"Pergi dari sini!"
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus masuk melalui celah-celah jendela, membawa suara gemuruh yang menggema tak wajar. "Huff, kenapa angin ini terasa begitu aneh di kulit ku?" keluh Bagas sambil memegang erat tubuhnya sendiri. Di dalam rumah, Ratih dan Bagas duduk di ruang keluarga dengan cahaya lampu redup menemani. Sebuah daftar persiapan ritual tergeletak di meja kecil di antara mereka. "Apakah semua bahan sudah kita siapkan?" tanya Ratih, suaranya sedikit bergetar. Dia mencatat sesuatu di buku kecilnya, berusaha tetap tenang meskipun rasa takut menyelimuti hatinya. Bagas mengangguk, tetapi wajahnya mencerminkan kekhawatiran. "Semua sudah ada. Tapi... aku nggak yakin ini akan cukup menghentikan Genderuwo." Ratih menatap suaminya tajam. "Kita nggak punya pilihan lain, Mas. Kalau kita berhenti sekarang, semua pengorbanan ini akan sia-sia."Saat mereka berjalan menuju dapur, langkah kaki mereka terasa berat. Keheningan malam itu hanya dipecahkan oleh serit lantai kayu tua yang mereka injak. Ketika Bagas membuka pintu dapur, suasana aneh langsung menyelimuti mereka. Angin dingin entah dari mana tiba-tiba berhembus, membuat lilin kecil di sudut dapur berkedip-kedip sebelum akhirnya padam. Di lantai, sebuah panci besar tergeletak miring. Klang! Menggetarkan suasana sunyi. Bagas memungutnya dengan alis berkerut. "Aku yakin tadi semua ini sudah tertata rapi," katanya, mencoba mengusir rasa aneh yang mulai merayap di pikirannya. Ratih berdiri diam, matanya bergerak gelisah menyisir ruangan. "Ini bukan pertama kalinya, Bagas," ujarnya dengan suara bergetar. "Gangguan seperti ini semakin sering terjadi sejak kita memutuskan untuk menghancurkan jimat." Belum sempat mereka melangkah kembali ke ruang keluarga, terdengar suara
Setiap malam, gangguan semakin menjadi-jadi. Tidur tidak lagi menjadi pelarian bagi Bagas maupun Ratih. Justru, di dalam lelap mereka, kengerian yang lebih pekat mengintai. Bagas sering terbangun oleh mimpi-mimpi buruk yang membuat tubuhnya basah oleh keringat. Dalam salah satu mimpinya, dia berada di tengah ladang yang gelap gulita. Angin dingin bertiup kencang, membawa aroma anyir yang menusuk hidung. Dari kejauhan, sebuah bayangan besar muncul, perlahan-lahan mendekatinya. Sosok itu memiliki tubuh besar, rambut hitam kusut yang menjuntai ke tanah, dan mata merah menyala yang menusuk ke dalam jiwanya. "Bagas," suara berat dan menggelegar bergema di telinganya. "Jangan pernah berpikir untuk melawan aku. Kalian semua akan membayar mahal." Sosok itu mendekat, hingga hanya sejengkal dari wajah Bagas. Nafasnya berbau busuk, seperti bangkai yang membusuk di bawah terik matahari. Ba
Hari demi hari, gangguan yang dialami Bagas dan Ratih semakin menjadi. Selain mimpi buruk yang mengerikan dan suara-suara aneh yang terus menghantui mereka, gangguan fisik yang lebih nyata juga mulai muncul. Suatu pagi, Bagas terbangun dengan tubuh terasa pegal. Ketika dia mencoba bangun dari tempat tidur, rasa gatal yang menjalar di seluruh tubuhnya membuatnya terkejut. Tangan kanannya menepuk-nepuk kulitnya yang terasa panas dan kering, seakan ada sesuatu yang merayap di bawah permukaan kulitnya. Saat dia melihat ke lengan kirinya, dia terkejut melihat bekas cakaran panjang yang menoreh kulitnya. Bekas luka itu cukup dalam, membuatnya kesakitan hanya dengan menyentuhnya. Bagas memandang lengan itu dengan penuh kebingungan. "Apa ini?" tanyanya dengan suara parau, menunjukkan lengannya yang tercakar kepada Ratih yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Ratih yang mendengar pertanyaan itu segera berlari menghampiri Ba
