Dia menarik napas panjang. Matanya terpaku pada angka-angka utang. Angka itu seharusnya lunas, tapi kini membengkak. Panik mulai merayap. Seperti api, perlahan membakar kepercayaannya."Bagaimana bisa semua ini terjadi? Bukannya sudah aku bayar? Kenapa rasanya malah makin besar?" Bagas mengernyitkan dahi, meraih dokumen lain untuk diperiksa. Tangannya gemetar saat membalik halaman demi halaman, mencoba mencari kesalahan atau jawaban yang masuk akal.Namun, semakin dia membaca, semakin tidak jelas semua ini. Seolah-olah ada kekuatan yang mempermainkannya, membuat segalanya berantakan. "Aku nggak bisa terus seperti ini. Harus ada jalan keluar ... harus!" bisiknya, penuh keputusasaan.Bagas merasakan semua yang istimewa menjadi hal yang paling memalukan. "Kenapa bisa seperti ini?" gumamnya, suaranya serak. Bagas merasa hidupnya benar-benar hancur. Bukan di tangan orang lain, melainkan tangannya sendiri."Sial," katanya dalam hati, menatap surat-surat itu. Rasa cemas mulai menyerangny
Tok! Tok! Tok!Ketukan keras di pintu memecah kesunyian pagi. Bagas mendesah berat. Dari dalam rumah, dia memandang ke arah ladangnya yang gersang, menyadari bahwa semuanya semakin hancur. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya lelah.Saat pintu dibuka, seorang pria berdiri dengan wajah merah padam. Itu Herman, salah satu pelanggan setianya dulu."Pak Bagas! Kembalikan uang saya!" seru Herman dengan suara menggema, tanpa basa-basi.Bagas tertegun. Dia mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Pak Herman, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba meminta uang kembali?" tanyanya, meski dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini."Jangan pura-pura nggak tahu, Pak! Saya sudah kasih uang muka untuk pakan dan buah dari ladang Anda. Tapi hasilnya nol! Mana uang saya?" bentak Herman, matanya menyala penuh amarah.Bagas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Pak, saya mohon sabar dulu. Ladang saya memang sedang nggak baik, tapi saya berjanji akan memperbaiki semuanya.""Memperbaiki?" Herman tert
"Bayar upah kami!" Kerumunan petani berkumpul di depan rumah Bagas, membawa berbagai benda tajam seperti parang dan cangkul. Wajah mereka tampak geram, suara mereka menggema keras di pagi yang mencekam. "Juragan! Mana upah kami? Kami butuh makan!" teriak salah seorang dari mereka, disambut sorakan setuju dari yang lain. Para pekerja itu telah berbulan-bulan tidak menerima gaji, dan kesabaran mereka akhirnya habis. Usaha Bagas yang terpuruk membuatnya tidak mampu memenuhi kewajibannya, tetapi para petani tidak ingin tahu. Di dalam rumah, Ratih mengintip dari sela-sela jendela dengan wajah cemas. Suara teriakan dan ancaman di luar semakin membuat hatinya berdebar kencang. "Mas, mereka sudah di depan rumah! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ratih dengan suara bergetar, menoleh ke arah Bagas yang duduk diam di ruang tamu. Bagas hanya bisa menghela napas panjang. Kepalanya tertunduk, pikirannya kalut mencari jawaban. Tapi kenyataan menamparnya keras—dia benar-benar tidak tahu harus
Dia berbalik, meninggalkan Bagas yang terpaku di tempatnya, terguncang oleh kenyataan yang dia tahu benar namun enggan dia terima. Bagas mencoba mendekati Ratih, tapi perempuan itu mundur. Air mata menggenang di matanya, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Bagas menatap Ratih dengan lembut, meski matanya menyiratkan penyesalan. "Aku nggak mau melihatmu hidup seperti ini, Ratih. Kamu berhak mendapatkan lebih," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Ratih langsung menyela, suaranya meninggi penuh emosi. "Yang aku inginkan hanya hidup tenang, Mas! Bukan rumah besar, bukan emas di mana-mana!" Dia menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Aku cuma mau kita hidup tanpa bayang-bayang kutukan!" Bagas mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan tajam istrinya. "Aku melakukannya demi kita—" gumamnya hampir tidak terdengar. Ratih tertawa kecil, namun terdengar sinis. "Demi kita?" tanyanya dengan nada getir. "Nggak, Mas. Kamu
"Buka pintu!"Gedoran keras di pintu depan membuat suasana malam yang sunyi berubah tegang. Bagas, yang duduk termenung di kursi tua, mendongak dengan raut kesal. Namun, dia tahu siapa yang ada di balik pintu itu. Dengan berat hati, Bagas bangkit dan berjalan ke arah pintu."Bagas! Buka sekarang juga atau aku dobrak!" Suara pria dari luar terdengar makin keras.Ratih, yang sedang di dapur, menghentikan aktivitasnya. "Siapa itu, Mas?" tanyanya cemas.Bagas tidak menjawab. Dia membuka pintu sedikit, tapi sebelum Bagas sempat berkata apa-apa, sebuah tinju mendarat keras di wajahnya.Buk!Bagas terhuyung ke belakang, memegangi pipinya yang kini terasa panas."Mas!" Ratih berlari ke ruang tamu, terkejut melihat suaminya terjatuh. Dia mendekati pria bertubuh besar yang berdiri di ambang pintu. "Kenapa kamu pukul suami saya?!" suaranya penuh amarah, meskipun dia sendiri terlihat gemetar.Namun, bukannya menjawab, pria itu justru melayangkan tamparan ke wajah Ratih. Ratih jatuh ke lantai, ter
"Kembalikan hak kami!"Suara keras itu menggema di halaman rumah Bagas. Sekelompok petani mulai berdatangan, membawa obor di tangan mereka. Wajah mereka dipenuhi amarah, namun juga kelelahan dari pekerjaan yang tak kunjung dihargai."Mana Juragan? Katanya malam ini upah kami dibayar!" seru salah seorang petani, matanya tajam menatap ke arah pintu rumah Bagas.Bagas keluar dengan langkah berat, mencoba menenangkan situasi yang semakin memanas. "Tenang, tenang! Semua akan aku bagi! Kalian cuma perlu sedikit sabar," katanya dengan suara lantang, meskipun nada suaranya bergetar.Para petani mulai mereda, tapi tak sepenuhnya tenang. Bagas lalu meminta mereka untuk berbaris di depan rumahnya. Namun, salah seorang petani tiba-tiba bersuara, menatap kondisi rumah Bagas yang terlihat berantakan. "Juragan, rumahnya habis kerampokan ya?" tanyanya polos.Bagas terkejut, namun cepat-cepat menjawab singkat, "Bu—bukan!" Dia berusaha mempertahankan wibawanya meskipun hatinya penuh kegelisahan.Terden
"Hm, ini yang pernah aku lakukan..."Bagas memandang beberapa kendi dan dupa bekas ritual yang sering dia lakukan. Kenangan-kenangan itu kembali menghantui pikirannya, membawa dirinya ke masa-masa kelam yang sulit dilupakan."Aku serahkan semua jiwa-jiwa yang tersesat. Jiwa-jiwa yang berkhianat, jiwa-jiwa yang menentang, untuk kau makan. Kau beri aku harta melimpah. Ku kasih kau istriku untuk memenuhi hasratmu..."Bagas mengingat dengan jelas bacaan mantra yang pernah diucapkannya saat melakukan ritual tersebut. Dalam momen itu, jiwa Bagas merasa seperti dirasuki oleh kekuatan yang begitu besar, seolah-olah ada sesuatu yang menguasai tubuhnya.Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian besar ingatannya kini terasa samar dan menyusut, seolah dia terjebak dalam kabut yang sulit dipahami."Aku sudah janji sama Ratih... Tapi—waktu itu, nikmatnya nggak bisa digantikan. Harta dan tahta seakan berpihak padaku!" gumam Bagas, matanya kosong seiring pikirannya melayang ke masa lalu.Sambil sibu
"Mas, disini dingin!" Ratih menggigil, mencoba menghangatkan tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri. Bibirnya bergetar kedinginan, dan kakinya pun sedikit gemetar menahan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Meski malam sudah larut, hawa yang begitu dingin membuatnya merasa tidak nyaman.Bagas berjalan di depannya tanpa menunjukkan reaksi apapun. Langkahnya mantap dan terburu-buru, seakan dia tidak merasakan apa yang dirasakan istrinya. Wajahnya terfokus pada jalan gelap di depannya, matanya seperti menghindari pandangan Ratih yang penuh tanya."Mas, pasarnya mana?" Ratih akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu-ragu. Dia merasa tidak nyaman dengan kegelapan dan hawa dingin yang semakin menusuk."Sabar, sebentar lagi kita sampai!" jawab Bagas, suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada yang aneh. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa dipaksakan.Mereka terus berjalan di tengah kegelapan, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin aneh perasaan Ratih. Udara semak
"Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar
"Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok
"Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a
"“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik
Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku
“Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua