"Tenangkan dirimu, Mas!"Ratih mendekat, duduk di samping suaminya yang terlihat letih. Wajah Bagas yang biasanya penuh percaya diri kini tampak kosong, seperti kehilangan arah. Hembusan angin malam yang masuk dari jendela membuat ruangan itu terasa dingin, namun tidak sedingin perasaan di hati Bagas.Ratih memandang wajah suaminya dengan penuh kasih, meskipun di hatinya ada rasa kecewa yang sulit disembunyikan. 'Mas maafkan aku kalau aku nggak bisa sepenuhnya percaya sama kamu! Karena semua ini, rasa kecewa ini, masih semakin menyesakkan diriku!' batin Ratih mengeluh dengan rasa kekecewaan.Dia tahu betul perjuangan suaminya, tetapi dia juga tahu bahwa keputusan Bagas untuk mengambil jalan pesugihan telah membawa mereka pada kehancuran yang lebih besar.“Bagas,” suara Ratih lembut namun tegas, memecah keheningan. “Aku tauu ini berat. Aku tau kamu merasa seperti kehilangan segalanya. Tapi, apakah semua ini benar-benar milik kita? Atau hanya milik Genderuwo yang dipinjamkan sementara
"Astaga ini semakin bertambah banyak!" Bagas duduk di sudut kamar, memandangi cermin di depannya. Pendaran lampu kecil membuat wajahnya terlihat pucat, namun yang menarik perhatiannya bukanlah lelah yang terpancar dari matanya. Di bawah lengan kirinya, garis-garis merah gelap mulai muncul, menjalar perlahan seperti akar pohon yang menancap ke dalam kulit.Dia mengusap tanda itu dengan jari-jarinya, berharap rasa sakitnya akan hilang. Tapi justru sebaliknya, sensasi panas seperti api menjalar hingga ke dadanya. Bagas menggigit bibir, menahan rasa sakit agar tidak mengeluarkan suara."Ini ... apa yang sedang terjadi pada tubuhku?" gumamnya pelan, suaranya bergetar. Dia tidak berani memikirkan jawaban atas pertanyaannya sendiri.Bayangan Genderuwo tiba-tiba melintas di pikirannya, tawa serak makhluk itu menggema seperti sebuah ejekan. “Apa kau pikir kau bisa lepas dariku, Bagas? Kau sudah menjadi bagianku.”Bagas menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia berdiri dan melan
Malam semakin larut. Hening terasa mencekam di rumah kecil mereka. Angin malam bertiup perlahan, sesekali membuat jendela kayu berderit. Ratih masih duduk di ruang tamu, menggenggam tasbih, membaca doa pelan. Sementara itu, Bagas mondar-mandir di dalam kamar, kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk."Ratih," panggil Bagas akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. Dia berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut.Ratih menghentikan doanya dan menatap suaminya. "Ada apa, Mas?"Bagas mendekat, duduk di kursi di hadapannya. Ia menunduk, tidak berani menatap istrinya langsung. "Kalau semua ini gagal... kalau Genderuwo itu membalas dendam, apa yang akan kita lakukan?"Ratih menghela napas panjang. Ratih menatap suaminya dengan tatapan penuh keyakinan, mencoba memberikan ketenangan. "Kita nggak akan gagal. Kyai Ahmad sudah memberikan kita doa dan perlindungan. Kita hanya perlu percaya.""Tapi percaya saja tidak cukup," balas Bagas, suaranya meninggi sedikit. Bagas bangkit berdiri, melang
Bagas duduk di depan meja kayu tua yang terletak di sudut ruang tamu. Di hadapannya, Ratih dengan sabar menyusun perlengkapan doa yang diberikan oleh Kyai Ahmad. Ucapan dzikir lirih terdengar dari mulut istrinya, menciptakan suasana yang tenang namun sarat dengan ketegangan.Malam itu, setelah semua kejadian yang mencekam, Bagas akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menghindar. Dia tahu bahwa keputusannya untuk menghentikan pesugihan adalah langkah yang benar, tetapi rasa ragu masih terus menghantui.“Bagas,” panggil Ratih dengan lembut, membuyarkan lamunannya. “Kamu mau bantu aku mengatur ini?”Bagas memandang istrinya sejenak, lalu mengangguk. “Apa yang harus aku lakukan?”“Susun ini,” jawab Ratih sambil menyerahkan kain putih yang harus dilipat dengan cara tertentu. “Kyai Ahmad bilang ini penting untuk perlindungan kita.”Bagas menerima kain itu dengan hati-hati. Meskipun tangannya gemetar, diaa mencoba fokus pada tugas yang diberikan. Ada sesuatu yang menenangkan dari melihat Rat
Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi
Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.Baga
“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma
Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil
Bagas duduk di depan meja kayu tua yang terletak di sudut ruang tamu. Di hadapannya, Ratih dengan sabar menyusun perlengkapan doa yang diberikan oleh Kyai Ahmad. Ucapan dzikir lirih terdengar dari mulut istrinya, menciptakan suasana yang tenang namun sarat dengan ketegangan.Malam itu, setelah semua kejadian yang mencekam, Bagas akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menghindar. Dia tahu bahwa keputusannya untuk menghentikan pesugihan adalah langkah yang benar, tetapi rasa ragu masih terus menghantui.“Bagas,” panggil Ratih dengan lembut, membuyarkan lamunannya. “Kamu mau bantu aku mengatur ini?”Bagas memandang istrinya sejenak, lalu mengangguk. “Apa yang harus aku lakukan?”“Susun ini,” jawab Ratih sambil menyerahkan kain putih yang harus dilipat dengan cara tertentu. “Kyai Ahmad bilang ini penting untuk perlindungan kita.”Bagas menerima kain itu dengan hati-hati. Meskipun tangannya gemetar, diaa mencoba fokus pada tugas yang diberikan. Ada sesuatu yang menenangkan dari melihat Rat
Malam semakin larut. Hening terasa mencekam di rumah kecil mereka. Angin malam bertiup perlahan, sesekali membuat jendela kayu berderit. Ratih masih duduk di ruang tamu, menggenggam tasbih, membaca doa pelan. Sementara itu, Bagas mondar-mandir di dalam kamar, kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk."Ratih," panggil Bagas akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. Dia berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut.Ratih menghentikan doanya dan menatap suaminya. "Ada apa, Mas?"Bagas mendekat, duduk di kursi di hadapannya. Ia menunduk, tidak berani menatap istrinya langsung. "Kalau semua ini gagal... kalau Genderuwo itu membalas dendam, apa yang akan kita lakukan?"Ratih menghela napas panjang. Ratih menatap suaminya dengan tatapan penuh keyakinan, mencoba memberikan ketenangan. "Kita nggak akan gagal. Kyai Ahmad sudah memberikan kita doa dan perlindungan. Kita hanya perlu percaya.""Tapi percaya saja tidak cukup," balas Bagas, suaranya meninggi sedikit. Bagas bangkit berdiri, melang
"Astaga ini semakin bertambah banyak!" Bagas duduk di sudut kamar, memandangi cermin di depannya. Pendaran lampu kecil membuat wajahnya terlihat pucat, namun yang menarik perhatiannya bukanlah lelah yang terpancar dari matanya. Di bawah lengan kirinya, garis-garis merah gelap mulai muncul, menjalar perlahan seperti akar pohon yang menancap ke dalam kulit.Dia mengusap tanda itu dengan jari-jarinya, berharap rasa sakitnya akan hilang. Tapi justru sebaliknya, sensasi panas seperti api menjalar hingga ke dadanya. Bagas menggigit bibir, menahan rasa sakit agar tidak mengeluarkan suara."Ini ... apa yang sedang terjadi pada tubuhku?" gumamnya pelan, suaranya bergetar. Dia tidak berani memikirkan jawaban atas pertanyaannya sendiri.Bayangan Genderuwo tiba-tiba melintas di pikirannya, tawa serak makhluk itu menggema seperti sebuah ejekan. “Apa kau pikir kau bisa lepas dariku, Bagas? Kau sudah menjadi bagianku.”Bagas menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia berdiri dan melan
"Tenangkan dirimu, Mas!"Ratih mendekat, duduk di samping suaminya yang terlihat letih. Wajah Bagas yang biasanya penuh percaya diri kini tampak kosong, seperti kehilangan arah. Hembusan angin malam yang masuk dari jendela membuat ruangan itu terasa dingin, namun tidak sedingin perasaan di hati Bagas.Ratih memandang wajah suaminya dengan penuh kasih, meskipun di hatinya ada rasa kecewa yang sulit disembunyikan. 'Mas maafkan aku kalau aku nggak bisa sepenuhnya percaya sama kamu! Karena semua ini, rasa kecewa ini, masih semakin menyesakkan diriku!' batin Ratih mengeluh dengan rasa kekecewaan.Dia tahu betul perjuangan suaminya, tetapi dia juga tahu bahwa keputusan Bagas untuk mengambil jalan pesugihan telah membawa mereka pada kehancuran yang lebih besar.“Bagas,” suara Ratih lembut namun tegas, memecah keheningan. “Aku tauu ini berat. Aku tau kamu merasa seperti kehilangan segalanya. Tapi, apakah semua ini benar-benar milik kita? Atau hanya milik Genderuwo yang dipinjamkan sementara
Bagas duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar ke arah halaman yang gelap. Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di pohon mangga yang berdiri kokoh di sudut pekarangan. Namun, ketenangan malam itu tidak bisa meredakan kekacauan dalam pikirannya.“Masih kepikiran soal jimat itu, Mas?” suara lembut Ratih memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, membawa segelas air putih.Bagas tidak menjawab langsung. Dia hanya menghela napas berat, menggenggam gelas yang disodorkan istrinya tanpa benar-benar ingin meminumnya.“Aku nggak tau, Tih. Aku nggak tau apa yang benar lagi,” gumamnya akhirnya, suaranya rendah, nyaris tenggelam dalam keheningan malam.Ratih duduk di sebelahnya, menatap suaminya dengan tatapan penuh iba. “Mas, nggak ada yang salah kalau kamu merasa takut. Tapi kita harus menghadapi ini. Bersama.”Bagas tersenyum kecil, meskipun senyum itu tidak mencapai matanya. “Kamu bilang ‘bersama,’ tapi aku yang memulai semua ini, Tih. Aku yang bawa Genderuwo itu ke r
"Mas, kamu udah sadar?”Ratih mengelus kening suaminya dengan lembut. Napasnya mulai tenang, meskipun rasa khawatir masih membayangi. Kejadian ketika Bagas muntah darah tadi siang adalah mimpi buruk yang tak pernah ingin dia ulangi. Meski begitu, di hatinya masih ada sisa kecewa yang sulit disembunyikan.Bagas bersandar di ranjang, tubuhnya terlihat lelah. Pandangannya mengitari ruangan, menatap rumah yang belum berubah, seolah mencari sesuatu yang hilang.Malam itu, di tengah suasana hening, Ratih sibuk merapikan catatan kecil berisi petunjuk dari Kyai Ahmad. Bagas duduk di meja makan, wajahnya penuh dengan keraguan dan kekhawatiran.“Ratih, apa kamu yakin ini jalan yang benar?” Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Ratih menghentikan kegiatannya. Tatapannya mengarah pada suaminya, penuh kelembutan tapi tegas. “Kamu masih meragukan ini, Mas?”“Bukan itu…” Bagas mencoba menjawab, tetapi suaranya goyah. “Aku hanya berpikir… bagaimana kalau kita malah membuatnya semakin marah? Genderu
Ratih duduk di samping Bagas. Dia mencoba tegar, meski hatinya berdebar. Bagas tampak gelisah. Tangannya menggenggam sajadah erat. Wajahnya pucat, pikirannya kacau. Doa-doa terus terdengar. Namun, ketakutan Bagas semakin membesar. Tiba-tiba, tubuh Bagas menegang. Sekujur tubuhnya terasa panas, seolah ada api yang menyala di dalam dirinya. “Panas … panas!” jerit Bagas, memegang dadanya dengan erat. Ratih segera mendekat, panik melihat suaminya menggeliat kesakitan di lantai. “Mas! Mas, ada apa?!” tanyanya dengan suara gemetar. Bagas mulai berguling-guling di lantai, mencoba mengatasi rasa sakit yang menyerang. “Panas! Tolong … aku nggak kuat!” suaranya memekik, memecah keheningan malam. Kyai Ahmad, yang mendengar teriakan itu, segera masuk ke dalam rumah bersama salah satu muridnya. “Ada apa ini?!” tanyanya, melihat Bagas yang tubuhnya kini dipenuhi bintik-bintik merah seperti bekas luka bakar. “Dia kesakitan, Kyai! Tolong Mas Bagas!” seru Ratih sambil memegangi suaminya yang t
Keputusan Bagas untuk membantu membawa sedikit kelegaan bagi Ratih dan Kyai Ahmad. Namun, mereka tahu bahwa langkah ini hanyalah awal, dan Bagas masih melangkah dengan setengah hati. Kyai Ahmad menarik napas panjang, berusaha memberikan ketenangan. “Nak Bagas, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menyusun strategi. Kita harus mendekati jimat itu tanpa menarik perhatian Genderuwo. Dia pasti akan merasakan jika kita mencoba mengusiknya. Karena itu, saya membutuhkan keberanian mu untuk membantu mengalihkan perhatiannya.” "Bukannya, jimat itu udah ada sama kalian?" tanya Bagas. "Iya. Ini jimat yang lainnya udah sama aku, Mas! Tapi ini bukan satu-satunya jimat yang kamu punya, kan?" Ratih mencecar ucapan Bagas. "I—iya, kamu benar!" sahut Bagas melemah. "Kali ini aku nggak akan tertipu lagi sama kamu, Mas! Cukup waktu itu aja, kamu menipu kami berdua!" Pekik Ratih. "Iya, maaf!" jawab Bagas dengan singkat. Kyai kembali memberikan instruksi kepada Bagas. "Nak Bagas kamu harus
Ruangan itu dipenuhi ketegangan. Ratih berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar antara marah dan takut. Bagas tetap duduk di kursi ruang tamu, menatap lantai dengan tatapan kosong. Di seberang mereka, Kyai Ahmad mengawasi dengan penuh kesabaran, berusaha menenangkan keadaan. “Mas,” suara Ratih pecah, penuh emosi, “apa kamu nggak lihat? Semua ini udah melampaui batas! Aku tahu kamu ingin kita hidup lebih baik, tapi caramu salah! Pesugihan ini bukan solusi. Ini kutukan!” Bagas mendesah berat, jemarinya menggenggam lututnya erat. Dia tidak berani menatap mata istrinya. “Apa kamu pikir ini keputusan mudah buat aku, Tih?” suaranya rendah, hampir berbisik. "Semua ini … semua yang kita punya sekarang, aku perjuangkan. Kalau aku memutuskan perjanjian ini, kita kehilangan semuanya. Kembali ke nol. Kamu mau hidup seperti dulu lagi? Serba kekurangan?” Ratih menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya. “Mas, aku nggak peduli soal kekayaan itu! Aku peduli soal kita, soal nyawa kita! Ka