Saat berada di dapur, Ratih membuka panci yang masih mengepul di atas kompor. Aroma kuat yang aneh langsung menyengat hidungnya, membuat alisnya berkerut. Tapi ketika melihat isi panci, jantungnya berdegup kencang. "Hah? Apa ini?" gumamnya dengan nada bingung. Daging berwarna merah gelap terendam dalam cairan yang kental, berbau tajam dan asing. Meskipun seharusnya menjijikkan, ada sesuatu yang justru menarik perhatiannya. Tiba-tiba, aroma itu terasa begitu menggoda, membangkitkan rasa lapar yang aneh dalam dirinya. Ratih menoleh ke sekeliling dapur, memastikan tidak ada siapa pun di sana. Hasratnya semakin kuat. "Apa mungkin ini ... enak?" bisiknya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Dengan ragu, dia mengambil sendok kayu dan menyendok sedikit daging itu. Tangan gemetar, tapi mulutnya tanpa sadar mulai terbuka. Saat daging itu menyentuh lidahnya, matan
“Mas,” kata Ratih pelan, memecah keheningan. “Apa kamu pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini?” Malam itu sunyi, rumah kembali tenang tanpa bayang Genderuwo. Ratih memandang bintang, sementara Bagas menyeruput teh hangat di sampingnya. Hening terasa seperti hadiah setelah semua ketegangan. Bagas tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke depan. “Nggak pernah. Kalau mengingat semua yang sudah kita lalui, rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Tapi sekarang, aku merasa seperti diberi kesempatan kedua untuk hidup.” Ratih mengangguk. Pikirannya melayang pada semua yang telah terjadi—perjalanan mereka mencari bahan ritual, pertempuran yang penuh bahaya, hingga pengorbanan besar yang mereka lakukan. Semua itu meninggalkan luka, tapi juga pelajaran yang tak ternilai. “Aku menyadari satu hal,” kata Ratih. “Bahwa hidup kita dulu terlalu mengeluh karena suatu keadaan."
Kyai Ahmad mengangguk pelan, memahami apa yang dirasakan Bagas. Beliau tahu, meskipun Genderuwo telah lenyap, pengaruhnya masih menyisakan jejak yang mencoba menggoyahkan pikiran dan jiwa mereka. “Bagas,” ujar Kyai Ahmad, nadanya tenang namun penuh ketegasan. “Apa yang kamu rasakan itu ujian. Sesuatu yang jahat selalu berusaha kembali, mencari celah untuk menguasai. Tapi ingat, kuncinya ada di dalam hatimu.” Bagas menatap Kyai dengan penuh rasa syukur, sementara Ratih tetap diam, pandangannya tertuju pada lantai. Kyai Ahmad memandang keduanya, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kalian telah melewati ujian yang sangat berat,” ujar Kyai Ahmad, suaranya penuh kebijaksanaan. “Kalian berhasil karena keteguhan hati dan niat baik. Itu adalah kemenangan terbesar yang bisa dicapai oleh manusia. Tapi perjalanan kalian belum selesai.” “Belum selesai, Kyai?” tanya Bagas, sedikit bingung. “Belum,” jawab Kyai Ahma
“Juragan Bagas!”Teriakan panik seorang petani terdengar memecah keheningan pagi. Dia berlari dengan napas tersengal-sengal ke arah Bagas yang sedang duduk di kursi rotan di depan rumah.“Ada apa?” tanya Bagas, bangkit dari kursinya. Wajahnya menunjukkan campuran rasa penasaran dan kekhawatiran.“Ladang di belakang, Juragan! Tanamannya hancur semua!” kata petani itu dengan suara gemetar.Bagas mengerutkan dahi. “Hancur? Maksudmu apa? Jelaskan lebih jelas!”“Semua tanaman layu, Juragan! Jagungnya kering, padinya tumbang, daunnya seperti terbakar. Padahal kemarin semuanya masih subur!”Tanpa membuang waktu, Bagas segera berjalan cepat menuju ladang di belakang rumahnya. Petani itu mengikuti di belakang, masih berusaha mengatur napasnya.Sesampainya di ladang, Bagas berhenti dengan mata terbelalak. Ladang yang kemarin terlihat hijau dan subur kini berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Pohon-pohon jagung yang dulu kokoh kini roboh, daunnya menguning dan kering. Padi yang biasanya
Bagas mencoba terlihat tenang dihadapan para petaninya. Dia tidak ingin situasi semakin sulit kalau mereka tahu bahwa itu karena pesugihan"Hm, kalau ini semua terungkap, bisa-bisa aku benar-benar dibakar hidup-hidup oleh warga desa," lirih Bagas, wajahnya tampak penuh kekhawatiran.Tiba-tiba, suara telepon rumah berbunyi nyaring.Rrring! Rrring!Bagas tersentak. Dia segera berjalan ke arah telepon dan mengangkatnya. "Halo! Siapa ini?" tanyanya dengan nada waspada."Pak Bagas, saya mau menghentikan kerja sama kita. Saya nggak akan lagi mengambil hasil panen dari ladang Anda," ujar suara pria di seberang telepon, nadanya tegas namun dingin.Bagas mengernyit, merasa terkejut sekaligus bingung. "Apa? Ada masalah apa, Pak? Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanyanya dengan suara agak meninggi."Maaf, Pak Bagas, ini keputusan saya. Saya nggak mau lagi terlibat kerja sama ini. Terima kasih."Tuuut...Telepon itu terputus begitu saja, sebelum Bagas sempat mendapat jawaban yang memuaskan. Dia men
"Maaf, Juragan. Saya ingin berhenti kerja," ujar salah satu petani dengan nada ragu, namun tegas.Bagas menghela napas panjang, menenangkan diri sebelum menjawab. "Kenapa? Apa karena gaji?" tanyanya, mencoba tetap tenang meski hatinya mulai resah.Para petani saling pandang, ragu sejenak sebelum salah satu dari mereka akhirnya memberanikan diri berbicara."Iya, Juragan. Salah satunya karena itu. Tapi ada alasan lain yang lebih besar," jawabnya dengan hati-hati.Bagas mengernyitkan dahi. "Alasan apa?"Petani itu menelan ludah, lalu berkata, "Kami tidak ingin bekerja tanpa ada hasil, Juragan. Tanaman tidak tumbuh, ladang semakin rusak, dan kami merasa seperti menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia."Bagas semakin penasaran. "Maksudmu apa? Jelaskan lebih jelas!"Petani lainnya maju dan mulai menjelaskan dengan lebih detail. "Begini, Juragan. Kami sudah mencoba segalanya. Bibit baru sudah kami tanam. Tanah sudah kami pupuki. Tapi tetap saja, ladang itu seperti ditolak oleh alam. Tanahn
Dia menarik napas panjang. Matanya terpaku pada angka-angka utang. Angka itu seharusnya lunas, tapi kini membengkak. Panik mulai merayap. Seperti api, perlahan membakar kepercayaannya."Bagaimana bisa semua ini terjadi? Bukannya sudah aku bayar? Kenapa rasanya malah makin besar?" Bagas mengernyitkan dahi, meraih dokumen lain untuk diperiksa. Tangannya gemetar saat membalik halaman demi halaman, mencoba mencari kesalahan atau jawaban yang masuk akal.Namun, semakin dia membaca, semakin tidak jelas semua ini. Seolah-olah ada kekuatan yang mempermainkannya, membuat segalanya berantakan. "Aku nggak bisa terus seperti ini. Harus ada jalan keluar ... harus!" bisiknya, penuh keputusasaan.Bagas merasakan semua yang istimewa menjadi hal yang paling memalukan. "Kenapa bisa seperti ini?" gumamnya, suaranya serak. Bagas merasa hidupnya benar-benar hancur. Bukan di tangan orang lain, melainkan tangannya sendiri."Sial," katanya dalam hati, menatap surat-surat itu. Rasa cemas mulai menyerangny
Tok! Tok! Tok!Ketukan keras di pintu memecah kesunyian pagi. Bagas mendesah berat. Dari dalam rumah, dia memandang ke arah ladangnya yang gersang, menyadari bahwa semuanya semakin hancur. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya lelah.Saat pintu dibuka, seorang pria berdiri dengan wajah merah padam. Itu Herman, salah satu pelanggan setianya dulu."Pak Bagas! Kembalikan uang saya!" seru Herman dengan suara menggema, tanpa basa-basi.Bagas tertegun. Dia mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Pak Herman, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba meminta uang kembali?" tanyanya, meski dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini."Jangan pura-pura nggak tahu, Pak! Saya sudah kasih uang muka untuk pakan dan buah dari ladang Anda. Tapi hasilnya nol! Mana uang saya?" bentak Herman, matanya menyala penuh amarah.Bagas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Pak, saya mohon sabar dulu. Ladang saya memang sedang nggak baik, tapi saya berjanji akan memperbaiki semuanya.""Memperbaiki?" Herman tert
"Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar
"Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok
"Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a
"“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik
Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku
“Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua