“Nak Ratih, sudah siap?” Kyai Ahmad sambil menatap Ratih dengan serius. Ratih mengangguk, meskipun tangannya gemetar. “Insya Allah, Pak Kyai. Saya sudah membaca doa pelindung sepanjang malam. Saya harus siap.” Kyai Ahmad memberikan senyuman kecil untuk menyemangatinya. “Ingat, fokus pada Allah. Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu.” Murid-murid Kyai Ahmad yang berada di ruangan itu juga menatap Ratih dengan penuh dukungan. Salah satu dari mereka, Feri , berkata, “Kami akan menjaga ruang ini dengan zikir dan doa. Bu Ratih tidak sendiri!" “Terima kasih. Aku nggak bisa membiarkan Genderuwo terus menguasai hidup kami,” jawab Ratih dengan nada tegas. Ruang ritual di belakang aula telah disiapkan dengan hati-hati. Di tengah ruangan, terdapat meja kecil yang dikelilingi lilin-lilin besar. Sebuah mangkuk tembaga berisi air ruqyah ditempatkan di atas meja, sementara di sekitarnya terdapat garam yang telah didoakan, kain putih, dan minya
Tiba-tiba cahaya terang muncul di sekeliling Ratih. Genderuwo itu menjerit keras, tubuhnya perlahan memudar hingga menghilang dari pandangan. Ratih terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Dia memeluk jimat itu erat, air mata mengalir di pipinya. “Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku kalah,” bisiknya dengan suara parau, sebelum semuanya kembali sunyi. Saat itu, Ratih terbangun dengan napas tersengal. Pandangannya mulai kembali terang, ruangan yang sebelumnya terasa seperti mimpi buruk kini terlihat nyata di hadapannya. Jemarinya masih menggenggam erat jimat yang baru saja diambil. “Aku harus segera pergi dari sini! Sebelum Mas Bagas pulang!” gumamnya dengan nada panik. Ratih berdiri dengan tubuh yang masih lemas. Dia memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya. Dengan langkah cepat, dia keluar dari ruangan rahasia itu, namun perasaannya masih dipenuhi kecemasan. Setiap suara kecil membuatnya melonjak kaget, takut kalau Bagas sudah pulang atau ada yang memergoki
"Bajingan! dasar Bagas bodoh!" Ki Praja duduk bersila di dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin. Di hadapannya, sebuah kendi tanah liat berisi cairan hitam berkilau. Dia menggumamkan mantra pelan, matanya terpejam, wajahnya penuh konsentrasi. Tiba-tiba, bayangan samar muncul di permukaan cairan kendi itu—bayangan Ratih sedang menggenggam jimat utama yang baru saja ditemukan."Dasar Bagas, goblok! Udah aku katakan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Seketika, napas Ki Praja berubah menjadi berat. Matanya terbuka lebar dengan sorot penuh kemarahan. Dia menatap kendi itu dengan tatapan yang tajam, tubuhnya bergetar menahan amarah.“Dasar perempuan licik! Bagaimana bisa dia menemukan jimat itu?!” desis Ki Praja dengan suara rendah namun penuh dendam.Dia meraih tongkat kayu di sampingnya dan memukul meja kayu di depannya dengan keras. "Bajingan! Bagas bodoh! Sudah aku peringatkan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Suara meja yang terbelah menjadi du
Ruangan itu dipenuhi ketegangan. Ratih berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar antara marah dan takut. Bagas tetap duduk di kursi ruang tamu, menatap lantai dengan tatapan kosong. Di seberang mereka, Kyai Ahmad mengawasi dengan penuh kesabaran, berusaha menenangkan keadaan. “Mas,” suara Ratih pecah, penuh emosi, “apa kamu nggak lihat? Semua ini udah melampaui batas! Aku tahu kamu ingin kita hidup lebih baik, tapi caramu salah! Pesugihan ini bukan solusi. Ini kutukan!” Bagas mendesah berat, jemarinya menggenggam lututnya erat. Dia tidak berani menatap mata istrinya. “Apa kamu pikir ini keputusan mudah buat aku, Tih?” suaranya rendah, hampir berbisik. "Semua ini … semua yang kita punya sekarang, aku perjuangkan. Kalau aku memutuskan perjanjian ini, kita kehilangan semuanya. Kembali ke nol. Kamu mau hidup seperti dulu lagi? Serba kekurangan?” Ratih menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya. “Mas, aku nggak peduli soal kekayaan itu! Aku peduli soal kita, soal nyawa kita! Ka
Keputusan Bagas untuk membantu membawa sedikit kelegaan bagi Ratih dan Kyai Ahmad. Namun, mereka tahu bahwa langkah ini hanyalah awal, dan Bagas masih melangkah dengan setengah hati. Kyai Ahmad menarik napas panjang, berusaha memberikan ketenangan. “Nak Bagas, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menyusun strategi. Kita harus mendekati jimat itu tanpa menarik perhatian Genderuwo. Dia pasti akan merasakan jika kita mencoba mengusiknya. Karena itu, saya membutuhkan keberanian mu untuk membantu mengalihkan perhatiannya.” "Bukannya, jimat itu udah ada sama kalian?" tanya Bagas. "Iya. Ini jimat yang lainnya udah sama aku, Mas! Tapi ini bukan satu-satunya jimat yang kamu punya, kan?" Ratih mencecar ucapan Bagas. "I—iya, kamu benar!" sahut Bagas melemah. "Kali ini aku nggak akan tertipu lagi sama kamu, Mas! Cukup waktu itu aja, kamu menipu kami berdua!" Pekik Ratih. "Iya, maaf!" jawab Bagas dengan singkat. Kyai kembali memberikan instruksi kepada Bagas. "Nak Bagas kamu harus
Ratih duduk di samping Bagas. Dia mencoba tegar, meski hatinya berdebar. Bagas tampak gelisah. Tangannya menggenggam sajadah erat. Wajahnya pucat, pikirannya kacau. Doa-doa terus terdengar. Namun, ketakutan Bagas semakin membesar. Tiba-tiba, tubuh Bagas menegang. Sekujur tubuhnya terasa panas, seolah ada api yang menyala di dalam dirinya. “Panas … panas!” jerit Bagas, memegang dadanya dengan erat. Ratih segera mendekat, panik melihat suaminya menggeliat kesakitan di lantai. “Mas! Mas, ada apa?!” tanyanya dengan suara gemetar. Bagas mulai berguling-guling di lantai, mencoba mengatasi rasa sakit yang menyerang. “Panas! Tolong … aku nggak kuat!” suaranya memekik, memecah keheningan malam. Kyai Ahmad, yang mendengar teriakan itu, segera masuk ke dalam rumah bersama salah satu muridnya. “Ada apa ini?!” tanyanya, melihat Bagas yang tubuhnya kini dipenuhi bintik-bintik merah seperti bekas luka bakar. “Dia kesakitan, Kyai! Tolong Mas Bagas!” seru Ratih sambil memegangi suaminya yang t
"Mas, kamu udah sadar?”Ratih mengelus kening suaminya dengan lembut. Napasnya mulai tenang, meskipun rasa khawatir masih membayangi. Kejadian ketika Bagas muntah darah tadi siang adalah mimpi buruk yang tak pernah ingin dia ulangi. Meski begitu, di hatinya masih ada sisa kecewa yang sulit disembunyikan.Bagas bersandar di ranjang, tubuhnya terlihat lelah. Pandangannya mengitari ruangan, menatap rumah yang belum berubah, seolah mencari sesuatu yang hilang.Malam itu, di tengah suasana hening, Ratih sibuk merapikan catatan kecil berisi petunjuk dari Kyai Ahmad. Bagas duduk di meja makan, wajahnya penuh dengan keraguan dan kekhawatiran.“Ratih, apa kamu yakin ini jalan yang benar?” Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Ratih menghentikan kegiatannya. Tatapannya mengarah pada suaminya, penuh kelembutan tapi tegas. “Kamu masih meragukan ini, Mas?”“Bukan itu…” Bagas mencoba menjawab, tetapi suaranya goyah. “Aku hanya berpikir… bagaimana kalau kita malah membuatnya semakin marah? Genderu
Bagas duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar ke arah halaman yang gelap. Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di pohon mangga yang berdiri kokoh di sudut pekarangan. Namun, ketenangan malam itu tidak bisa meredakan kekacauan dalam pikirannya.“Masih kepikiran soal jimat itu, Mas?” suara lembut Ratih memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, membawa segelas air putih.Bagas tidak menjawab langsung. Dia hanya menghela napas berat, menggenggam gelas yang disodorkan istrinya tanpa benar-benar ingin meminumnya.“Aku nggak tau, Tih. Aku nggak tau apa yang benar lagi,” gumamnya akhirnya, suaranya rendah, nyaris tenggelam dalam keheningan malam.Ratih duduk di sebelahnya, menatap suaminya dengan tatapan penuh iba. “Mas, nggak ada yang salah kalau kamu merasa takut. Tapi kita harus menghadapi ini. Bersama.”Bagas tersenyum kecil, meskipun senyum itu tidak mencapai matanya. “Kamu bilang ‘bersama,’ tapi aku yang memulai semua ini, Tih. Aku yang bawa Genderuwo itu ke r
"Kamu itu bukan anakku!" Suara Ratih melengking, dipenuhi amarah dan ketakutan. Napasnya memburu saat menatap kedua anaknya yang berdiri di samping ranjang dengan tatapan kosong. Tubuh mereka kecil, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka—sesuatu yang membuat Ratih semakin muak. Siapa yang ingin memiliki anak dengan wujud seperti setan? Anak-anak yang selama ini menghantui hidupnya? "Kalian lihat apa?! Jangan harap aku akan menyusui kalian lagi!" Ratih meluapkan kekesalannya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kepanikan. Namun, kemarahan itu tak berhenti hanya dengan kata-kata. Ratih mulai kehilangan kendali. Dalam kepanikan yang membutakannya, tangannya terangkat—dan tanpa ragu, dia mencengkram Jagat dan Kala dengan kasar. PLAK! Tangan Ratih menampar tubuh kecil mereka. Jagat dan Kala menangis keras, suara mereka melengking memenuhi kamar. Bagas yang tengah berbaring di ruang tamu sontak terbangun. Jantungnya berdebar ketika mendengar suara tangisan anak-anakn
"Ngapain kamu ke sini, Mas?"Langkah Bagas terhenti ketika Ratih melihatnya berada di rumah kontrakannya. Tanpa berkata apa pun, Bagas hanya menatap dua anak kembarnya."Apa kamu sudah menemukan nama untuk anak kembar kita?" tanya Bagas.Ratih mengerutkan dahi. "Anak kita? Jelas-jelas mereka bukan seperti manusia, Mas!""Ratih, sudahlah, cukup! Mau ini anakku atau bukan, aku tetap akan menganggap mereka anakku! Karena aku tahu ini adalah kesalahanku!" jawab Bagas dengan tegas.Ratih terdiam. Hatinya belum bisa menerima keberadaan anak kembar mereka, terlebih lagi anak laki-laki itu."Terserah. Mau kasih nama apa, aku nggak peduli!" sahut Ratih sambil mengalihkan pandangannya.Bagas hanya bisa diam. Dia tahu benar perasaan istrinya yang masih belum bisa menerima anak-anak mereka."Jagat Mayar, untuk anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, aku beri nama Kala Sundari," ucap Bagas sambil tersenyum memandang kedua anaknya.Ratih masih memalingkan wajahnya. Namun, dalam hatinya perlahan m
"Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul
"Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar
"Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l
"Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber
Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang
Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit
"Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya