“Apa kamu tidak lelah percaya pada semua ini, Ratih?” suara Bagas bergema di ruang tamu yang sunyi, suaranya penuh emosi.Ratih berdiri di hadapannya, menggenggam cawan perak yang mereka temukan di gudang beberapa waktu lalu. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah. “Mas, kalau aku tidak percaya, siapa lagi yang akan melakukannya? Kamu? Kamu bahkan tidak pernah benar-benar membantu!”Bagas mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Aku sudah melakukan lebih dari cukup, Ratih! Tapi kamu terus menyeretku dalam hal-hal ini. Apa kamu tidak sadar? Semua ini berisiko! Kalau kita gagal, kita bisa kehilangan segalanya!”Ratih membalas dengan nada tinggi, “Kita sudah kehilangan lebih banyak daripada yang kamu sadari, Mas. Apa kamu tidak lihat apa yang terjadi pada kita? Kekayaanmu tidak akan bisa menggantikan rasa sakit ini, Mas!Ratih melanjutkan kembali perkataannya. "Bagiamana bisa kamu bilang aku nggak percaya. Bahkan kamu sudah bohongi aku aja aku masih percaya sama kamu, Ma
“Kenapa kamu begitu takut, Bagas? Apa kamu pikir dia akan memaafkan kita?”Malam itu, suasana di ruang tamu begitu sunyi, hanya ditemani bunyi jam dinding yang terus berdetak. Bagas memejamkan matanya, menghela napas panjang, namun tetap tidak menjawab. Tubuhnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang terus menekan dadanya.Ratih melangkah mendekat, suaranya terdengar lirih namun tajam. “Kamu tahu apa yang harus kita lakukan, kan? Atau kamu mau terus bersembunyi di balik alasan?”Bagas membuka matanya, menatap lurus ke arah istrinya. Wajahnya letih, tetapi di balik itu ada ketakutan yang mendalam. “Ini bukan sekadar alasan, Ratih. Kamu tidak tahu seberapa besar risikonya.”“Risiko apa?” Ratih membalas, matanya berkaca-kaca. “Risiko kehilangan? Kita sudah kehilangan terlalu banyak, Mas. Apa lagi yang harus kita pertahankan?”Bagas terdiam, membiarkan kata-kata Ratih menghantam dirinya. Dia tahu istrinya benar, tapi lidahnya terasa kelu. Semua ini bukan hanya tentang harta, tapi juga tent
“Ritual ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan setengah hati,” ulang Kyai Ahmad Syafii dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Suaranya menggema di ruangan kecil itu, menyelimuti suasana malam yang semakin berat. “Kalian harus benar-benar siap, karena ini bukan hanya soal benda, tapi jiwa kalian yang menjadi taruhan. Jika ragu sedikit saja, Genderuwo akan mengambil keuntungan dari celah itu.”Bagas menelan ludah. Matanya beralih dari wajah Kyai Ahmad ke Ratih yang duduk di sampingnya. “Apa yang harus kami lakukan, Kyai? Semua ini... terasa begitu besar bagi saya”“Kalian harus benar-benar percaya bahwa apa yang kalian lakukan ini adalah untuk menyelamatkan diri dan keluarga kalian,” jawab Kyai Ahmad, matanya tajam menusuk. “Jika kalian tidak yakin, lebih baik berhenti sekarang.”Ratih mengepalkan tangan. “Kami siap, Kyai. Beri tahu kami apa yang harus dilakukan.”Kyai Ahmad mengangguk kecil, lalu membuka kitab doa yang tampak tua di tangannya. “Langkah pertama adalah menyucikan ruma
"Benarkah kau siap mempertaruhkan segalanya, Bagas?" Pertanyaan itu menghentikan napas Bagas sejenak. Suara Kyai Ahmad menggema dalam ruangan yang sepi, berat dan penuh tekanan. Bagas menelan ludah, pandangannya beralih pada Ratih yang menatapnya penuh harap. "Aku... aku tak punya pilihan lain." Kyai Ahmad mengangguk perlahan, matanya tajam menusuk seperti sedang menilai kekuatan jiwa Bagas. "Baik, tapi ingat, keraguan sekecil apa pun bisa membuka jalan bagi Genderuwo untuk menghancurkan kalian." *** Kyai Ahmad bersiap membuat jimat penangkal. Ratih dan Bagas duduk bersila di lantai. Di tengah mereka, meja kayu tua dipenuhi benda-benda spiritual. Ada kendi tanah liat berisi air suci, bunga melati, dan mawar. Segenggam garam laut, kain putih, dan lilin menyala menghiasi meja. Ritual segera dimulai. "Langkah pertama, kita harus memurnikan setiap bahan ini dengan doa," ujar Kyai Ahmad tanpa m
"Pergi dari sini!" Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus masuk melalui celah-celah jendela, membawa suara gemuruh yang menggema tak wajar. "Huff, kenapa angin ini terasa begitu aneh di kulit ku?" keluh Bagas sambil memegang erat tubuhnya sendiri. Di dalam rumah, Ratih dan Bagas duduk di ruang keluarga dengan cahaya lampu redup menemani. Sebuah daftar persiapan ritual tergeletak di meja kecil di antara mereka. "Apakah semua bahan sudah kita siapkan?" tanya Ratih, suaranya sedikit bergetar. Dia mencatat sesuatu di buku kecilnya, berusaha tetap tenang meskipun rasa takut menyelimuti hatinya. Bagas mengangguk, tetapi wajahnya mencerminkan kekhawatiran. "Semua sudah ada. Tapi... aku nggak yakin ini akan cukup menghentikan Genderuwo." Ratih menatap suaminya tajam. "Kita nggak punya pilihan lain, Mas. Kalau kita berhenti sekarang, semua pengorbanan ini akan sia-sia."
Saat mereka berjalan menuju dapur, langkah kaki mereka terasa berat. Keheningan malam itu hanya dipecahkan oleh serit lantai kayu tua yang mereka injak. Ketika Bagas membuka pintu dapur, suasana aneh langsung menyelimuti mereka. Angin dingin entah dari mana tiba-tiba berhembus, membuat lilin kecil di sudut dapur berkedip-kedip sebelum akhirnya padam. Di lantai, sebuah panci besar tergeletak miring. Klang! Menggetarkan suasana sunyi. Bagas memungutnya dengan alis berkerut. "Aku yakin tadi semua ini sudah tertata rapi," katanya, mencoba mengusir rasa aneh yang mulai merayap di pikirannya. Ratih berdiri diam, matanya bergerak gelisah menyisir ruangan. "Ini bukan pertama kalinya, Bagas," ujarnya dengan suara bergetar. "Gangguan seperti ini semakin sering terjadi sejak kita memutuskan untuk menghancurkan jimat." Belum sempat mereka melangkah kembali ke ruang keluarga, terdengar suara
Setiap malam, gangguan semakin menjadi-jadi. Tidur tidak lagi menjadi pelarian bagi Bagas maupun Ratih. Justru, di dalam lelap mereka, kengerian yang lebih pekat mengintai. Bagas sering terbangun oleh mimpi-mimpi buruk yang membuat tubuhnya basah oleh keringat. Dalam salah satu mimpinya, dia berada di tengah ladang yang gelap gulita. Angin dingin bertiup kencang, membawa aroma anyir yang menusuk hidung. Dari kejauhan, sebuah bayangan besar muncul, perlahan-lahan mendekatinya. Sosok itu memiliki tubuh besar, rambut hitam kusut yang menjuntai ke tanah, dan mata merah menyala yang menusuk ke dalam jiwanya. "Bagas," suara berat dan menggelegar bergema di telinganya. "Jangan pernah berpikir untuk melawan aku. Kalian semua akan membayar mahal." Sosok itu mendekat, hingga hanya sejengkal dari wajah Bagas. Nafasnya berbau busuk, seperti bangkai yang membusuk di bawah terik matahari. Ba
Hari demi hari, gangguan yang dialami Bagas dan Ratih semakin menjadi. Selain mimpi buruk yang mengerikan dan suara-suara aneh yang terus menghantui mereka, gangguan fisik yang lebih nyata juga mulai muncul. Suatu pagi, Bagas terbangun dengan tubuh terasa pegal. Ketika dia mencoba bangun dari tempat tidur, rasa gatal yang menjalar di seluruh tubuhnya membuatnya terkejut. Tangan kanannya menepuk-nepuk kulitnya yang terasa panas dan kering, seakan ada sesuatu yang merayap di bawah permukaan kulitnya. Saat dia melihat ke lengan kirinya, dia terkejut melihat bekas cakaran panjang yang menoreh kulitnya. Bekas luka itu cukup dalam, membuatnya kesakitan hanya dengan menyentuhnya. Bagas memandang lengan itu dengan penuh kebingungan. "Apa ini?" tanyanya dengan suara parau, menunjukkan lengannya yang tercakar kepada Ratih yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Ratih yang mendengar pertanyaan itu segera berlari menghampiri Ba
"Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar
"Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok
"Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a
"“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik
Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku
“Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua