, semuanya!""Apa gunanya semua itu kalau kita kehilangan harga diri, Mas?" seru Ratih dengan suara bergetar. "Kekayaan nggak ada artiny
"Pak Kyai, saya sudah tahu di mana jimat itu disembunyikan," ujar Ratih dengan suara tegas, meskipun kecemasan masih menggelayuti hatinya. "Dimana kamu menemukannya, Nak Ratih?" tanya Kyai, wajahnya penuh perhatian. "Mas Bagas sudah membohongi kita, Kyai! Waktu kita berusaha membantu dan mencari jimat itu—ternyata Mas Bagas sudah menyembunyikannya. Jimat itu ada padanya! Tapi dia malah menggiring kita ke hutan belakang yang jauh dari desa!" jelas Ratih, suaranya dipenuhi kekecewaan. "Astagfirullah, Nak Bagas!" seru Kyai dengan terkejut, sambil memegangi dadanya. "Pantas saja dia kekeh untuk tidak bertemu dengan saya lagi. Perasaan saya selama ini benar." Ratih kemudian menunjukkan sebuah benda yang di duganya juga jimat Bagas. Kyai langsung memegang jimat itu. "Ini jimat yang ketiga! Ada jimat yang utama masih sama dia! Semoga dia belum memakannya!" seru Kyai. Ratih melongok dengan ucapan Kyai yang seperti berbisik itu. Ratih kemudian, mengubah ekspresinya dengan keyakinan. "
"Ketika kamu merasa takut, ingatlah bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa. Jangan biarkan Genderuwo menguasai pikiranmu," pesan Kyai Ahmad sebelum Ratih pulang.Ratih mencoba menenangkan hatinya, meskipun gelombang ketakutan terus datang menghantam. Ini bukan hanya pertarungan melawan makhluk gaib, tetapi juga melawan rasa takut dan keraguan dalam dirinya. Perlawanan kali ini, ia tahu, akan jauh lebih berat dibanding sebelumnya.Setelah berjam-jam berdoa dan mempersiapkan diri, Kyai Ahmad memberikan sebuah botol kecil berisi minyak wangi yang sudah diruqyah."Gunakan ini dengan bijak, Ratih. Dan jangan lupa, setiap langkah yang kamu ambil harus dimulai dengan doa," kata Kyai Ahmad sambil menyerahkan botol itu.Ratih menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak Kyai. Saya akan berusaha sekuat tenaga.”Kyai Ahmad tersenyum lembut, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. "Allah bersamamu, Nak. Jangan lupa, ajak Bagas untuk berjuang bersamamu. Dia juga harus menghadapi i
“Ratih, apakah kamu benar-benar yakin ingin melanjutkan ini?” Kyai Ahmad bertanya dengan nada tegas, memecah keheningan. Ratih mengangguk mantap. “Pak Kyai, aku nggak punya pilihan lain. Kehidupanku sudah sangat sengsara dengan makhluk ini. Meski aku tahu ini semua terjadi karena perbuatan suamiku sendiri, aku tetap yakin untuk melanjutkannya!” ucapnya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Mata Kyai Ahmad yang tajam menelusuri wajah Ratih, mencari keraguan, tetapi tidak menemukannya. Gadis itu telah melalui banyak hal, dan sorot matanya menunjukkan keberanian yang lahir dari keputusasaan. Kyai menarik napas panjang, lalu berkata, “Baik. Kalau begitu, kita harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin. Ritual ini tidak mudah dan akan menguras tenaga, baik secara fisik maupun spiritual. Genderuwo akan berusaha mempertahankan ikatan ini dengan segala cara.” Ratih menggenggam kedua tangannya di atas pangkuannya, mencoba menguatkan dirinya. “Apa yang harus aku lakukan,
Dia menghela napas panjang, lalu menenangkan pikirannya. ‘Aku harus memutuskan ini semua. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Mas Bagas boleh aja menyerah, tapi aku nggak!’ pikirnya tegas. Hari itu berlalu dengan penuh aktivitas. Murid-murid Kyai Ahmad membersihkan aula belakang pesantren, mengatur meja, dan menyiapkan segala bahan yang diperlukan untuk ritual. Ruangan itu mulai terasa berbeda, penuh dengan aura ketenangan dan kekhusyukan. Sementara itu, Kyai Ahmad meluangkan waktu untuk membimbing Ratih secara pribadi. Dia mengajari Ratih cara membaca doa pelindung dengan intonasi yang benar dan membantu memperkuat keyakinannya melalui zikir dan shalat. “Nak Ratih, ingatlah bahwa Genderuwo akan semakin marah dan berusaha mengintimidasi kita. Tapi jangan pernah berhenti membaca doa ini, apa pun yang terjadi,” pesan Kyai Ahmad. Ratih mencoba menguatkan dirinya. "Aku tau Kyai. Aku udah siap apapun hasil dan gangguannya!" Malam sebelum ritual, Ratih duduk di depan Kyai