Rumah yang dulunya menjadi tempat perlindungan kini berubah menjadi sarang teror. Bagas dan Ratih merasakan hal itu setiap kali mereka melangkah masuk. Udara di dalam rumah terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan dada mereka. Bau anyir samar tercium dari lantai yang seharusnya bersih, sementara retakan kecil mulai muncul di dinding dan lantai. Malam itu, Bagas dan Ratih duduk di ruang keluarga, mencoba menenangkan diri. Namun, suara langkah kaki yang terdengar di lorong membuat mereka saling memandang dengan wajah tegang. "Mas, kamu dengar itu?" tanya Ratih dengan suara berbisik. Bagas mengangguk pelan. "Ya, aku mendengarnya." Dia berdiri dengan hati-hati, memegang tongkat kayu yang dia ambil dari dapur. Perlahan, dia melangkah ke lorong. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Hanya bayangan mereka sendiri yang memantul di dinding. Ketika dia kembali ke ruang keluarga, lampu tiba-tiba berked
Malam itu, suasana di rumah Bagas dan Ratih begitu mencekam. Hembusan angin tiba-tiba merangsek masuk ke rumah. Gorden melambai-lambai liar, seolah ada kekuatan yang tak terlihat. "Mas, ini mulai nggak masuk akal," bisik Ratih dengan napas tertahan. Sebelum Bagas menjawab, lampu padam mendadak. Terdengar suara-suara aneh di sudut rumah. Ada suara gesekan seperti kuku mencakar dinding dan taw kecil tapi terasa nyaring. "Dengar!" Ratih berbisik lagi. Kali itu lebih pelan, seolah takut menarik perhatian sesuatu. Bagas menahan napas dan memicingkan telinganya. Suara berat terdengar seperti marah. "Kalian pikir bisa menghancurkan aku? Aku bagian yang tidak bisa kalian sangka! Kalian tidak akan bisa melawan aku." Tiba-tiba bayang besar melintas. Itu adalah Genderuwo media pesugihan yang Bagas miliki. Ratih m
"Mas, apa kamu bermimpi juga?"Napas Ratih tersengal-sengal. mimpi itu terasa begitu nyata. Bagas menatap mata Ratih yang terlihat ketakutan. "Aku nggak yakin kita akan berhasil. Mimpi kita berhubung satu sama lain. Bagaimana bisa aku anggap ini hanya sebuah mimpi," kata Bagas. Keringat dingin mengucur deras dari keningnya. "Mas, kalau malam ini kita gagal, kamu tahu apa yang akan terjadi, kan?" suara Ratih terdengar tegas, namun diwarnai ketakutan yang mendalam.Bagas menatap istrinya dalam-dalam, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang juga menguasainya. "Aku tahu, Ratih. Tapi kita tidak punya pilihan lain."Malam itu adalah malam yang telah dinantikan. Suasana desa terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah-olah alam menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Langit malam dipenuhi awan gelap, dan angin dingin berhembus perlahan, membawa rasa tegang ke setiap hati yang terlibat dalam ritual tersebut.K
"Kyai, ada apa ini?" Ratih memegang lengan Kyai Ahmad dengan gemetar, matanya mencari penjelasan. Hembusan panas menggantikan angin malam. Genderowo melancarkan serangan mengerikan dalam kegelapan Kyai Ahmad menatap sekeliling dengan penuh waspada. "Ini serangan terakhirnya. Dia tahu kekuatannya hampir musnah, jadi dia akan menggunakan semua energi yang tersisa untuk menggagalkan ritual ini. Jangan takut. Tetaplah berada dalam lingkaran." Grrr...! Genderuwo menggeram dengan marah. Tubuhnya menjulang tinggi dan besar penuh kebencian. "Manusia lemah! Kalian pikir bisa menghancurkanku?" suaranya menggema, membuat jantung Bagas dan Ratih berdegup kencang. Bagas mencoba menenangkan dirinya, meskipun tubuhnya gemetar hebat. "Kyai, apa yang harus kita lakukan sekarang? Dia bertambah besar dan semakin kuat, jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya!" Kyai Ahmad memfokuskan pandangannya pada Genderuwo yang berdiri di tepi lingkaran pelindung. Mulut makhluk itu sedikit terbuka, dan dari
