"Ratih, Bagas!"Suara Kyai Ahmad Syafii terdengar tegas di ruangan kecil tempat mereka berkumpul. “Untuk menghentikan kekuatan Genderuwo sepenuhnya, kita harus memutus semua jejak ritual pesugihan yang pernah dilakukan. Itu berarti menemukan benda-benda yang pernah digunakan dalam ritual tersebut.” Ratih terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-kata itu. Bagas, di sisi lain, langsung menggelengkan kepala. “Kyai, bukankah menghancurkan jimat saja sudah cukup? Mengapa kita harus mencari benda-benda itu?” Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tenang. “Jimat adalah pusat kekuatan, tetapi benda-benda lain itu adalah penghubungnya. Selama penghubung itu ada, kekuatan Genderuwo tidak akan benar-benar hilang.” Bagas menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. “Tapi Kyai, benda-benda itu... saya bahkan nggak tahu di mana mereka sekarang. Banyak yang sudah saya buang, atau mungkin sudah diambil orang lain.” Ratih memegang tangan suaminya erat. “Kita bisa mencobanya, Mas. K
“Apa kamu tidak lelah percaya pada semua ini, Ratih?” suara Bagas bergema di ruang tamu yang sunyi, suaranya penuh emosi.Ratih berdiri di hadapannya, menggenggam cawan perak yang mereka temukan di gudang beberapa waktu lalu. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah. “Mas, kalau aku tidak percaya, siapa lagi yang akan melakukannya? Kamu? Kamu bahkan tidak pernah benar-benar membantu!”Bagas mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Aku sudah melakukan lebih dari cukup, Ratih! Tapi kamu terus menyeretku dalam hal-hal ini. Apa kamu tidak sadar? Semua ini berisiko! Kalau kita gagal, kita bisa kehilangan segalanya!”Ratih membalas dengan nada tinggi, “Kita sudah kehilangan lebih banyak daripada yang kamu sadari, Mas. Apa kamu tidak lihat apa yang terjadi pada kita? Kekayaanmu tidak akan bisa menggantikan rasa sakit ini, Mas!Ratih melanjutkan kembali perkataannya. "Bagiamana bisa kamu bilang aku nggak percaya. Bahkan kamu sudah bohongi aku aja aku masih percaya sama kamu, Ma
“Kenapa kamu begitu takut, Bagas? Apa kamu pikir dia akan memaafkan kita?”Malam itu, suasana di ruang tamu begitu sunyi, hanya ditemani bunyi jam dinding yang terus berdetak. Bagas memejamkan matanya, menghela napas panjang, namun tetap tidak menjawab. Tubuhnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang terus menekan dadanya.Ratih melangkah mendekat, suaranya terdengar lirih namun tajam. “Kamu tahu apa yang harus kita lakukan, kan? Atau kamu mau terus bersembunyi di balik alasan?”Bagas membuka matanya, menatap lurus ke arah istrinya. Wajahnya letih, tetapi di balik itu ada ketakutan yang mendalam. “Ini bukan sekadar alasan, Ratih. Kamu tidak tahu seberapa besar risikonya.”“Risiko apa?” Ratih membalas, matanya berkaca-kaca. “Risiko kehilangan? Kita sudah kehilangan terlalu banyak, Mas. Apa lagi yang harus kita pertahankan?”Bagas terdiam, membiarkan kata-kata Ratih menghantam dirinya. Dia tahu istrinya benar, tapi lidahnya terasa kelu. Semua ini bukan hanya tentang harta, tapi juga tent
“Ritual ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan setengah hati,” ulang Kyai Ahmad Syafii dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Suaranya menggema di ruangan kecil itu, menyelimuti suasana malam yang semakin berat. “Kalian harus benar-benar siap, karena ini bukan hanya soal benda, tapi jiwa kalian yang menjadi taruhan. Jika ragu sedikit saja, Genderuwo akan mengambil keuntungan dari celah itu.”Bagas menelan ludah. Matanya beralih dari wajah Kyai Ahmad ke Ratih yang duduk di sampingnya. “Apa yang harus kami lakukan, Kyai? Semua ini... terasa begitu besar bagi saya”“Kalian harus benar-benar percaya bahwa apa yang kalian lakukan ini adalah untuk menyelamatkan diri dan keluarga kalian,” jawab Kyai Ahmad, matanya tajam menusuk. “Jika kalian tidak yakin, lebih baik berhenti sekarang.”Ratih mengepalkan tangan. “Kami siap, Kyai. Beri tahu kami apa yang harus dilakukan.”Kyai Ahmad mengangguk kecil, lalu membuka kitab doa yang tampak tua di tangannya. “Langkah pertama adalah menyucikan ruma
"Benarkah kau siap mempertaruhkan segalanya, Bagas?" Pertanyaan itu menghentikan napas Bagas sejenak. Suara Kyai Ahmad menggema dalam ruangan yang sepi, berat dan penuh tekanan. Bagas menelan ludah, pandangannya beralih pada Ratih yang menatapnya penuh harap. "Aku... aku tak punya pilihan lain." Kyai Ahmad mengangguk perlahan, matanya tajam menusuk seperti sedang menilai kekuatan jiwa Bagas. "Baik, tapi ingat, keraguan sekecil apa pun bisa membuka jalan bagi Genderuwo untuk menghancurkan kalian." *** Kyai Ahmad bersiap membuat jimat penangkal. Ratih dan Bagas duduk bersila di lantai. Di tengah mereka, meja kayu tua dipenuhi benda-benda spiritual. Ada kendi tanah liat berisi air suci, bunga melati, dan mawar. Segenggam garam laut, kain putih, dan lilin menyala menghiasi meja. Ritual segera dimulai. "Langkah pertama, kita harus memurnikan setiap bahan ini dengan doa," ujar Kyai Ahmad tanpa m
"Pergi dari sini!" Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus masuk melalui celah-celah jendela, membawa suara gemuruh yang menggema tak wajar. "Huff, kenapa angin ini terasa begitu aneh di kulit ku?" keluh Bagas sambil memegang erat tubuhnya sendiri. Di dalam rumah, Ratih dan Bagas duduk di ruang keluarga dengan cahaya lampu redup menemani. Sebuah daftar persiapan ritual tergeletak di meja kecil di antara mereka. "Apakah semua bahan sudah kita siapkan?" tanya Ratih, suaranya sedikit bergetar. Dia mencatat sesuatu di buku kecilnya, berusaha tetap tenang meskipun rasa takut menyelimuti hatinya. Bagas mengangguk, tetapi wajahnya mencerminkan kekhawatiran. "Semua sudah ada. Tapi... aku nggak yakin ini akan cukup menghentikan Genderuwo." Ratih menatap suaminya tajam. "Kita nggak punya pilihan lain, Mas. Kalau kita berhenti sekarang, semua pengorbanan ini akan sia-sia."
Saat mereka berjalan menuju dapur, langkah kaki mereka terasa berat. Keheningan malam itu hanya dipecahkan oleh serit lantai kayu tua yang mereka injak. Ketika Bagas membuka pintu dapur, suasana aneh langsung menyelimuti mereka. Angin dingin entah dari mana tiba-tiba berhembus, membuat lilin kecil di sudut dapur berkedip-kedip sebelum akhirnya padam. Di lantai, sebuah panci besar tergeletak miring. Klang! Menggetarkan suasana sunyi. Bagas memungutnya dengan alis berkerut. "Aku yakin tadi semua ini sudah tertata rapi," katanya, mencoba mengusir rasa aneh yang mulai merayap di pikirannya. Ratih berdiri diam, matanya bergerak gelisah menyisir ruangan. "Ini bukan pertama kalinya, Bagas," ujarnya dengan suara bergetar. "Gangguan seperti ini semakin sering terjadi sejak kita memutuskan untuk menghancurkan jimat." Belum sempat mereka melangkah kembali ke ruang keluarga, terdengar suara
Setiap malam, gangguan semakin menjadi-jadi. Tidur tidak lagi menjadi pelarian bagi Bagas maupun Ratih. Justru, di dalam lelap mereka, kengerian yang lebih pekat mengintai. Bagas sering terbangun oleh mimpi-mimpi buruk yang membuat tubuhnya basah oleh keringat. Dalam salah satu mimpinya, dia berada di tengah ladang yang gelap gulita. Angin dingin bertiup kencang, membawa aroma anyir yang menusuk hidung. Dari kejauhan, sebuah bayangan besar muncul, perlahan-lahan mendekatinya. Sosok itu memiliki tubuh besar, rambut hitam kusut yang menjuntai ke tanah, dan mata merah menyala yang menusuk ke dalam jiwanya. "Bagas," suara berat dan menggelegar bergema di telinganya. "Jangan pernah berpikir untuk melawan aku. Kalian semua akan membayar mahal." Sosok itu mendekat, hingga hanya sejengkal dari wajah Bagas. Nafasnya berbau busuk, seperti bangkai yang membusuk di bawah terik matahari. Ba
"Jagat... Kala, hentikan!"Suasana begitu mencekam.Ratih berdiri dengan tubuh gemetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Jagat dan Kala sedang melahap beberapa kambing hidup. Daging dan darah segar berceceran, memenuhi tanah kandang ternak.Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Tidak—mereka lebih dari itu. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya.Walaupun Kala tampak lebih normal, tetap saja sifat iblis mengalir dalam darahnya, sama seperti Jagat, kakaknya.Kala menoleh dengan mulut berlumuran darah."Ini enak, Bu. Mau coba?"Suara itu tidak keluar dari mulutnya—suara itu menggema di dalam kepala Ratih.Ratih melangkah mundur, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Mata kedua anaknya semakin tajam, semakin menyeramkan.Dan yang lebih menakutkan—mereka bahkan tidak ragu untuk menyerangnya."Jagat... Kala! Hentikan perbuatan kalian!"Ratih berteriak, suaranya menggema di kandang ternak milik seorang warga yang baru saja pindah ke desa Sumb
"Jangan...!"Napas Ratih memburu, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin sempit. Tubuhnya gemetar hebat, peluh membasahi pelipisnya."Tidak mungkin... Ini tidak akan terjadi!"Ratih berdiri dari duduknya dengan tergesa, tangannya meraih teko air di atas meja dan meneguk beberapa gelas sekaligus. Namun, rasa sesak di dadanya tak kunjung mereda."Mimpi itu datang lagi!"Tangan Ratih semakin gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Kenapa dia selalu bermimpi buruk tentang masa depan? Mengapa bayangan Jagat dan Kala yang berubah menjadi sosok mengerikan selalu menghantuinya?Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berkecamuk."Tidak mungkin ini akan terjadi, kan? Apa yang harus aku lakukan jika semua itu benar-benar terjadi?"Krek!Ratih terperanjat.Suara itu datang dari belakangnya—suara seperti kuku yang mencakar kayu.Krek!Kali ini suara itu semakin jelas. Seolah-olah sesuatu sedang merayap mendekat.Ratih membeku. Tangannya men
“Bakar rumahnya!”Teriakan itu menggema di sepanjang gang sempit menuju rumah kontrakan Ratih. Puluhan warga dari Desa Sumberarum dan Karangjati berkumpul dengan wajah penuh amarah. Beberapa membawa obor, yang lainnya menggenggam golok, kayu, atau batu. Mereka datang bukan untuk berdialog, melainkan untuk menghakimi."Keluar, Ratih! Jangan sembunyikan lagi anak-anak setanmu itu!"Suara-suara itu semakin mendekat. Ratih yang berada di dalam rumah segera meraih kedua anak balitanya, Jagat dan Kala, lalu berlari ke dalam kamar.“Diam ya, Nak… jangan bersuara,” bisiknya dengan napas memburu.Tangannya gemetar saat membuka lemari pakaian kayu yang mulai lapuk. Dia memasukkan kedua anaknya ke dalam, lalu menutup pintunya pelan."Jangan keluar sampai Ibu bilang, ya?" suaranya nyaris berbisik.Jagat dan Kala menatapnya dengan mata bulat mereka yang hitam pekat. Mereka tidak menangis, tidak bersuara.Ratih menarik napas dalam, lalu berbalik. Di luar, suara warga semakin memanas.Braak! Braak!
Ratih melangkah perlahan memasuki kediaman Kiai Ahmad. Hatinya diliputi kegelisahan, tetapi dia berusaha menenangkan diri. Dua hari telah berlalu sejak Kiai Ahmad dilarikan ke rumah sakit setelah kejadian mengerikan di pendopo. Ratih masih belum bisa melupakan peristiwa itu, terutama sosok dua anaknya yang dia lihat di sana.Namun, kali ini dia memilih diam.Di dalam rumah, dia melihat Kiai Ahmad sedang beristirahat di dipan, tubuhnya dipenuhi perban. Luka-luka yang tampak di lengan dan wajahnya membuat dada Ratih semakin sesak."Kiai, bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan suara pelan.Seorang perempuan muda yang duduk di dekat Kiai Ahmad menoleh. Dia adalah anak perempuan Kiai Ahmad, seorang wanita yang terlihat kuat namun tetap lembut dalam sikapnya."Ini sudah lebih baik, Mbak Ratih," jawabnya dengan senyum tipis.Ratih mengangguk. "Syukur alhamdulillah," ucapnya lega, meskipun di dalam hati, dia masih menyimpan banyak pertanyaan.Dia duduk di kursi kayu yang berada di samping tem
"Ada apa itu?""Sepertinya dari rumah Pak Windra!"Suara teriakan dari arah ladang membuat Ratih tersentak. Warga desa yang masih berkumpul di pendopo pun langsung menoleh.Beberapa warga segera berlari ke arah sumber suara. Ratih berdiri mematung, tubuhnya seakan tidak bisa digerakkan. Jagat dan Kala masih berdiri di tempat yang sama, menatapnya dengan senyum aneh itu."Ayo-ayo kita kesana!""Iya, ada apa di sana?"Ratih tidak mau tahu. Dia harus pergi ke rumah Pak Windra! Dia harus memastikan.Dengan cepat, Ratih berlari menyusul warga yang sudah lebih dulu sampai. Ketika dia tiba di sana, teriakan histeris memenuhi udara."Ya Allah, Pak Windra!"Ratih menyibak kerumunan dan langsung terkejut.Pak Windra tergeletak di tanah dengan mata membelalak ketakutan. Tubuhnya penuh luka, robek di sana-sini, dan yang paling mengerikan—darah menggenang di sekitar lehernya yang hampir putus.
"Aku sudah bilang, suami Ratih itu bukan manusia biasa!""Benar! Aku juga pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah mereka dulu.""Apa mungkin dia yang membunuh Feri?"Bisikan demi bisikan memenuhi udara malam yang dingin. Warga Desa Karangjati berkumpul di depan pendopo, membicarakan hal yang selama ini tak pernah mereka ungkapkan dengan lantang. Sosok Bagas, yang dulunya hanyalah seorang lelaki pendiam, kini kembali menjadi pusat ketakutan mereka."Genderuwo!" "Wah, itu makhluk terbesar yang pernah aku lihat di ladang Bagas!" Ratih berdiri tak jauh dari kerumunan, tubuhnya lelah dan wajahnya penuh luka cakaran. Darah yang mengering di pipinya terasa perih, namun lebih perih lagi mendengar namanya dan Bagas disebut-sebut sebagai sumber malapetaka."Aku dengar, Bagas dan Ratih dulu sering bertengkar di rumah mereka.""Dia, katanya Ratih ingin pergi, tapi Bagas tak pernah membiarkannya!""Apa jangan-ja
"Astagfirullah, Kiai!"Ratih mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar hebat.Darah.Darah mengalir di lantai kayu, merembes ke sela-sela papan yang mulai lapuk. Tubuh Kiai Ahmad terkulai di atas tikar dengan napas yang tersengal-sengal.Matanya setengah terbuka, tapi pandangannya kosong."Ya Allah, Kiai! Apa yang telah terjadi!" Seluruh tubuhnya dipenuhi luka. Sayatan panjang di dadanya menganga, dan bekas cakaran mencabik kulit di lengannya.Ada sesuatu yang telah menyerangnya.Ratih menutup mulutnya, rasa mual merayap di tenggorokannya.Ini ulah mereka.Jagat dan Kala."Na—Nak Ratih..."Suara Kiai Ahmad bergetar, nyaris tak terdengar.Ratih buru-buru berlutut di sampingnya, berusaha mencari cara untuk menghentikan pendarahan. Namun, darah terus mengalir, membasahi jubah putihnya."Kiai, bertahanlah!" Ratih menahan air matanya. "Saya akan minta bantuan!""A—anak ... anak mu! ha—harus segera—"Dengan tangan gemetar, Ratih berlari ke luar rumah."Tolong! Ada yang bisa membantu?!"Be
"Siapa yang telah terbunuh?"Jantung Ratih berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Tidak... ini tidak mungkin terjadi lagi.Ratih menggigit bibir, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, pikirannya berkecamuk."Mayat siapa itu? Ke—kenapa...?"Tangannya mencengkeram gagang pintu dengan erat. Tubuhnya terasa kaku, namun ketakutan yang mencekam membuatnya tidak bisa berdiam diri.Dia harus melihatnya.Ratih melangkah maju, lalu berhenti. Ragu.Tangannya gemetar saat dia meraih sebilah pisau di atas meja. Genggamannya erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari kengerian di balik pintu.Duka dan ketakutan menyelimuti hatinya.Lalu, dengan gerakan perlahan, dia mendorong pintu kamar itu.Kreek...Suara engsel berderit, membuka pemandangan yang membuat Ratih membeku.Darah.Darah ada di mana
"Ibu... kita di sini!"Suara itu kembali terdengar, menggetarkan udara malam yang dingin. Ratih menoleh ke kanan dan kiri, matanya liar mencari sumber suara. Namun, yang dia temukan hanyalah pepohonan tinggi yang menjulang, menciptakan bayangan gelap yang bergerak seiring tiupan angin."Di sini, Bu... di sini!"Ratih menelan ludah. Suaranya semakin dekat, tapi bayangan kedua anaknya tak juga terlihat.Bagaimana mereka bisa keluar rumah?Jantungnya berdebar kencang. Rasa takut menyusup ke setiap sudut pikirannya."Jagat... Kala!" teriaknya, suaranya bergetar.Namun, hanya sunyi yang menjawabnya.Argh!Sebuah erangan tajam menggema di kegelapan.Ratih terperanjat, tangannya mencengkeram bajunya sendiri. Dia melangkah mundur, matanya liar mencari sumber suara.Tapi tidak ada siapa-siapa.Srek!Sesuatu bergerak di antara dedaunan kering. Ratih menahan napas. Dia tahu dia tidak sendirian di sini."Ibu... kami di sini!"Suara itu kembali terdengar, kali ini dari arah yang berbeda. Ratih mel