"Bajingan! dasar Bagas bodoh!" Ki Praja duduk bersila di dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin. Di hadapannya, sebuah kendi tanah liat berisi cairan hitam berkilau. Dia menggumamkan mantra pelan, matanya terpejam, wajahnya penuh konsentrasi. Tiba-tiba, bayangan samar muncul di permukaan cairan kendi itu—bayangan Ratih sedang menggenggam jimat utama yang baru saja ditemukan."Dasar Bagas, goblok! Udah aku katakan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Seketika, napas Ki Praja berubah menjadi berat. Matanya terbuka lebar dengan sorot penuh kemarahan. Dia menatap kendi itu dengan tatapan yang tajam, tubuhnya bergetar menahan amarah.“Dasar perempuan licik! Bagaimana bisa dia menemukan jimat itu?!” desis Ki Praja dengan suara rendah namun penuh dendam.Dia meraih tongkat kayu di sampingnya dan memukul meja kayu di depannya dengan keras. "Bajingan! Bagas bodoh! Sudah aku peringatkan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Suara meja yang terbelah menjadi du
Tiba-tiba cahaya terang muncul di sekeliling Ratih. Genderuwo itu menjerit keras, tubuhnya perlahan memudar hingga menghilang dari pandangan. Ratih terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Dia memeluk jimat itu erat, air mata mengalir di pipinya. “Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku kalah,” bisiknya dengan suara parau, sebelum semuanya kembali sunyi. Saat itu, Ratih terbangun dengan napas tersengal. Pandangannya mulai kembali terang, ruangan yang sebelumnya terasa seperti mimpi buruk kini terlihat nyata di hadapannya. Jemarinya masih menggenggam erat jimat yang baru saja diambil. “Aku harus segera pergi dari sini! Sebelum Mas Bagas pulang!” gumamnya dengan nada panik. Ratih berdiri dengan tubuh yang masih lemas. Dia memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya. Dengan langkah cepat, dia keluar dari ruangan rahasia itu, namun perasaannya masih dipenuhi kecemasan. Setiap suara kecil membuatnya melonjak kaget, takut kalau Bagas sudah pulang atau ada yang memergoki
“Nak Ratih, sudah siap?” Kyai Ahmad sambil menatap Ratih dengan serius. Ratih mengangguk, meskipun tangannya gemetar. “Insya Allah, Pak Kyai. Saya sudah membaca doa pelindung sepanjang malam. Saya harus siap.” Kyai Ahmad memberikan senyuman kecil untuk menyemangatinya. “Ingat, fokus pada Allah. Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu.” Murid-murid Kyai Ahmad yang berada di ruangan itu juga menatap Ratih dengan penuh dukungan. Salah satu dari mereka, Feri , berkata, “Kami akan menjaga ruang ini dengan zikir dan doa. Bu Ratih tidak sendiri!" “Terima kasih. Aku nggak bisa membiarkan Genderuwo terus menguasai hidup kami,” jawab Ratih dengan nada tegas. Ruang ritual di belakang aula telah disiapkan dengan hati-hati. Di tengah ruangan, terdapat meja kecil yang dikelilingi lilin-lilin besar. Sebuah mangkuk tembaga berisi air ruqyah ditempatkan di atas meja, sementara di sekitarnya terdapat garam yang telah didoakan, kain putih, dan minya
Dia menghela napas panjang, lalu menenangkan pikirannya. ‘Aku harus memutuskan ini semua. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Mas Bagas boleh aja menyerah, tapi aku nggak!’ pikirnya tegas. Hari itu berlalu dengan penuh aktivitas. Murid-murid Kyai Ahmad membersihkan aula belakang pesantren, mengatur meja, dan menyiapkan segala bahan yang diperlukan untuk ritual. Ruangan itu mulai terasa berbeda, penuh dengan aura ketenangan dan kekhusyukan. Sementara itu, Kyai Ahmad meluangkan waktu untuk membimbing Ratih secara pribadi. Dia mengajari Ratih cara membaca doa pelindung dengan intonasi yang benar dan membantu memperkuat keyakinannya melalui zikir dan shalat. “Nak Ratih, ingatlah bahwa Genderuwo akan semakin marah dan berusaha mengintimidasi kita. Tapi jangan pernah berhenti membaca doa ini, apa pun yang terjadi,” pesan Kyai Ahmad. Ratih mencoba menguatkan dirinya. "Aku tau Kyai. Aku udah siap apapun hasil dan gangguannya!" Malam sebelum ritual, Ratih duduk di depan Kyai
“Ratih, apakah kamu benar-benar yakin ingin melanjutkan ini?” Kyai Ahmad bertanya dengan nada tegas, memecah keheningan. Ratih mengangguk mantap. “Pak Kyai, aku nggak punya pilihan lain. Kehidupanku sudah sangat sengsara dengan makhluk ini. Meski aku tahu ini semua terjadi karena perbuatan suamiku sendiri, aku tetap yakin untuk melanjutkannya!” ucapnya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Mata Kyai Ahmad yang tajam menelusuri wajah Ratih, mencari keraguan, tetapi tidak menemukannya. Gadis itu telah melalui banyak hal, dan sorot matanya menunjukkan keberanian yang lahir dari keputusasaan. Kyai menarik napas panjang, lalu berkata, “Baik. Kalau begitu, kita harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin. Ritual ini tidak mudah dan akan menguras tenaga, baik secara fisik maupun spiritual. Genderuwo akan berusaha mempertahankan ikatan ini dengan segala cara.” Ratih menggenggam kedua tangannya di atas pangkuannya, mencoba menguatkan dirinya. “Apa yang harus aku lakukan,
