"Ratih, kamu sadar kan? Mereka semua menghindari kita."Bagas berdiri di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, menghindari tatapan Ratih."Apa yang kita lakukan sampai mereka begitu takut dekat dengan kita?" lanjutnya dengan suara hampir putus asa.Ratih menunduk, menahan emosinya. "Kita nggak bisa kontrol apa yang orang lain pikirkan, Mas."Bagas berbalik, wajahnya dipenuhi amarah yang terkendali. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Terus seperti ini, terasing di rumah yang semakin rapuh?"Ratih menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita nggak akan selamanya terperangkap di sini, Mas. Kita hanya perlu waktu. Waktu untuk bangkit.""Tapi bagaimana kalau waktu itu nggak datang?" Bagas menyahut, suara penuh keraguan.Suasana desa terasa dingin, meski matahari bersinar cerah. Setiap kali Ratih atau Bagas mencoba keluar rumah, pandangan sinis dan bisikan warga mengikuti mereka. Kehilangan harta benda telah memisahkan mereka dari status sosial yang dulu tinggi, sementa
Di salah satu warung kopi desa, suasana santai berubah menjadi obrolan serius ketika beberapa warga mulai membahas keluarga Bagas.Seorang pria muda menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu dan berbisik pelan, "Aku dengar mereka sampai jual ladang dan rumah mewahnya. Benar-benar habis semuanya. Kasihan juga, sih."Bapak-bapak berkumis yang sedang menyeruput kopi, meletakkan cangkirnya dan mendesah. "Tapi ya, itu pelajaran buat kita semua. Jangan serakah. Lagipula, kamu tau cerita tentang kakeknya Bagas, kan?"Pria muda mengernyit penasaran. "Cerita yang mana?"Bapak tua mulai mendekatkan tubuhnya, seolah takut ada yang mendengar. "Konon, dia dulu pernah bermain dengan ilmu hitam. Katanya sih, dia minta kekayaan dengan cara nggak wajar."Warga yang lainnya yang dari tadi diam, tiba-tiba menimpali. "Mungkin ini balasannya. Kalau bukan sekarang, ya, turunnya ke keturunan."Pria muda itu mengangguk serius. "Apa pun itu, keluarganya memang lagi diuji habis-habisan. Aku cuma berharap mereka bi
"Hentikan... Bukan aku! Bukan aku!"Jeritan Bagas menggema, memecah keheningan siang itu. Suara itu terdengar hingga keluar rumah, membuat Ratih yang sedang menyapu halaman tertegun. Dia segera menghentikan pekerjaannya dan bergegas masuk ke dalam.Pintu rumah yang setengah terbuka memperlihatkan pemandangan yang membuat Ratih kaget. Barang-barang berantakan—kursi terjungkal, pecahan gelas berserakan di lantai, dan meja kecil yang biasanya rapi kini terbalik. Di tengah kekacauan itu, Bagas duduk meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat."Mas, kamu kenapa?!" Ratih mendekatinya dengan hati-hati, tetapi Bagas tidak menjawab. Matanya melotot ke satu titik, seolah-olah ada sesuatu yang hanya bisa dia lihat."Tolong ... jangan dekati aku ...." Bagas bergumam lirih, tangannya menutup wajah.Ratih mencoba menyentuh bahunya, tetapi Bagas tiba-tiba menjerit keras. "Aku bilang jangan dekati aku! Jangan bawa mereka ke sini! Aku nggak sanggup lagi!"Ratih mundur sejenak, hatinya kalut. B
"Orang gila ... orang gila!"Teriakan anak-anak kecil itu mengganggu Bagas yang sedang asik menghisap rokok di depan rumahnya. Suasana desa yang sunyi seketika pecah oleh suara mereka yang riuh. Bagas mengangkat wajahnya sedikit, menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah tidak peduli. Namun, di balik matanya yang suram, ada kebencian yang tersirat. Dunia ini tak lagi memberi tempat baginya."Eh, itu loh orang gila baru!" salah seorang anak laki-laki berteriak dengan tertawa nakal."Wes, lempar batu!" sahut temannya yang lain."Ayo-ayo!" Anak-anak itu makin semangat, seakan menemukan hiburan dalam penderitaan orang lain.Buk! Buk!Batu-batu kecil melayang ke tubuh Bagas. Dia tak bergerak, hanya diam dan menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. Rasa sakit dari batu-batu yang menghantam tubuhnya tidak menggerakkannya sedikit pun. Ketika sebuah batu hampir mengenai wajahnya, Bagas akhirnya berdiri dengan perlahan, menekan rokok yang masih menyala itu di kakinya.Namun, sebelum
Rumah kecil di pinggir desa itu sunyi, tapi penuh ketegangan. Bagas bukan lagi pria tangguh seperti dulu. Hidup yang berat telah meruntuhkannya. Dia terperangkap dalam bayang-bayang kegagalan.Prang!Ratih sedang memasak di dapur ketika terdengar suara benda pecah dari ruang tamu. Dia berlari ke sana dan melihat Bagas melemparkan vas bunga ke dinding. Pecahan vas berserakan di lantai, dan Bagas berdiri dengan napas memburu, matanya merah oleh amarah.Ratih terkejut melihat suaminya yang mengamuk di ruang tamu. "Mas, apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada panik.Bagas berteriak, suaranya dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. "Ini semua salah mereka! Salah dunia ini! Kenapa semua orang menghancurkan hidupku?"Ratih mencoba mendekati suaminya dengan hati-hati. "Mas, tenang. Marah seperti ini nggak akan menyelesaikan masalah."Namun, Bagas menatapnya tajam sambil menunjuk dengan jari yang gemetar. "Kamu nggak ngerti, Ratih. Kamu nggak kehilangan harga dirimu seperti aku."Ratih terdi
Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi
Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.Baga
“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma
Rumah kecil di pinggir desa itu sunyi, tapi penuh ketegangan. Bagas bukan lagi pria tangguh seperti dulu. Hidup yang berat telah meruntuhkannya. Dia terperangkap dalam bayang-bayang kegagalan.Prang!Ratih sedang memasak di dapur ketika terdengar suara benda pecah dari ruang tamu. Dia berlari ke sana dan melihat Bagas melemparkan vas bunga ke dinding. Pecahan vas berserakan di lantai, dan Bagas berdiri dengan napas memburu, matanya merah oleh amarah.Ratih terkejut melihat suaminya yang mengamuk di ruang tamu. "Mas, apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada panik.Bagas berteriak, suaranya dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. "Ini semua salah mereka! Salah dunia ini! Kenapa semua orang menghancurkan hidupku?"Ratih mencoba mendekati suaminya dengan hati-hati. "Mas, tenang. Marah seperti ini nggak akan menyelesaikan masalah."Namun, Bagas menatapnya tajam sambil menunjuk dengan jari yang gemetar. "Kamu nggak ngerti, Ratih. Kamu nggak kehilangan harga dirimu seperti aku."Ratih terdi
"Orang gila ... orang gila!"Teriakan anak-anak kecil itu mengganggu Bagas yang sedang asik menghisap rokok di depan rumahnya. Suasana desa yang sunyi seketika pecah oleh suara mereka yang riuh. Bagas mengangkat wajahnya sedikit, menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah tidak peduli. Namun, di balik matanya yang suram, ada kebencian yang tersirat. Dunia ini tak lagi memberi tempat baginya."Eh, itu loh orang gila baru!" salah seorang anak laki-laki berteriak dengan tertawa nakal."Wes, lempar batu!" sahut temannya yang lain."Ayo-ayo!" Anak-anak itu makin semangat, seakan menemukan hiburan dalam penderitaan orang lain.Buk! Buk!Batu-batu kecil melayang ke tubuh Bagas. Dia tak bergerak, hanya diam dan menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. Rasa sakit dari batu-batu yang menghantam tubuhnya tidak menggerakkannya sedikit pun. Ketika sebuah batu hampir mengenai wajahnya, Bagas akhirnya berdiri dengan perlahan, menekan rokok yang masih menyala itu di kakinya.Namun, sebelum
"Hentikan... Bukan aku! Bukan aku!"Jeritan Bagas menggema, memecah keheningan siang itu. Suara itu terdengar hingga keluar rumah, membuat Ratih yang sedang menyapu halaman tertegun. Dia segera menghentikan pekerjaannya dan bergegas masuk ke dalam.Pintu rumah yang setengah terbuka memperlihatkan pemandangan yang membuat Ratih kaget. Barang-barang berantakan—kursi terjungkal, pecahan gelas berserakan di lantai, dan meja kecil yang biasanya rapi kini terbalik. Di tengah kekacauan itu, Bagas duduk meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat."Mas, kamu kenapa?!" Ratih mendekatinya dengan hati-hati, tetapi Bagas tidak menjawab. Matanya melotot ke satu titik, seolah-olah ada sesuatu yang hanya bisa dia lihat."Tolong ... jangan dekati aku ...." Bagas bergumam lirih, tangannya menutup wajah.Ratih mencoba menyentuh bahunya, tetapi Bagas tiba-tiba menjerit keras. "Aku bilang jangan dekati aku! Jangan bawa mereka ke sini! Aku nggak sanggup lagi!"Ratih mundur sejenak, hatinya kalut. B
Di salah satu warung kopi desa, suasana santai berubah menjadi obrolan serius ketika beberapa warga mulai membahas keluarga Bagas.Seorang pria muda menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu dan berbisik pelan, "Aku dengar mereka sampai jual ladang dan rumah mewahnya. Benar-benar habis semuanya. Kasihan juga, sih."Bapak-bapak berkumis yang sedang menyeruput kopi, meletakkan cangkirnya dan mendesah. "Tapi ya, itu pelajaran buat kita semua. Jangan serakah. Lagipula, kamu tau cerita tentang kakeknya Bagas, kan?"Pria muda mengernyit penasaran. "Cerita yang mana?"Bapak tua mulai mendekatkan tubuhnya, seolah takut ada yang mendengar. "Konon, dia dulu pernah bermain dengan ilmu hitam. Katanya sih, dia minta kekayaan dengan cara nggak wajar."Warga yang lainnya yang dari tadi diam, tiba-tiba menimpali. "Mungkin ini balasannya. Kalau bukan sekarang, ya, turunnya ke keturunan."Pria muda itu mengangguk serius. "Apa pun itu, keluarganya memang lagi diuji habis-habisan. Aku cuma berharap mereka bi
"Ratih, kamu sadar kan? Mereka semua menghindari kita."Bagas berdiri di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, menghindari tatapan Ratih."Apa yang kita lakukan sampai mereka begitu takut dekat dengan kita?" lanjutnya dengan suara hampir putus asa.Ratih menunduk, menahan emosinya. "Kita nggak bisa kontrol apa yang orang lain pikirkan, Mas."Bagas berbalik, wajahnya dipenuhi amarah yang terkendali. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Terus seperti ini, terasing di rumah yang semakin rapuh?"Ratih menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita nggak akan selamanya terperangkap di sini, Mas. Kita hanya perlu waktu. Waktu untuk bangkit.""Tapi bagaimana kalau waktu itu nggak datang?" Bagas menyahut, suara penuh keraguan.Suasana desa terasa dingin, meski matahari bersinar cerah. Setiap kali Ratih atau Bagas mencoba keluar rumah, pandangan sinis dan bisikan warga mengikuti mereka. Kehilangan harta benda telah memisahkan mereka dari status sosial yang dulu tinggi, sementa
"Mas aku tau ini semua sulit bagimu!",Namun, meskipun Ratih mencoba menyentuh hati Bagas, dia tahu suaminya butuh waktu untuk menerima dirinya yang sekarang. Kekosongan yang dirasakan Bagas perlahan menggerogoti hubungan mereka, menjauhkan mereka satu sama lain. Setiap malam, Ratih terbangun dengan perasaan kosong, merasa seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, meski mereka tinggal di atap yang sama.'Bahkan aku merasa diriku juga tidak baik-baik aja, Mas! Aku merasa aneh! Walaupun aku menguatkan kamu, tapi diriku tidak juga sekuat itu!' Suatu pagi, Ratih memutuskan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di sana, dia bertemu dengan seorang teman lamanya, Siti, yang sudah lama tak dia temui.Siti menatap Ratih dengan tatapan prihatin, seperti melihat sesuatu yang lebih dari sekadar wajah sahabat lamanya. Mereka duduk di teras rumah kontrakan sederhana milik Ratih, suasana sunyi hanya ditemani suara angin yang berhembus pelan, menciptakan rasa hampa di
Bagas duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, menatap foto lama yang terletak di meja. Foto itu menunjukkan mereka berdua di masa kejayaan—senyum lebar, penuh harapan, dan impian yang seolah tak terbatas. Namun kini, semua itu terasa jauh, seolah berada di kehidupan yang berbeda."Kenangan ini, menyenangkan tapi juga banyak penyesalan. Aku terlalu bodoh untuk bisa menganggap semua ini kebahagiaan. Nyatanya aku hanya membawakan penderitaan terhadap Ratih! Hm, memalukan!" Ratih masuk perlahan, membawa secangkir teh hangat. Dengan hati-hati, dia meletakkan secangkir teh di atas meja dan duduk di samping Bagas. Keheningan di antara mereka begitu terasa, meskipun mereka duduk bersebelahan. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun jarak fisik mereka begitu dekat."Mas," Ratih akhirnya bersuara, mencoba menjangkau suaminya. "Aku tahu ini sulit. Tapi kita masih punya satu sama lain."Bagas menggeleng pelan, suaranya serak dan penuh penyesalan. "Aku bahkan nggak pa
Beberapa hari kemudian, Bagas memutuskan pergi ke kota untuk mencoba berbicara dengan mantan rekan bisnisnya, berharap ada celah untuk memulai sesuatu yang baru. Namun, langkahnya terhenti ketika suara bisikan warga yang sedang bergunjing mencapai telinganya."Eh, itu si Bagas," bisik seorang pria paruh baya di pojok jalan, matanya melirik tajam ke arah Bagas yang berjalan dengan kepala menunduk. "Dulu dia sombong banget. Sekarang? Jatuh miskin, kayak orang nggak punya arah."Temannya menyahut dengan nada penuh ejekan. "Iya, karma. Kalau tamak dan mau menang sendiri, ya akhirnya begini. Aku denger-denger, ladangnya juga angker. Siapa yang mau beli?"Pria pertama terkekeh, matanya berkilat penuh kepuasan. "Bukan cuma soal ladang. Dulu kan katanya dia pesugihan, makanya sukses cepat. Sekarang semua berbalik. Dengar-dengar, setiap kejadian aneh di desa kita juga gara-gara ulah dia.""Benar. Orang kayak dia cuma bikin sial. Tapi anehnya, masih ada aja yang nganggap dia baik," tambah teman
"Benar-benar nggak bisa seperti dulu lagi," gumam Bagas, hampir tak terdengar.Dia kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu—pria yang pernah dihormati, disegani, dan menjadi tumpuan banyak orang. Kehilangan rumah, bisnis, dan kepercayaan dari warga desa membuatnya merasa seperti manusia yang tak berarti. Setiap langkah terasa berat, setiap napas seperti menambah beban yang tak pernah bisa lepas.Bagas membatin. "Apa gunanya aku sekarang? Semua yang ku bangun hancur. Rumah itu ... tanah itu ... bahkan harga diriku. Mereka semua benar, aku ini gagal. Bagaimana aku bisa menatap wajah Ratih lagi? Dia pasti kecewa ... Tapi, kenapa dia masih bertahan? Aku bahkan nggak pantas untuknya."Di matanya, dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelabu. Dia terjebak dalam lingkaran rasa bersalah dan keputusasaan."Andai aku berusaha dengan tenaga. Mungkin semua ini nggak akan hilang! Tapi, pesugihan itu juga sebagian dari tenaga dan pikiran. Aku juga merasa lelah. Aku udah pantaskan di