Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 131. Ketakutan bisa pudar dengan Keyakinan

Share

131. Ketakutan bisa pudar dengan Keyakinan

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-23 19:22:13

Malam itu, setelah semua orang tidur, Bagas duduk sendiri di ruang tamu. Heningnya malam menyelimuti rumah, hanya ditemani oleh suara detik jam yang terdengar begitu lambat

Bayangan-bayangan dari lampu malam membentuk siluet di dinding, tetapi untuk pertama kalinya, bayangan itu tidak lagi terasa mengancam.

Bagas menunduk, tangannya bertumpu pada lutut. Pikirannya berputar, mengingat setiap kejadian yang telah dia lalui. Ketakutan yang terus menghantui, bisikan Genderuwo yang menggema dalam pikirannya, dan bayangan gelap yang selalu mengintai. Semua itu adalah bagian dari beban yang selama ini dia bawa.

Namun, di tengah keheningan itu, sesuatu yang berbeda mulai tumbuh dalam dirinya. Seolah-olah, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada ruang kecil di hatinya yang mulai terisi dengan kedamaian.

Itu bukan kedamaian yang datang karena semua masalah telah selesai, tetapi kedamaian yang muncul dari penerimaan bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangan ini.

Dia teringat pada ka
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   132. Mencari Benda ritual lainnya

    "Ratih, Bagas!"Suara Kyai Ahmad Syafii terdengar tegas di ruangan kecil tempat mereka berkumpul. “Untuk menghentikan kekuatan Genderuwo sepenuhnya, kita harus memutus semua jejak ritual pesugihan yang pernah dilakukan. Itu berarti menemukan benda-benda yang pernah digunakan dalam ritual tersebut.” Ratih terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-kata itu. Bagas, di sisi lain, langsung menggelengkan kepala. “Kyai, bukankah menghancurkan jimat saja sudah cukup? Mengapa kita harus mencari benda-benda itu?” Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tenang. “Jimat adalah pusat kekuatan, tetapi benda-benda lain itu adalah penghubungnya. Selama penghubung itu ada, kekuatan Genderuwo tidak akan benar-benar hilang.” Bagas menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. “Tapi Kyai, benda-benda itu... saya bahkan nggak tahu di mana mereka sekarang. Banyak yang sudah saya buang, atau mungkin sudah diambil orang lain.” Ratih memegang tangan suaminya erat. “Kita bisa mencobanya, Mas. K

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Pesugihan Genderuwo   133. Pertengkaran Kembali datang

    “Apa kamu tidak lelah percaya pada semua ini, Ratih?” suara Bagas bergema di ruang tamu yang sunyi, suaranya penuh emosi.Ratih berdiri di hadapannya, menggenggam cawan perak yang mereka temukan di gudang beberapa waktu lalu. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah. “Mas, kalau aku tidak percaya, siapa lagi yang akan melakukannya? Kamu? Kamu bahkan tidak pernah benar-benar membantu!”Bagas mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Aku sudah melakukan lebih dari cukup, Ratih! Tapi kamu terus menyeretku dalam hal-hal ini. Apa kamu tidak sadar? Semua ini berisiko! Kalau kita gagal, kita bisa kehilangan segalanya!”Ratih membalas dengan nada tinggi, “Kita sudah kehilangan lebih banyak daripada yang kamu sadari, Mas. Apa kamu tidak lihat apa yang terjadi pada kita? Kekayaanmu tidak akan bisa menggantikan rasa sakit ini, Mas!Ratih melanjutkan kembali perkataannya. "Bagiamana bisa kamu bilang aku nggak percaya. Bahkan kamu sudah bohongi aku aja aku masih percaya sama kamu, Ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Pesugihan Genderuwo   134. Kecaman

    “Kenapa kamu begitu takut, Bagas? Apa kamu pikir dia akan memaafkan kita?”Malam itu, suasana di ruang tamu begitu sunyi, hanya ditemani bunyi jam dinding yang terus berdetak. Bagas memejamkan matanya, menghela napas panjang, namun tetap tidak menjawab. Tubuhnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang terus menekan dadanya.Ratih melangkah mendekat, suaranya terdengar lirih namun tajam. “Kamu tahu apa yang harus kita lakukan, kan? Atau kamu mau terus bersembunyi di balik alasan?”Bagas membuka matanya, menatap lurus ke arah istrinya. Wajahnya letih, tetapi di balik itu ada ketakutan yang mendalam. “Ini bukan sekadar alasan, Ratih. Kamu tidak tahu seberapa besar risikonya.”“Risiko apa?” Ratih membalas, matanya berkaca-kaca. “Risiko kehilangan? Kita sudah kehilangan terlalu banyak, Mas. Apa lagi yang harus kita pertahankan?”Bagas terdiam, membiarkan kata-kata Ratih menghantam dirinya. Dia tahu istrinya benar, tapi lidahnya terasa kelu. Semua ini bukan hanya tentang harta, tapi juga tent

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Pesugihan Genderuwo   135. Mencekam

    “Ritual ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan setengah hati,” ulang Kyai Ahmad Syafii dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Suaranya menggema di ruangan kecil itu, menyelimuti suasana malam yang semakin berat. “Kalian harus benar-benar siap, karena ini bukan hanya soal benda, tapi jiwa kalian yang menjadi taruhan. Jika ragu sedikit saja, Genderuwo akan mengambil keuntungan dari celah itu.”Bagas menelan ludah. Matanya beralih dari wajah Kyai Ahmad ke Ratih yang duduk di sampingnya. “Apa yang harus kami lakukan, Kyai? Semua ini... terasa begitu besar bagi saya”“Kalian harus benar-benar percaya bahwa apa yang kalian lakukan ini adalah untuk menyelamatkan diri dan keluarga kalian,” jawab Kyai Ahmad, matanya tajam menusuk. “Jika kalian tidak yakin, lebih baik berhenti sekarang.”Ratih mengepalkan tangan. “Kami siap, Kyai. Beri tahu kami apa yang harus dilakukan.”Kyai Ahmad mengangguk kecil, lalu membuka kitab doa yang tampak tua di tangannya. “Langkah pertama adalah menyucikan ruma

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Pesugihan Genderuwo   136. Penangkal

    "Benarkah kau siap mempertaruhkan segalanya, Bagas?" Pertanyaan itu menghentikan napas Bagas sejenak. Suara Kyai Ahmad menggema dalam ruangan yang sepi, berat dan penuh tekanan. Bagas menelan ludah, pandangannya beralih pada Ratih yang menatapnya penuh harap. "Aku... aku tak punya pilihan lain." Kyai Ahmad mengangguk perlahan, matanya tajam menusuk seperti sedang menilai kekuatan jiwa Bagas. "Baik, tapi ingat, keraguan sekecil apa pun bisa membuka jalan bagi Genderuwo untuk menghancurkan kalian." *** Kyai Ahmad bersiap membuat jimat penangkal. Ratih dan Bagas duduk bersila di lantai. Di tengah mereka, meja kayu tua dipenuhi benda-benda spiritual. Ada kendi tanah liat berisi air suci, bunga melati, dan mawar. Segenggam garam laut, kain putih, dan lilin menyala menghiasi meja. Ritual segera dimulai. "Langkah pertama, kita harus memurnikan setiap bahan ini dengan doa," ujar Kyai Ahmad tanpa m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Pesugihan Genderuwo   137. Meningkatnya Gangguan

    "Pergi dari sini!" Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus masuk melalui celah-celah jendela, membawa suara gemuruh yang menggema tak wajar. "Huff, kenapa angin ini terasa begitu aneh di kulit ku?" keluh Bagas sambil memegang erat tubuhnya sendiri. Di dalam rumah, Ratih dan Bagas duduk di ruang keluarga dengan cahaya lampu redup menemani. Sebuah daftar persiapan ritual tergeletak di meja kecil di antara mereka. "Apakah semua bahan sudah kita siapkan?" tanya Ratih, suaranya sedikit bergetar. Dia mencatat sesuatu di buku kecilnya, berusaha tetap tenang meskipun rasa takut menyelimuti hatinya. Bagas mengangguk, tetapi wajahnya mencerminkan kekhawatiran. "Semua sudah ada. Tapi... aku nggak yakin ini akan cukup menghentikan Genderuwo." Ratih menatap suaminya tajam. "Kita nggak punya pilihan lain, Mas. Kalau kita berhenti sekarang, semua pengorbanan ini akan sia-sia."

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Pesugihan Genderuwo   138. Suara-suara Misterius

    Saat mereka berjalan menuju dapur, langkah kaki mereka terasa berat. Keheningan malam itu hanya dipecahkan oleh serit lantai kayu tua yang mereka injak. Ketika Bagas membuka pintu dapur, suasana aneh langsung menyelimuti mereka. Angin dingin entah dari mana tiba-tiba berhembus, membuat lilin kecil di sudut dapur berkedip-kedip sebelum akhirnya padam. Di lantai, sebuah panci besar tergeletak miring. Klang! Menggetarkan suasana sunyi. Bagas memungutnya dengan alis berkerut. "Aku yakin tadi semua ini sudah tertata rapi," katanya, mencoba mengusir rasa aneh yang mulai merayap di pikirannya. Ratih berdiri diam, matanya bergerak gelisah menyisir ruangan. "Ini bukan pertama kalinya, Bagas," ujarnya dengan suara bergetar. "Gangguan seperti ini semakin sering terjadi sejak kita memutuskan untuk menghancurkan jimat." Belum sempat mereka melangkah kembali ke ruang keluarga, terdengar suara

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Pesugihan Genderuwo   139. Mimpi Mereka

    Setiap malam, gangguan semakin menjadi-jadi. Tidur tidak lagi menjadi pelarian bagi Bagas maupun Ratih. Justru, di dalam lelap mereka, kengerian yang lebih pekat mengintai. Bagas sering terbangun oleh mimpi-mimpi buruk yang membuat tubuhnya basah oleh keringat. Dalam salah satu mimpinya, dia berada di tengah ladang yang gelap gulita. Angin dingin bertiup kencang, membawa aroma anyir yang menusuk hidung. Dari kejauhan, sebuah bayangan besar muncul, perlahan-lahan mendekatinya. Sosok itu memiliki tubuh besar, rambut hitam kusut yang menjuntai ke tanah, dan mata merah menyala yang menusuk ke dalam jiwanya. "Bagas," suara berat dan menggelegar bergema di telinganya. "Jangan pernah berpikir untuk melawan aku. Kalian semua akan membayar mahal." Sosok itu mendekat, hingga hanya sejengkal dari wajah Bagas. Nafasnya berbau busuk, seperti bangkai yang membusuk di bawah terik matahari. Ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   162. Uang Menjadi Daun

    "Mas, tunggu dulu! Jawab pertanyaan ku sekarang!" Ratih memotong langkah Bagas, berdiri tegak di hadapannya. Matanya menatap tajam, mencari jawaban yang telah lama terpendam di dalam diri suaminya.Bagas berhenti sejenak, dan setelah beberapa detik hening, dia hanya mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tanpa menatap wajah Ratih. "Itu pasar gaib."Ratih terpaku. Perasaan cemas, bingung, dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Dia sudah merasakan ada yang aneh, tetapi tidak menyangka akan menghadapi kenyataan ini. "Pasar gaib? Mas, kamu nggak bilang kalau kita sudah terlibat dalam hal seperti ini!" suaranya bergetar, kesal.Bagas menundukkan kepala, tidak berani menatap istrinya. Dia merasa bersalah, tetapi di saat yang sama, ada rasa takut yang mendalam menguasai dirinya.Ratih menggertakkan giginya. "Tunjukkan uang yang diberikan pria tua itu!" perintahnya.Bagas terdiam sejenak, lalu dengan enggan mengeluarkan uang yang diterimanya dari pria tua itu. Begitu uang itu berada di t

  • Pesugihan Genderuwo   161. Pasar Gaib

    "Udah lama nggak kemari, Nak Bagas."Suara parau itu terdengar begitu berat, seakan berasal dari jauh. Bagas menatap pria tua itu dengan jantung yang berdegup kencang, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya."I—iya, saya mencari Mbah!" jawab Bagas dengan sedikit gugup, berusaha menjaga ketenangannya.Pria tua itu menatap Ratih dengan pandangan yang dalam, seakan menilai setiap gerak-gerik tubuhnya. Ratih merasakan tatapan itu begitu tajam, bahkan lebih tajam daripada yang dia kira. Suatu perasaan tak nyaman mulai merayap di sepanjang tulang punggungnya.Pria tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke barang-barang yang dibawa Bagas. Dengan gerakan lambat, Bagas mulai menunjukkan barang-barang spiritualnya, benda-benda yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kendi, dupa, dan berbagai benda ritual lainnya.Pria tua itu memperhatikan setiap benda yang ditunjukkan, matanya penuh penilaian. Lalu, setelah beberapa saat, dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih berat dari sebel

