"Mas, disini dingin!" Ratih menggigil, mencoba menghangatkan tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri. Bibirnya bergetar kedinginan, dan kakinya pun sedikit gemetar menahan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Meski malam sudah larut, hawa yang begitu dingin membuatnya merasa tidak nyaman.Bagas berjalan di depannya tanpa menunjukkan reaksi apapun. Langkahnya mantap dan terburu-buru, seakan dia tidak merasakan apa yang dirasakan istrinya. Wajahnya terfokus pada jalan gelap di depannya, matanya seperti menghindari pandangan Ratih yang penuh tanya."Mas, pasarnya mana?" Ratih akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu-ragu. Dia merasa tidak nyaman dengan kegelapan dan hawa dingin yang semakin menusuk."Sabar, sebentar lagi kita sampai!" jawab Bagas, suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada yang aneh. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa dipaksakan.Mereka terus berjalan di tengah kegelapan, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin aneh perasaan Ratih. Udara semak
"Udah lama nggak kemari, Nak Bagas."Suara parau itu terdengar begitu berat, seakan berasal dari jauh. Bagas menatap pria tua itu dengan jantung yang berdegup kencang, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya."I—iya, saya mencari Mbah!" jawab Bagas dengan sedikit gugup, berusaha menjaga ketenangannya.Pria tua itu menatap Ratih dengan pandangan yang dalam, seakan menilai setiap gerak-gerik tubuhnya. Ratih merasakan tatapan itu begitu tajam, bahkan lebih tajam daripada yang dia kira. Suatu perasaan tak nyaman mulai merayap di sepanjang tulang punggungnya.Pria tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke barang-barang yang dibawa Bagas. Dengan gerakan lambat, Bagas mulai menunjukkan barang-barang spiritualnya, benda-benda yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kendi, dupa, dan berbagai benda ritual lainnya.Pria tua itu memperhatikan setiap benda yang ditunjukkan, matanya penuh penilaian. Lalu, setelah beberapa saat, dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih berat dari sebel
"Mas, tunggu dulu! Jawab pertanyaan ku sekarang!" Ratih memotong langkah Bagas, berdiri tegak di hadapannya. Matanya menatap tajam, mencari jawaban yang telah lama terpendam di dalam diri suaminya.Bagas berhenti sejenak, dan setelah beberapa detik hening, dia hanya mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tanpa menatap wajah Ratih. "Itu pasar gaib."Ratih terpaku. Perasaan cemas, bingung, dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Dia sudah merasakan ada yang aneh, tetapi tidak menyangka akan menghadapi kenyataan ini. "Pasar gaib? Mas, kamu nggak bilang kalau kita sudah terlibat dalam hal seperti ini!" suaranya bergetar, kesal.Bagas menundukkan kepala, tidak berani menatap istrinya. Dia merasa bersalah, tetapi di saat yang sama, ada rasa takut yang mendalam menguasai dirinya.Ratih menggertakkan giginya. "Tunjukkan uang yang diberikan pria tua itu!" perintahnya.Bagas terdiam sejenak, lalu dengan enggan mengeluarkan uang yang diterimanya dari pria tua itu. Begitu uang itu berada di t
"Hm, enak! Astaga ini makanan paling enak!" Ratih jongkok di lantai, menghadap dinding kayu rumahnya yang kusam. Tangannya gemetar, namun mulutnya tidak berhenti mengunyah. Bau anyir samar tercium di udara. Mulutnya merah, bercak-bercak merah pekat juga menodai jemarinya."Daging ini benar-benar enak... Aku nggak sangka Mas Bagas makan makanan seenak ini tanpa bilang ke aku," gumamnya pelan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.Dia merobek sepotong lagi dari daging mentah di tangannya, mata Ratih berbinar seperti menemukan sesuatu yang memuaskan. Namun, kesenangannya segera berubah menjadi ketegangan ketika suara Bagas menggema dari dalam rumah."Ratih! Kamu di mana?" panggil Bagas, langkah kakinya semakin mendekat.Ratih tersentak. Ekspresi panik langsung tergambar di wajahnya. Dengan cepat, dia menyembunyikan potongan daging di balik kain usang yang ada di lantai dan mengusap mulutnya dengan air."Ratih?" Bagas muncul di pintu dapur, melihatnya berdiri kaku dengan tangan yang m
"Benar-benar nggak bisa seperti dulu lagi," gumam Bagas, hampir tak terdengar.Dia kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu—pria yang pernah dihormati, disegani, dan menjadi tumpuan banyak orang. Kehilangan rumah, bisnis, dan kepercayaan dari warga desa membuatnya merasa seperti manusia yang tak berarti. Setiap langkah terasa berat, setiap napas seperti menambah beban yang tak pernah bisa lepas.Bagas membatin. "Apa gunanya aku sekarang? Semua yang ku bangun hancur. Rumah itu ... tanah itu ... bahkan harga diriku. Mereka semua benar, aku ini gagal. Bagaimana aku bisa menatap wajah Ratih lagi? Dia pasti kecewa ... Tapi, kenapa dia masih bertahan? Aku bahkan nggak pantas untuknya."Di matanya, dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelabu. Dia terjebak dalam lingkaran rasa bersalah dan keputusasaan."Andai aku berusaha dengan tenaga. Mungkin semua ini nggak akan hilang! Tapi, pesugihan itu juga sebagian dari tenaga dan pikiran. Aku juga merasa lelah. Aku udah pantaskan di
Beberapa hari kemudian, Bagas memutuskan pergi ke kota untuk mencoba berbicara dengan mantan rekan bisnisnya, berharap ada celah untuk memulai sesuatu yang baru. Namun, langkahnya terhenti ketika suara bisikan warga yang sedang bergunjing mencapai telinganya."Eh, itu si Bagas," bisik seorang pria paruh baya di pojok jalan, matanya melirik tajam ke arah Bagas yang berjalan dengan kepala menunduk. "Dulu dia sombong banget. Sekarang? Jatuh miskin, kayak orang nggak punya arah."Temannya menyahut dengan nada penuh ejekan. "Iya, karma. Kalau tamak dan mau menang sendiri, ya akhirnya begini. Aku denger-denger, ladangnya juga angker. Siapa yang mau beli?"Pria pertama terkekeh, matanya berkilat penuh kepuasan. "Bukan cuma soal ladang. Dulu kan katanya dia pesugihan, makanya sukses cepat. Sekarang semua berbalik. Dengar-dengar, setiap kejadian aneh di desa kita juga gara-gara ulah dia.""Benar. Orang kayak dia cuma bikin sial. Tapi anehnya, masih ada aja yang nganggap dia baik," tambah teman
Bagas duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, menatap foto lama yang terletak di meja. Foto itu menunjukkan mereka berdua di masa kejayaan—senyum lebar, penuh harapan, dan impian yang seolah tak terbatas. Namun kini, semua itu terasa jauh, seolah berada di kehidupan yang berbeda."Kenangan ini, menyenangkan tapi juga banyak penyesalan. Aku terlalu bodoh untuk bisa menganggap semua ini kebahagiaan. Nyatanya aku hanya membawakan penderitaan terhadap Ratih! Hm, memalukan!" Ratih masuk perlahan, membawa secangkir teh hangat. Dengan hati-hati, dia meletakkan secangkir teh di atas meja dan duduk di samping Bagas. Keheningan di antara mereka begitu terasa, meskipun mereka duduk bersebelahan. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun jarak fisik mereka begitu dekat."Mas," Ratih akhirnya bersuara, mencoba menjangkau suaminya. "Aku tahu ini sulit. Tapi kita masih punya satu sama lain."Bagas menggeleng pelan, suaranya serak dan penuh penyesalan. "Aku bahkan nggak pa
"Mas aku tau ini semua sulit bagimu!",Namun, meskipun Ratih mencoba menyentuh hati Bagas, dia tahu suaminya butuh waktu untuk menerima dirinya yang sekarang. Kekosongan yang dirasakan Bagas perlahan menggerogoti hubungan mereka, menjauhkan mereka satu sama lain. Setiap malam, Ratih terbangun dengan perasaan kosong, merasa seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, meski mereka tinggal di atap yang sama.'Bahkan aku merasa diriku juga tidak baik-baik aja, Mas! Aku merasa aneh! Walaupun aku menguatkan kamu, tapi diriku tidak juga sekuat itu!' Suatu pagi, Ratih memutuskan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di sana, dia bertemu dengan seorang teman lamanya, Siti, yang sudah lama tak dia temui.Siti menatap Ratih dengan tatapan prihatin, seperti melihat sesuatu yang lebih dari sekadar wajah sahabat lamanya. Mereka duduk di teras rumah kontrakan sederhana milik Ratih, suasana sunyi hanya ditemani suara angin yang berhembus pelan, menciptakan rasa hampa di
"Kamu itu bukan anakku!" Suara Ratih melengking, dipenuhi amarah dan ketakutan. Napasnya memburu saat menatap kedua anaknya yang berdiri di samping ranjang dengan tatapan kosong. Tubuh mereka kecil, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka—sesuatu yang membuat Ratih semakin muak. Siapa yang ingin memiliki anak dengan wujud seperti setan? Anak-anak yang selama ini menghantui hidupnya? "Kalian lihat apa?! Jangan harap aku akan menyusui kalian lagi!" Ratih meluapkan kekesalannya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kepanikan. Namun, kemarahan itu tak berhenti hanya dengan kata-kata. Ratih mulai kehilangan kendali. Dalam kepanikan yang membutakannya, tangannya terangkat—dan tanpa ragu, dia mencengkram Jagat dan Kala dengan kasar. PLAK! Tangan Ratih menampar tubuh kecil mereka. Jagat dan Kala menangis keras, suara mereka melengking memenuhi kamar. Bagas yang tengah berbaring di ruang tamu sontak terbangun. Jantungnya berdebar ketika mendengar suara tangisan anak-anakn
"Ngapain kamu ke sini, Mas?"Langkah Bagas terhenti ketika Ratih melihatnya berada di rumah kontrakannya. Tanpa berkata apa pun, Bagas hanya menatap dua anak kembarnya."Apa kamu sudah menemukan nama untuk anak kembar kita?" tanya Bagas.Ratih mengerutkan dahi. "Anak kita? Jelas-jelas mereka bukan seperti manusia, Mas!""Ratih, sudahlah, cukup! Mau ini anakku atau bukan, aku tetap akan menganggap mereka anakku! Karena aku tahu ini adalah kesalahanku!" jawab Bagas dengan tegas.Ratih terdiam. Hatinya belum bisa menerima keberadaan anak kembar mereka, terlebih lagi anak laki-laki itu."Terserah. Mau kasih nama apa, aku nggak peduli!" sahut Ratih sambil mengalihkan pandangannya.Bagas hanya bisa diam. Dia tahu benar perasaan istrinya yang masih belum bisa menerima anak-anak mereka."Jagat Mayar, untuk anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, aku beri nama Kala Sundari," ucap Bagas sambil tersenyum memandang kedua anaknya.Ratih masih memalingkan wajahnya. Namun, dalam hatinya perlahan m
"Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul
"Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar
"Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l
"Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber
Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang
Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit
"Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya