"Mas, apa kamu bermimpi juga?"
Napas Ratih tersengal-sengal. mimpi itu terasa begitu nyata. Bagas menatap mata Ratih yang terlihat ketakutan."Aku nggak yakin kita akan berhasil. Mimpi kita berhubung satu sama lain. Bagaimana bisa aku anggap ini hanya sebuah mimpi," kata Bagas.Keringat dingin mengucur deras dari keningnya."Mas, kalau malam ini kita gagal, kamu tahu apa yang akan terjadi, kan?" suara Ratih terdengar tegas, namun diwarnai ketakutan yang mendalam.Bagas menatap istrinya dalam-dalam, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang juga menguasainya. "Aku tahu, Ratih. Tapi kita tidak punya pilihan lain."Malam itu adalah malam yang telah dinantikan. Suasana desa terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah-olah alam menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Langit malam dipenuhi awan gelap, dan angin dingin berhembus perlahan, membawa rasa tegang ke setiap hati yang terlibat dalam ritual tersebut.K"Kyai, ada apa ini?" Ratih memegang lengan Kyai Ahmad dengan gemetar, matanya mencari penjelasan. Hembusan panas menggantikan angin malam. Genderowo melancarkan serangan mengerikan dalam kegelapan Kyai Ahmad menatap sekeliling dengan penuh waspada. "Ini serangan terakhirnya. Dia tahu kekuatannya hampir musnah, jadi dia akan menggunakan semua energi yang tersisa untuk menggagalkan ritual ini. Jangan takut. Tetaplah berada dalam lingkaran." Grrr...! Genderuwo menggeram dengan marah. Tubuhnya menjulang tinggi dan besar penuh kebencian. "Manusia lemah! Kalian pikir bisa menghancurkanku?" suaranya menggema, membuat jantung Bagas dan Ratih berdegup kencang. Bagas mencoba menenangkan dirinya, meskipun tubuhnya gemetar hebat. "Kyai, apa yang harus kita lakukan sekarang? Dia bertambah besar dan semakin kuat, jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya!" Kyai Ahmad memfokuskan pandangannya pada Genderuwo yang berdiri di tepi lingkaran pelindung. Mulut makhluk itu sedikit terbuka, dan dari
Ratih terpaku, rasa takut dan marah bercampur dalam hatinya. "Apa maksudmu, Mas? Apa yang kamu berikan?" tanyanya, matanya mulai berair. Bagas menunduk, tidak mampu menatap istrinya. "Aku memberikan ... bagian dari hidupku." Ratih mundur selangkah, tangannya gemetar. "Bagian dari hidupmu? Mas, apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan? Yang nggak aku tau?" Sebelum jawaban itu keluar, Genderuwo tiba-tiba tertawa keras, suaranya menggema seperti ejekan yang menusuk hati mereka semua. "Dia tidak akan bisa lari dari aku ... Tidak ada tempat untuk bersembunyi." Genderuwo mulai menyerang dengan kekuatan penuh. Angin kencang berputar-putar, memadamkan sebagian besar lilin yang mengelilingi lingkaran pelindung. Batu-batu besar beterbangan, menghantam tanah di sekitar mereka. Ratih memekik ketika salah satu batu nyaris mengenai dirinya. "Kyai, lingkarannya mulai retak!" serunya. Kyai Ahmad dengan sigap meraih segenggam garam dari kantongnya dan melemparkannya ke arah Genderuwo. "Atas nama
"Ini benar udah berakhir?" Bagas menghela napas panjang. Menghirup udara segar di pagi hari. Setelah Genderuwo lenyap, rumah itu kembali sunyi. Angin berhembus lembut, membawa kedamaian yang lama hilang. Ratih duduk di sudut ruangan. Tangan masih gemetar. Namun, hatinya mulai merasa sedikit lega. Bagas juga merasakan perubahan itu—ada rasa lega yang tak bisa dijelaskan. “Mas,” kata Ratih, suaranya serak setelah seluruh pertempuran itu. “Apa yang terjadi? Semua terasa ... berbeda. Seolah-olah dunia ini lebih tenang.” Bagas mengangguk pelan. “Ya, aku merasa begitu juga. Seperti ada sesuatu yang telah hilang, tapi entah apa itu. Tapi ... ada sesuatu yang masih mengganjal, juga!” Ratih menoleh padanya. “Apa maksudmu, Mas?” Bagas menarik napas panjang. “Aku merasa ... meskipun Genderuwo udah nggak ada lagi. Kayanya perjalanan kita belum selesai. Ada rasa kekosongan ya
Saat berada di dapur, Ratih membuka panci yang masih mengepul di atas kompor. Aroma kuat yang aneh langsung menyengat hidungnya, membuat alisnya berkerut. Tapi ketika melihat isi panci, jantungnya berdegup kencang. "Hah? Apa ini?" gumamnya dengan nada bingung. Daging berwarna merah gelap terendam dalam cairan yang kental, berbau tajam dan asing. Meskipun seharusnya menjijikkan, ada sesuatu yang justru menarik perhatiannya. Tiba-tiba, aroma itu terasa begitu menggoda, membangkitkan rasa lapar yang aneh dalam dirinya. Ratih menoleh ke sekeliling dapur, memastikan tidak ada siapa pun di sana. Hasratnya semakin kuat. "Apa mungkin ini ... enak?" bisiknya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Dengan ragu, dia mengambil sendok kayu dan menyendok sedikit daging itu. Tangan gemetar, tapi mulutnya tanpa sadar mulai terbuka. Saat daging itu menyentuh lidahnya, matan
“Mas,” kata Ratih pelan, memecah keheningan. “Apa kamu pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini?” Malam itu sunyi, rumah kembali tenang tanpa bayang Genderuwo. Ratih memandang bintang, sementara Bagas menyeruput teh hangat di sampingnya. Hening terasa seperti hadiah setelah semua ketegangan. Bagas tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke depan. “Nggak pernah. Kalau mengingat semua yang sudah kita lalui, rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Tapi sekarang, aku merasa seperti diberi kesempatan kedua untuk hidup.” Ratih mengangguk. Pikirannya melayang pada semua yang telah terjadi—perjalanan mereka mencari bahan ritual, pertempuran yang penuh bahaya, hingga pengorbanan besar yang mereka lakukan. Semua itu meninggalkan luka, tapi juga pelajaran yang tak ternilai. “Aku menyadari satu hal,” kata Ratih. “Bahwa hidup kita dulu terlalu mengeluh karena suatu keadaan."
Kyai Ahmad mengangguk pelan, memahami apa yang dirasakan Bagas. Beliau tahu, meskipun Genderuwo telah lenyap, pengaruhnya masih menyisakan jejak yang mencoba menggoyahkan pikiran dan jiwa mereka. “Bagas,” ujar Kyai Ahmad, nadanya tenang namun penuh ketegasan. “Apa yang kamu rasakan itu ujian. Sesuatu yang jahat selalu berusaha kembali, mencari celah untuk menguasai. Tapi ingat, kuncinya ada di dalam hatimu.” Bagas menatap Kyai dengan penuh rasa syukur, sementara Ratih tetap diam, pandangannya tertuju pada lantai. Kyai Ahmad memandang keduanya, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kalian telah melewati ujian yang sangat berat,” ujar Kyai Ahmad, suaranya penuh kebijaksanaan. “Kalian berhasil karena keteguhan hati dan niat baik. Itu adalah kemenangan terbesar yang bisa dicapai oleh manusia. Tapi perjalanan kalian belum selesai.” “Belum selesai, Kyai?” tanya Bagas, sedikit bingung. “Belum,” jawab Kyai Ahma
“Juragan Bagas!”Teriakan panik seorang petani terdengar memecah keheningan pagi. Dia berlari dengan napas tersengal-sengal ke arah Bagas yang sedang duduk di kursi rotan di depan rumah.“Ada apa?” tanya Bagas, bangkit dari kursinya. Wajahnya menunjukkan campuran rasa penasaran dan kekhawatiran.“Ladang di belakang, Juragan! Tanamannya hancur semua!” kata petani itu dengan suara gemetar.Bagas mengerutkan dahi. “Hancur? Maksudmu apa? Jelaskan lebih jelas!”“Semua tanaman layu, Juragan! Jagungnya kering, padinya tumbang, daunnya seperti terbakar. Padahal kemarin semuanya masih subur!”Tanpa membuang waktu, Bagas segera berjalan cepat menuju ladang di belakang rumahnya. Petani itu mengikuti di belakang, masih berusaha mengatur napasnya.Sesampainya di ladang, Bagas berhenti dengan mata terbelalak. Ladang yang kemarin terlihat hijau dan subur kini berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Pohon-pohon jagung yang dulu kokoh kini roboh, daunnya menguning dan kering. Padi yang biasanya
Bagas mencoba terlihat tenang dihadapan para petaninya. Dia tidak ingin situasi semakin sulit kalau mereka tahu bahwa itu karena pesugihan"Hm, kalau ini semua terungkap, bisa-bisa aku benar-benar dibakar hidup-hidup oleh warga desa," lirih Bagas, wajahnya tampak penuh kekhawatiran.Tiba-tiba, suara telepon rumah berbunyi nyaring.Rrring! Rrring!Bagas tersentak. Dia segera berjalan ke arah telepon dan mengangkatnya. "Halo! Siapa ini?" tanyanya dengan nada waspada."Pak Bagas, saya mau menghentikan kerja sama kita. Saya nggak akan lagi mengambil hasil panen dari ladang Anda," ujar suara pria di seberang telepon, nadanya tegas namun dingin.Bagas mengernyit, merasa terkejut sekaligus bingung. "Apa? Ada masalah apa, Pak? Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanyanya dengan suara agak meninggi."Maaf, Pak Bagas, ini keputusan saya. Saya nggak mau lagi terlibat kerja sama ini. Terima kasih."Tuuut...Telepon itu terputus begitu saja, sebelum Bagas sempat mendapat jawaban yang memuaskan. Dia men
"Mas aku tau ini semua sulit bagimu!",Namun, meskipun Ratih mencoba menyentuh hati Bagas, dia tahu suaminya butuh waktu untuk menerima dirinya yang sekarang. Kekosongan yang dirasakan Bagas perlahan menggerogoti hubungan mereka, menjauhkan mereka satu sama lain. Setiap malam, Ratih terbangun dengan perasaan kosong, merasa seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, meski mereka tinggal di atap yang sama.'Bahkan aku merasa diriku juga tidak baik-baik aja, Mas! Aku merasa aneh! Walaupun aku menguatkan kamu, tapi diriku tidak juga sekuat itu!' Suatu pagi, Ratih memutuskan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di sana, dia bertemu dengan seorang teman lamanya, Siti, yang sudah lama tak dia temui.Siti menatap Ratih dengan tatapan prihatin, seperti melihat sesuatu yang lebih dari sekadar wajah sahabat lamanya. Mereka duduk di teras rumah kontrakan sederhana milik Ratih, suasana sunyi hanya ditemani suara angin yang berhembus pelan, menciptakan rasa hampa di
Bagas duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, menatap foto lama yang terletak di meja. Foto itu menunjukkan mereka berdua di masa kejayaan—senyum lebar, penuh harapan, dan impian yang seolah tak terbatas. Namun kini, semua itu terasa jauh, seolah berada di kehidupan yang berbeda."Kenangan ini, menyenangkan tapi juga banyak penyesalan. Aku terlalu bodoh untuk bisa menganggap semua ini kebahagiaan. Nyatanya aku hanya membawakan penderitaan terhadap Ratih! Hm, memalukan!" Ratih masuk perlahan, membawa secangkir teh hangat. Dengan hati-hati, dia meletakkan secangkir teh di atas meja dan duduk di samping Bagas. Keheningan di antara mereka begitu terasa, meskipun mereka duduk bersebelahan. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun jarak fisik mereka begitu dekat."Mas," Ratih akhirnya bersuara, mencoba menjangkau suaminya. "Aku tahu ini sulit. Tapi kita masih punya satu sama lain."Bagas menggeleng pelan, suaranya serak dan penuh penyesalan. "Aku bahkan nggak pa
Beberapa hari kemudian, Bagas memutuskan pergi ke kota untuk mencoba berbicara dengan mantan rekan bisnisnya, berharap ada celah untuk memulai sesuatu yang baru. Namun, langkahnya terhenti ketika suara bisikan warga yang sedang bergunjing mencapai telinganya."Eh, itu si Bagas," bisik seorang pria paruh baya di pojok jalan, matanya melirik tajam ke arah Bagas yang berjalan dengan kepala menunduk. "Dulu dia sombong banget. Sekarang? Jatuh miskin, kayak orang nggak punya arah."Temannya menyahut dengan nada penuh ejekan. "Iya, karma. Kalau tamak dan mau menang sendiri, ya akhirnya begini. Aku denger-denger, ladangnya juga angker. Siapa yang mau beli?"Pria pertama terkekeh, matanya berkilat penuh kepuasan. "Bukan cuma soal ladang. Dulu kan katanya dia pesugihan, makanya sukses cepat. Sekarang semua berbalik. Dengar-dengar, setiap kejadian aneh di desa kita juga gara-gara ulah dia.""Benar. Orang kayak dia cuma bikin sial. Tapi anehnya, masih ada aja yang nganggap dia baik," tambah teman
"Benar-benar nggak bisa seperti dulu lagi," gumam Bagas, hampir tak terdengar.Dia kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu—pria yang pernah dihormati, disegani, dan menjadi tumpuan banyak orang. Kehilangan rumah, bisnis, dan kepercayaan dari warga desa membuatnya merasa seperti manusia yang tak berarti. Setiap langkah terasa berat, setiap napas seperti menambah beban yang tak pernah bisa lepas.Bagas membatin. "Apa gunanya aku sekarang? Semua yang ku bangun hancur. Rumah itu ... tanah itu ... bahkan harga diriku. Mereka semua benar, aku ini gagal. Bagaimana aku bisa menatap wajah Ratih lagi? Dia pasti kecewa ... Tapi, kenapa dia masih bertahan? Aku bahkan nggak pantas untuknya."Di matanya, dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelabu. Dia terjebak dalam lingkaran rasa bersalah dan keputusasaan."Andai aku berusaha dengan tenaga. Mungkin semua ini nggak akan hilang! Tapi, pesugihan itu juga sebagian dari tenaga dan pikiran. Aku juga merasa lelah. Aku udah pantaskan di
"Hm, enak! Astaga ini makanan paling enak!" Ratih jongkok di lantai, menghadap dinding kayu rumahnya yang kusam. Tangannya gemetar, namun mulutnya tidak berhenti mengunyah. Bau anyir samar tercium di udara. Mulutnya merah, bercak-bercak merah pekat juga menodai jemarinya."Daging ini benar-benar enak... Aku nggak sangka Mas Bagas makan makanan seenak ini tanpa bilang ke aku," gumamnya pelan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.Dia merobek sepotong lagi dari daging mentah di tangannya, mata Ratih berbinar seperti menemukan sesuatu yang memuaskan. Namun, kesenangannya segera berubah menjadi ketegangan ketika suara Bagas menggema dari dalam rumah."Ratih! Kamu di mana?" panggil Bagas, langkah kakinya semakin mendekat.Ratih tersentak. Ekspresi panik langsung tergambar di wajahnya. Dengan cepat, dia menyembunyikan potongan daging di balik kain usang yang ada di lantai dan mengusap mulutnya dengan air."Ratih?" Bagas muncul di pintu dapur, melihatnya berdiri kaku dengan tangan yang m
"Mas, tunggu dulu! Jawab pertanyaan ku sekarang!" Ratih memotong langkah Bagas, berdiri tegak di hadapannya. Matanya menatap tajam, mencari jawaban yang telah lama terpendam di dalam diri suaminya.Bagas berhenti sejenak, dan setelah beberapa detik hening, dia hanya mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tanpa menatap wajah Ratih. "Itu pasar gaib."Ratih terpaku. Perasaan cemas, bingung, dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Dia sudah merasakan ada yang aneh, tetapi tidak menyangka akan menghadapi kenyataan ini. "Pasar gaib? Mas, kamu nggak bilang kalau kita sudah terlibat dalam hal seperti ini!" suaranya bergetar, kesal.Bagas menundukkan kepala, tidak berani menatap istrinya. Dia merasa bersalah, tetapi di saat yang sama, ada rasa takut yang mendalam menguasai dirinya.Ratih menggertakkan giginya. "Tunjukkan uang yang diberikan pria tua itu!" perintahnya.Bagas terdiam sejenak, lalu dengan enggan mengeluarkan uang yang diterimanya dari pria tua itu. Begitu uang itu berada di t
"Udah lama nggak kemari, Nak Bagas."Suara parau itu terdengar begitu berat, seakan berasal dari jauh. Bagas menatap pria tua itu dengan jantung yang berdegup kencang, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya."I—iya, saya mencari Mbah!" jawab Bagas dengan sedikit gugup, berusaha menjaga ketenangannya.Pria tua itu menatap Ratih dengan pandangan yang dalam, seakan menilai setiap gerak-gerik tubuhnya. Ratih merasakan tatapan itu begitu tajam, bahkan lebih tajam daripada yang dia kira. Suatu perasaan tak nyaman mulai merayap di sepanjang tulang punggungnya.Pria tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke barang-barang yang dibawa Bagas. Dengan gerakan lambat, Bagas mulai menunjukkan barang-barang spiritualnya, benda-benda yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kendi, dupa, dan berbagai benda ritual lainnya.Pria tua itu memperhatikan setiap benda yang ditunjukkan, matanya penuh penilaian. Lalu, setelah beberapa saat, dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih berat dari sebel
"Mas, disini dingin!" Ratih menggigil, mencoba menghangatkan tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri. Bibirnya bergetar kedinginan, dan kakinya pun sedikit gemetar menahan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Meski malam sudah larut, hawa yang begitu dingin membuatnya merasa tidak nyaman.Bagas berjalan di depannya tanpa menunjukkan reaksi apapun. Langkahnya mantap dan terburu-buru, seakan dia tidak merasakan apa yang dirasakan istrinya. Wajahnya terfokus pada jalan gelap di depannya, matanya seperti menghindari pandangan Ratih yang penuh tanya."Mas, pasarnya mana?" Ratih akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu-ragu. Dia merasa tidak nyaman dengan kegelapan dan hawa dingin yang semakin menusuk."Sabar, sebentar lagi kita sampai!" jawab Bagas, suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada yang aneh. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa dipaksakan.Mereka terus berjalan di tengah kegelapan, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin aneh perasaan Ratih. Udara semak
"Hm, ini yang pernah aku lakukan..."Bagas memandang beberapa kendi dan dupa bekas ritual yang sering dia lakukan. Kenangan-kenangan itu kembali menghantui pikirannya, membawa dirinya ke masa-masa kelam yang sulit dilupakan."Aku serahkan semua jiwa-jiwa yang tersesat. Jiwa-jiwa yang berkhianat, jiwa-jiwa yang menentang, untuk kau makan. Kau beri aku harta melimpah. Ku kasih kau istriku untuk memenuhi hasratmu..."Bagas mengingat dengan jelas bacaan mantra yang pernah diucapkannya saat melakukan ritual tersebut. Dalam momen itu, jiwa Bagas merasa seperti dirasuki oleh kekuatan yang begitu besar, seolah-olah ada sesuatu yang menguasai tubuhnya.Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian besar ingatannya kini terasa samar dan menyusut, seolah dia terjebak dalam kabut yang sulit dipahami."Aku sudah janji sama Ratih... Tapi—waktu itu, nikmatnya nggak bisa digantikan. Harta dan tahta seakan berpihak padaku!" gumam Bagas, matanya kosong seiring pikirannya melayang ke masa lalu.Sambil sibu