  • Pesugihan Genderuwo   160. Wajah Pucat

    "Mas, disini dingin!" Ratih menggigil, mencoba menghangatkan tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri. Bibirnya bergetar kedinginan, dan kakinya pun sedikit gemetar menahan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Meski malam sudah larut, hawa yang begitu dingin membuatnya merasa tidak nyaman.Bagas berjalan di depannya tanpa menunjukkan reaksi apapun. Langkahnya mantap dan terburu-buru, seakan dia tidak merasakan apa yang dirasakan istrinya. Wajahnya terfokus pada jalan gelap di depannya, matanya seperti menghindari pandangan Ratih yang penuh tanya."Mas, pasarnya mana?" Ratih akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu-ragu. Dia merasa tidak nyaman dengan kegelapan dan hawa dingin yang semakin menusuk."Sabar, sebentar lagi kita sampai!" jawab Bagas, suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada yang aneh. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa dipaksakan.Mereka terus berjalan di tengah kegelapan, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin aneh perasaan Ratih. Udara semak

  • Pesugihan Genderuwo   159. Pindah Rumah

    "Hm, ini yang pernah aku lakukan..."Bagas memandang beberapa kendi dan dupa bekas ritual yang sering dia lakukan. Kenangan-kenangan itu kembali menghantui pikirannya, membawa dirinya ke masa-masa kelam yang sulit dilupakan."Aku serahkan semua jiwa-jiwa yang tersesat. Jiwa-jiwa yang berkhianat, jiwa-jiwa yang menentang, untuk kau makan. Kau beri aku harta melimpah. Ku kasih kau istriku untuk memenuhi hasratmu..."Bagas mengingat dengan jelas bacaan mantra yang pernah diucapkannya saat melakukan ritual tersebut. Dalam momen itu, jiwa Bagas merasa seperti dirasuki oleh kekuatan yang begitu besar, seolah-olah ada sesuatu yang menguasai tubuhnya.Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian besar ingatannya kini terasa samar dan menyusut, seolah dia terjebak dalam kabut yang sulit dipahami."Aku sudah janji sama Ratih... Tapi—waktu itu, nikmatnya nggak bisa digantikan. Harta dan tahta seakan berpihak padaku!" gumam Bagas, matanya kosong seiring pikirannya melayang ke masa lalu.Sambil sibu

  • Pesugihan Genderuwo   158. Gunjingan

    "Kembalikan hak kami!"Suara keras itu menggema di halaman rumah Bagas. Sekelompok petani mulai berdatangan, membawa obor di tangan mereka. Wajah mereka dipenuhi amarah, namun juga kelelahan dari pekerjaan yang tak kunjung dihargai."Mana Juragan? Katanya malam ini upah kami dibayar!" seru salah seorang petani, matanya tajam menatap ke arah pintu rumah Bagas.Bagas keluar dengan langkah berat, mencoba menenangkan situasi yang semakin memanas. "Tenang, tenang! Semua akan aku bagi! Kalian cuma perlu sedikit sabar," katanya dengan suara lantang, meskipun nada suaranya bergetar.Para petani mulai mereda, tapi tak sepenuhnya tenang. Bagas lalu meminta mereka untuk berbaris di depan rumahnya. Namun, salah seorang petani tiba-tiba bersuara, menatap kondisi rumah Bagas yang terlihat berantakan. "Juragan, rumahnya habis kerampokan ya?" tanyanya polos.Bagas terkejut, namun cepat-cepat menjawab singkat, "Bu—bukan!" Dia berusaha mempertahankan wibawanya meskipun hatinya penuh kegelisahan.Terden

  • Pesugihan Genderuwo   157. Penyitaan Barang

    "Buka pintu!"Gedoran keras di pintu depan membuat suasana malam yang sunyi berubah tegang. Bagas, yang duduk termenung di kursi tua, mendongak dengan raut kesal. Namun, dia tahu siapa yang ada di balik pintu itu. Dengan berat hati, Bagas bangkit dan berjalan ke arah pintu."Bagas! Buka sekarang juga atau aku dobrak!" Suara pria dari luar terdengar makin keras.Ratih, yang sedang di dapur, menghentikan aktivitasnya. "Siapa itu, Mas?" tanyanya cemas.Bagas tidak menjawab. Dia membuka pintu sedikit, tapi sebelum Bagas sempat berkata apa-apa, sebuah tinju mendarat keras di wajahnya.Buk!Bagas terhuyung ke belakang, memegangi pipinya yang kini terasa panas."Mas!" Ratih berlari ke ruang tamu, terkejut melihat suaminya terjatuh. Dia mendekati pria bertubuh besar yang berdiri di ambang pintu. "Kenapa kamu pukul suami saya?!" suaranya penuh amarah, meskipun dia sendiri terlihat gemetar.Namun, bukannya menjawab, pria itu justru melayangkan tamparan ke wajah Ratih. Ratih jatuh ke lantai, ter

  • Pesugihan Genderuwo   156. Sikap Tegas Ratih

    Dia berbalik, meninggalkan Bagas yang terpaku di tempatnya, terguncang oleh kenyataan yang dia tahu benar namun enggan dia terima. Bagas mencoba mendekati Ratih, tapi perempuan itu mundur. Air mata menggenang di matanya, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Bagas menatap Ratih dengan lembut, meski matanya menyiratkan penyesalan. "Aku nggak mau melihatmu hidup seperti ini, Ratih. Kamu berhak mendapatkan lebih," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Ratih langsung menyela, suaranya meninggi penuh emosi. "Yang aku inginkan hanya hidup tenang, Mas! Bukan rumah besar, bukan emas di mana-mana!" Dia menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Aku cuma mau kita hidup tanpa bayang-bayang kutukan!" Bagas mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan tajam istrinya. "Aku melakukannya demi kita—" gumamnya hampir tidak terdengar. Ratih tertawa kecil, namun terdengar sinis. "Demi kita?" tanyanya dengan nada getir. "Nggak, Mas. Kamu

  • Pesugihan Genderuwo   155. Harga dari Kesesatan

    "Bayar upah kami!" Kerumunan petani berkumpul di depan rumah Bagas, membawa berbagai benda tajam seperti parang dan cangkul. Wajah mereka tampak geram, suara mereka menggema keras di pagi yang mencekam. "Juragan! Mana upah kami? Kami butuh makan!" teriak salah seorang dari mereka, disambut sorakan setuju dari yang lain. Para pekerja itu telah berbulan-bulan tidak menerima gaji, dan kesabaran mereka akhirnya habis. Usaha Bagas yang terpuruk membuatnya tidak mampu memenuhi kewajibannya, tetapi para petani tidak ingin tahu. Di dalam rumah, Ratih mengintip dari sela-sela jendela dengan wajah cemas. Suara teriakan dan ancaman di luar semakin membuat hatinya berdebar kencang. "Mas, mereka sudah di depan rumah! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ratih dengan suara bergetar, menoleh ke arah Bagas yang duduk diam di ruang tamu. Bagas hanya bisa menghela napas panjang. Kepalanya tertunduk, pikirannya kalut mencari jawaban. Tapi kenyataan menamparnya keras—dia benar-benar tidak tahu harus

  • Pesugihan Genderuwo   154. Dilema Dari Kegagalan

    Tok! Tok! Tok!Ketukan keras di pintu memecah kesunyian pagi. Bagas mendesah berat. Dari dalam rumah, dia memandang ke arah ladangnya yang gersang, menyadari bahwa semuanya semakin hancur. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya lelah.Saat pintu dibuka, seorang pria berdiri dengan wajah merah padam. Itu Herman, salah satu pelanggan setianya dulu."Pak Bagas! Kembalikan uang saya!" seru Herman dengan suara menggema, tanpa basa-basi.Bagas tertegun. Dia mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Pak Herman, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba meminta uang kembali?" tanyanya, meski dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini."Jangan pura-pura nggak tahu, Pak! Saya sudah kasih uang muka untuk pakan dan buah dari ladang Anda. Tapi hasilnya nol! Mana uang saya?" bentak Herman, matanya menyala penuh amarah.Bagas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Pak, saya mohon sabar dulu. Ladang saya memang sedang nggak baik, tapi saya berjanji akan memperbaiki semuanya.""Memperbaiki?" Herman tert

DMCA.com Protection Status