Ratih terpaku, rasa takut dan marah bercampur dalam hatinya. "Apa maksudmu, Mas? Apa yang kamu berikan?" tanyanya, matanya mulai berair. Bagas menunduk, tidak mampu menatap istrinya. "Aku memberikan ... bagian dari hidupku." Ratih mundur selangkah, tangannya gemetar. "Bagian dari hidupmu? Mas, apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan? Yang nggak aku tau?" Sebelum jawaban itu keluar, Genderuwo tiba-tiba tertawa keras, suaranya menggema seperti ejekan yang menusuk hati mereka semua. "Dia tidak akan bisa lari dari aku ... Tidak ada tempat untuk bersembunyi." Genderuwo mulai menyerang dengan kekuatan penuh. Angin kencang berputar-putar, memadamkan sebagian besar lilin yang mengelilingi lingkaran pelindung. Batu-batu besar beterbangan, menghantam tanah di sekitar mereka. Ratih memekik ketika salah satu batu nyaris mengenai dirinya. "Kyai, lingkarannya mulai retak!" serunya. Kyai Ahmad dengan sigap meraih segenggam garam dari kantongnya dan melemparkannya ke arah Genderuwo. "Atas nama
"Mas, tunggu dulu! Jawab pertanyaan ku sekarang!" Ratih memotong langkah Bagas, berdiri tegak di hadapannya. Matanya menatap tajam, mencari jawaban yang telah lama terpendam di dalam diri suaminya.Bagas berhenti sejenak, dan setelah beberapa detik hening, dia hanya mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tanpa menatap wajah Ratih. "Itu pasar gaib."Ratih terpaku. Perasaan cemas, bingung, dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Dia sudah merasakan ada yang aneh, tetapi tidak menyangka akan menghadapi kenyataan ini. "Pasar gaib? Mas, kamu nggak bilang kalau kita sudah terlibat dalam hal seperti ini!" suaranya bergetar, kesal.Bagas menundukkan kepala, tidak berani menatap istrinya. Dia merasa bersalah, tetapi di saat yang sama, ada rasa takut yang mendalam menguasai dirinya.Ratih menggertakkan giginya. "Tunjukkan uang yang diberikan pria tua itu!" perintahnya.Bagas terdiam sejenak, lalu dengan enggan mengeluarkan uang yang diterimanya dari pria tua itu. Begitu uang itu berada di t
"Udah lama nggak kemari, Nak Bagas."Suara parau itu terdengar begitu berat, seakan berasal dari jauh. Bagas menatap pria tua itu dengan jantung yang berdegup kencang, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya."I—iya, saya mencari Mbah!" jawab Bagas dengan sedikit gugup, berusaha menjaga ketenangannya.Pria tua itu menatap Ratih dengan pandangan yang dalam, seakan menilai setiap gerak-gerik tubuhnya. Ratih merasakan tatapan itu begitu tajam, bahkan lebih tajam daripada yang dia kira. Suatu perasaan tak nyaman mulai merayap di sepanjang tulang punggungnya.Pria tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke barang-barang yang dibawa Bagas. Dengan gerakan lambat, Bagas mulai menunjukkan barang-barang spiritualnya, benda-benda yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kendi, dupa, dan berbagai benda ritual lainnya.Pria tua itu memperhatikan setiap benda yang ditunjukkan, matanya penuh penilaian. Lalu, setelah beberapa saat, dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih berat dari sebel
"Mas, disini dingin!" Ratih menggigil, mencoba menghangatkan tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri. Bibirnya bergetar kedinginan, dan kakinya pun sedikit gemetar menahan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Meski malam sudah larut, hawa yang begitu dingin membuatnya merasa tidak nyaman.Bagas berjalan di depannya tanpa menunjukkan reaksi apapun. Langkahnya mantap dan terburu-buru, seakan dia tidak merasakan apa yang dirasakan istrinya. Wajahnya terfokus pada jalan gelap di depannya, matanya seperti menghindari pandangan Ratih yang penuh tanya."Mas, pasarnya mana?" Ratih akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu-ragu. Dia merasa tidak nyaman dengan kegelapan dan hawa dingin yang semakin menusuk."Sabar, sebentar lagi kita sampai!" jawab Bagas, suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada yang aneh. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa dipaksakan.Mereka terus berjalan di tengah kegelapan, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin aneh perasaan Ratih. Udara semak
"Hm, ini yang pernah aku lakukan..."Bagas memandang beberapa kendi dan dupa bekas ritual yang sering dia lakukan. Kenangan-kenangan itu kembali menghantui pikirannya, membawa dirinya ke masa-masa kelam yang sulit dilupakan."Aku serahkan semua jiwa-jiwa yang tersesat. Jiwa-jiwa yang berkhianat, jiwa-jiwa yang menentang, untuk kau makan. Kau beri aku harta melimpah. Ku kasih kau istriku untuk memenuhi hasratmu..."Bagas mengingat dengan jelas bacaan mantra yang pernah diucapkannya saat melakukan ritual tersebut. Dalam momen itu, jiwa Bagas merasa seperti dirasuki oleh kekuatan yang begitu besar, seolah-olah ada sesuatu yang menguasai tubuhnya.Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian besar ingatannya kini terasa samar dan menyusut, seolah dia terjebak dalam kabut yang sulit dipahami."Aku sudah janji sama Ratih... Tapi—waktu itu, nikmatnya nggak bisa digantikan. Harta dan tahta seakan berpihak padaku!" gumam Bagas, matanya kosong seiring pikirannya melayang ke masa lalu.Sambil sibu
"Kembalikan hak kami!"Suara keras itu menggema di halaman rumah Bagas. Sekelompok petani mulai berdatangan, membawa obor di tangan mereka. Wajah mereka dipenuhi amarah, namun juga kelelahan dari pekerjaan yang tak kunjung dihargai."Mana Juragan? Katanya malam ini upah kami dibayar!" seru salah seorang petani, matanya tajam menatap ke arah pintu rumah Bagas.Bagas keluar dengan langkah berat, mencoba menenangkan situasi yang semakin memanas. "Tenang, tenang! Semua akan aku bagi! Kalian cuma perlu sedikit sabar," katanya dengan suara lantang, meskipun nada suaranya bergetar.Para petani mulai mereda, tapi tak sepenuhnya tenang. Bagas lalu meminta mereka untuk berbaris di depan rumahnya. Namun, salah seorang petani tiba-tiba bersuara, menatap kondisi rumah Bagas yang terlihat berantakan. "Juragan, rumahnya habis kerampokan ya?" tanyanya polos.Bagas terkejut, namun cepat-cepat menjawab singkat, "Bu—bukan!" Dia berusaha mempertahankan wibawanya meskipun hatinya penuh kegelisahan.Terden
"Buka pintu!"Gedoran keras di pintu depan membuat suasana malam yang sunyi berubah tegang. Bagas, yang duduk termenung di kursi tua, mendongak dengan raut kesal. Namun, dia tahu siapa yang ada di balik pintu itu. Dengan berat hati, Bagas bangkit dan berjalan ke arah pintu."Bagas! Buka sekarang juga atau aku dobrak!" Suara pria dari luar terdengar makin keras.Ratih, yang sedang di dapur, menghentikan aktivitasnya. "Siapa itu, Mas?" tanyanya cemas.Bagas tidak menjawab. Dia membuka pintu sedikit, tapi sebelum Bagas sempat berkata apa-apa, sebuah tinju mendarat keras di wajahnya.Buk!Bagas terhuyung ke belakang, memegangi pipinya yang kini terasa panas."Mas!" Ratih berlari ke ruang tamu, terkejut melihat suaminya terjatuh. Dia mendekati pria bertubuh besar yang berdiri di ambang pintu. "Kenapa kamu pukul suami saya?!" suaranya penuh amarah, meskipun dia sendiri terlihat gemetar.Namun, bukannya menjawab, pria itu justru melayangkan tamparan ke wajah Ratih. Ratih jatuh ke lantai, ter
Dia berbalik, meninggalkan Bagas yang terpaku di tempatnya, terguncang oleh kenyataan yang dia tahu benar namun enggan dia terima. Bagas mencoba mendekati Ratih, tapi perempuan itu mundur. Air mata menggenang di matanya, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Bagas menatap Ratih dengan lembut, meski matanya menyiratkan penyesalan. "Aku nggak mau melihatmu hidup seperti ini, Ratih. Kamu berhak mendapatkan lebih," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Ratih langsung menyela, suaranya meninggi penuh emosi. "Yang aku inginkan hanya hidup tenang, Mas! Bukan rumah besar, bukan emas di mana-mana!" Dia menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Aku cuma mau kita hidup tanpa bayang-bayang kutukan!" Bagas mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan tajam istrinya. "Aku melakukannya demi kita—" gumamnya hampir tidak terdengar. Ratih tertawa kecil, namun terdengar sinis. "Demi kita?" tanyanya dengan nada getir. "Nggak, Mas. Kamu
"Bayar upah kami!" Kerumunan petani berkumpul di depan rumah Bagas, membawa berbagai benda tajam seperti parang dan cangkul. Wajah mereka tampak geram, suara mereka menggema keras di pagi yang mencekam. "Juragan! Mana upah kami? Kami butuh makan!" teriak salah seorang dari mereka, disambut sorakan setuju dari yang lain. Para pekerja itu telah berbulan-bulan tidak menerima gaji, dan kesabaran mereka akhirnya habis. Usaha Bagas yang terpuruk membuatnya tidak mampu memenuhi kewajibannya, tetapi para petani tidak ingin tahu. Di dalam rumah, Ratih mengintip dari sela-sela jendela dengan wajah cemas. Suara teriakan dan ancaman di luar semakin membuat hatinya berdebar kencang. "Mas, mereka sudah di depan rumah! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ratih dengan suara bergetar, menoleh ke arah Bagas yang duduk diam di ruang tamu. Bagas hanya bisa menghela napas panjang. Kepalanya tertunduk, pikirannya kalut mencari jawaban. Tapi kenyataan menamparnya keras—dia benar-benar tidak tahu harus
Tok! Tok! Tok!Ketukan keras di pintu memecah kesunyian pagi. Bagas mendesah berat. Dari dalam rumah, dia memandang ke arah ladangnya yang gersang, menyadari bahwa semuanya semakin hancur. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya lelah.Saat pintu dibuka, seorang pria berdiri dengan wajah merah padam. Itu Herman, salah satu pelanggan setianya dulu."Pak Bagas! Kembalikan uang saya!" seru Herman dengan suara menggema, tanpa basa-basi.Bagas tertegun. Dia mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Pak Herman, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba meminta uang kembali?" tanyanya, meski dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini."Jangan pura-pura nggak tahu, Pak! Saya sudah kasih uang muka untuk pakan dan buah dari ladang Anda. Tapi hasilnya nol! Mana uang saya?" bentak Herman, matanya menyala penuh amarah.Bagas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Pak, saya mohon sabar dulu. Ladang saya memang sedang nggak baik, tapi saya berjanji akan memperbaiki semuanya.""Memperbaiki?" Herman tert