"Ketika kamu merasa takut, ingatlah bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa. Jangan biarkan Genderuwo menguasai pikiranmu," pesan Kyai Ahmad sebelum Ratih pulang.Ratih mencoba menenangkan hatinya, meskipun gelombang ketakutan terus datang menghantam. Ini bukan hanya pertarungan melawan makhluk gaib, tetapi juga melawan rasa takut dan keraguan dalam dirinya. Perlawanan kali ini, ia tahu, akan jauh lebih berat dibanding sebelumnya.Setelah berjam-jam berdoa dan mempersiapkan diri, Kyai Ahmad memberikan sebuah botol kecil berisi minyak wangi yang sudah diruqyah."Gunakan ini dengan bijak, Ratih. Dan jangan lupa, setiap langkah yang kamu ambil harus dimulai dengan doa," kata Kyai Ahmad sambil menyerahkan botol itu.Ratih menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak Kyai. Saya akan berusaha sekuat tenaga.”Kyai Ahmad tersenyum lembut, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. "Allah bersamamu, Nak. Jangan lupa, ajak Bagas untuk berjuang bersamamu. Dia juga harus menghadapi i
"Pak Kyai, saya sudah tahu di mana jimat itu disembunyikan," ujar Ratih dengan suara tegas, meskipun kecemasan masih menggelayuti hatinya. "Dimana kamu menemukannya, Nak Ratih?" tanya Kyai, wajahnya penuh perhatian. "Mas Bagas sudah membohongi kita, Kyai! Waktu kita berusaha membantu dan mencari jimat itu—ternyata Mas Bagas sudah menyembunyikannya. Jimat itu ada padanya! Tapi dia malah menggiring kita ke hutan belakang yang jauh dari desa!" jelas Ratih, suaranya dipenuhi kekecewaan. "Astagfirullah, Nak Bagas!" seru Kyai dengan terkejut, sambil memegangi dadanya. "Pantas saja dia kekeh untuk tidak bertemu dengan saya lagi. Perasaan saya selama ini benar." Ratih kemudian menunjukkan sebuah benda yang di duganya juga jimat Bagas. Kyai langsung memegang jimat itu. "Ini jimat yang ketiga! Ada jimat yang utama masih sama dia! Semoga dia belum memakannya!" seru Kyai. Ratih melongok dengan ucapan Kyai yang seperti berbisik itu. Ratih kemudian, mengubah ekspresinya dengan keyakinan. "
Ketika Bagas pulang malam itu, Ratih sudah menunggunya di ruang tamu dengan jimat di tangannya. Begitu melihat benda itu, wajah Bagas berubah pucat."Ratih, apa yang kamu lakukan?" tanyanya tajam, suaranya bercampur antara marah dan panik.Ratih berdiri tegak, menggenggam jimat erat di tangannya. "Ini yang kamu sembunyikan, kan? Jimat ini sumber semua masalah kita, Mas."Bagas melangkah cepat, mencoba merebut jimat itu, tetapi Ratih menghindar. "Kembalikan itu, Ratih! Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan!"Ratih menatapnya dengan mata yang penuh emosi. "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Benda ini bukan memberikan, Mas. Ini kutukan! Kalau kita nggak menghancurkannya, hidup kita akan terus dihantui!"Bagas menghela napas, wajahnya terlihat putus asa. "Ratih, kalau jimat ini dihancurkan, semua yang kita miliki akan hilang. Rumah ini, usaha kita, semuanya!""Apa gunanya semua itu kalau kita kehilangan harga diri, Mas?" seru Ratih dengan suara bergetar. "Kekayaan nggak ada artiny
Keesokan harinya, Ratih mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang Bagas. Saat sarapan, dia memulai dengan nada santai."Mas, kamu tahu nggak ada pintu terkunci di ruangan kerjamu?" tanya Ratih sambil menyeduhkan tehnya.Bagas menghentikan gerakannya, sendok terhenti di udara."Kenapa kamu ke ruangan kerjaku?" tanyanya dengan nada tinggi.Ratih berpura-pura santai. "Aku cuma iseng lihat-lihat. Pintu itu bikin aku penasaran. Mas tau apa isinya?"Bagas berusaha menenangkan diri. "Itu cuma tempat aku menyimpan barang-barang pribadi. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.""Tapi kenapa harus dikunci rapat?" desak Ratih dengan senyum kecil."Ratih, aku sudah bilang, jangan ganggu urusanku," kata Bagas dengan nada tegas. Dia berdiri dari kursinya, meninggalkan sarapan yang belum selesai.Ratih menatap kepergiannya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, semakin Bagas menghindar, semakin besar kemungkinan bahwa jimat itu memang ada di balik pintu terkunci.'Mas, kamu nggak bisa menyembunyikann