Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 171. Semakin Terpojok

Share

171. Semakin Terpojok

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 22:08:50

"Orang gila ... orang gila!"

Teriakan anak-anak kecil itu mengganggu Bagas yang sedang asik menghisap rokok di depan rumahnya. Suasana desa yang sunyi seketika pecah oleh suara mereka yang riuh.

Bagas mengangkat wajahnya sedikit, menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah tidak peduli. Namun, di balik matanya yang suram, ada kebencian yang tersirat. Dunia ini tak lagi memberi tempat baginya.

"Eh, itu loh orang gila baru!" salah seorang anak laki-laki berteriak dengan tertawa nakal.

"Wes, lempar batu!" sahut temannya yang lain.

"Ayo-ayo!" Anak-anak itu makin semangat, seakan menemukan hiburan dalam penderitaan orang lain.

Buk! Buk!

Batu-batu kecil melayang ke tubuh Bagas. Dia tak bergerak, hanya diam dan menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. Rasa sakit dari batu-batu yang menghantam tubuhnya tidak menggerakkannya sedikit pun.

Ketika sebuah batu hampir mengenai wajahnya, Bagas akhirnya berdiri dengan perlahan, menekan rokok yang masih menyala itu di kakinya.

Namun, sebelum
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   172. Tekanan Emosional

    Rumah kecil di pinggir desa itu sunyi, tapi penuh ketegangan. Bagas bukan lagi pria tangguh seperti dulu. Hidup yang berat telah meruntuhkannya. Dia terperangkap dalam bayang-bayang kegagalan.Prang!Ratih sedang memasak di dapur ketika terdengar suara benda pecah dari ruang tamu. Dia berlari ke sana dan melihat Bagas melemparkan vas bunga ke dinding. Pecahan vas berserakan di lantai, dan Bagas berdiri dengan napas memburu, matanya merah oleh amarah.Ratih terkejut melihat suaminya yang mengamuk di ruang tamu. "Mas, apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada panik.Bagas berteriak, suaranya dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. "Ini semua salah mereka! Salah dunia ini! Kenapa semua orang menghancurkan hidupku?"Ratih mencoba mendekati suaminya dengan hati-hati. "Mas, tenang. Marah seperti ini nggak akan menyelesaikan masalah."Namun, Bagas menatapnya tajam sambil menunjuk dengan jari yang gemetar. "Kamu nggak ngerti, Ratih. Kamu nggak kehilangan harga dirimu seperti aku."Ratih terdi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Pesugihan Genderuwo   173. Berpikir ingin kembali

    Ratih berdiri di depan pintu dapur, tangan masih basah karena mencuci piring. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Bagas yang duduk di kursi kayu kecil di ruang tengah. Suaminya itu sedang sibuk memahat kayu, tapi gerakannya kasar, seperti mencerminkan amarah yang dipendam. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan kecil itu dengan aroma yang menyesakkan."Kita itu harus pakai jalan itu lagi, Tih!" Bagas berkata tanpa menatap Ratih, suaranya tegas tapi sedikit gemetar. Dia tahu kata-kata itu akan memicu ledakan emosi istrinya.Ratih tertegun sejenak, lalu berjalan mendekat dengan cepat. "Maksud, Mas, apa?!" tanyanya, suaranya meninggi, matanya penuh ketidakpercayaan."Aku mau melakukannya lagi," jawab Bagas sambil terus memahat, seolah-olah dia tidak mengatakan sesuatu yang besar.Ratih berdiri mematung di hadapannya, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. "Melakukan apa, Mas? Jangan bilang... pesugihan itu!" suaranya serak, antara marah dan takut.Bagas berhenti memahat,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pesugihan Genderuwo   174. Perpisahan kembali

    Bagas berdiri di ambang pintu kamar, napasnya tertahan melihat Ratih sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas kecil. Langkah-langkah istrinya cepat, tangannya gemetar, tapi tetap teratur. Di ranjang, tas lain sudah tertutup rapi, siap dibawa. Suasana kamar itu terasa mencekam, seolah-olah angin pun takut untuk bergerak."Tih, kamu mau ke mana?" Bagas akhirnya bertanya, suaranya serak.Ratih tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewatinya, menuju lemari kecil di sudut kamar untuk mengambil dokumen. Suara laci yang dibuka dan ditutup terdengar keras di keheningan."Hei, kamu mau ke mana?!" suara Bagas meninggi, campuran panik dan marah. Matanya tertuju pada tas kecil yang tersusun rapi di atas ranjang, seolah itu menjadi simbol kehancuran yang tak terhindarkan.Ratih berhenti sejenak, berdiri membelakangi suaminya. Dia menundukkan kepala, menggenggam surat-surat di tangannya dengan erat. Kemudian dia menoleh, menatap Bagas dengan mata yang penuh kekecewaan. "Aku nggak tahan lagi, Mas," kat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pesugihan Genderuwo   175. Bermimpi Bertemu Kakek Wartono

    "Mbah, berhenti!" Teriak Bagas, melihat kakeknya melakukan sesuatu yang mengerikan. Bagas terkejut melihat kakeknya, Wartono, dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. "Mbah, apa yang kamu lakukan?!" Bagas bertanya dengan takjub. Namun, ucapan itu tidak dapat terdengar oleh kakeknya karena ternyata hanya mimpi buruk. Bagas terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menandai mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dia duduk di atas ranjang, memegangi kepalanya yang terasa berat. Pikiran tentang mimpi itu terus menghantuinya.“Mbah Warto…” gumamnya pelan. Bayangan kakeknya, Wartono, melakukan sesuatu yang mengerikan dalam mimpi itu masih tergambar jelas di benaknya. Sosok tua dengan tatapan tajam dan senyum misterius, seperti sedang melakukan ritual gelap yang tak dimengerti Bagas.“Kenapa aku mimpi Mbah sekarang?” pikir Bagas. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali memikirkan kakeknya, tapi ingatannya terasa buram. Kakek Wartono, mantan dukun sakt

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Pesugihan Genderuwo   176. Kembali Mendapatkan Gunjingan

    “Aduh, Bagas! Jangan terus-terusan tanya soal Wartono! Dia sudah diusir dari desa ini,” ujar seorang pria tua sambil menggelengkan kepala, nada suaranya terdengar tidak sabar.Bagas menghela napas panjang, mencoba tetap tenang meski hatinya terasa panas. Dia menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, berusaha menahan emosi. “Apa salahnya saya tanya soal Mbah? Saya cuma mau tahu kenapa dia pergi dari desa ini.”Seorang pria lain, lebih muda, tertawa kecil sambil menepuk pundak kawannya. “Haha, dasar gembul! Kamu ini kan sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Ratih pun sudah pergi meninggalkanmu! Wajar kalau sekarang kamu sibuk cari-cari soal kakekmu.”Bagas meletakkan cangkir kopinya dengan sedikit keras di meja kayu. “Ini nggak ada hubungannya sama Ratih, ya!” balasnya tegas. Dia mulai kehilangan kesabaran, tapi masih berusaha untuk tidak tersulut.“Haha, ya gimana nggak ditinggal, orang sekarang kamu nggak punya apa-apa lagi,” sahut pria tua lainnya sambil terkekeh, seolah menikmati ej

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Pesugihan Genderuwo   177. Perut Membesar

    "Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Pesugihan Genderuwo   178. Kediaman Ratih

    "Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Pesugihan Genderuwo   179. Desa Sumberarum

    "Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

  • Pesugihan Genderuwo   260. Kebenaran Terkubur

    "“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik

  • Pesugihan Genderuwo   259. Amarah

    Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku

  • Pesugihan Genderuwo   258. Pembalasan

    “Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status