"Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb
"Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p
"Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan
"Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.
"Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel
"Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.
"Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,
"Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s
"Aku akan aman di sini!" Bagas berteduh di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Napasnya masih tersengal-sengal setelah berlari sejauh itu. Dadanya naik turun, mencoba mengatur ritme pernapasannya yang terasa berat. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah suasana semakin kelam. Dia menatap kosong ke depan, pikirannya melayang. Entah sejak kapan, hidupnya mulai terasa seperti mengulang takdir kakeknya, Wartono—diusir dari desa, terpaksa pergi tanpa tujuan. "Ah, hidup macam apa ini?! Aku benci diriku sendiri!" Bagas menggeram frustasi. Dengan penuh amarah, dia memukul batu besar di hadapannya. Tangannya terasa sakit, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia pendam dalam hatinya. Semua terasa sia-sia. Tidak ada lagi tempat baginya untuk kembali."Sampai sekarang pun aku masih mendapatkan informasi yang simpang siur tentang Mbah dan Ki Praja! Ah, kenapa sih dunia ini buat aku pusing?!"Bagas berteriak, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Dadanya naik turun, dipenuh
"Cari dia sampai ketemu!"Teriakan salah seorang warga menggema di dalam gelapnya hutan. Obor-obor yang mereka bawa menebarkan sinar temaram di antara pepohonan lebat, namun hanya kegelapan hutan yang menyambut mereka. Beberapa warga terlihat gugup, langkah mereka melambat seiring dengan makin dalamnya perjalanan ke hutan terlarang."Eh, ini kan hutan terlarang di desa kita," ucap salah seorang warga dengan suara bergetar, berusaha mengingatkan yang lain."Benar juga," sahut warga lain yang tampaknya mulai menyadari situasi mereka. "Kita sudah terlalu jauh masuk. Ini bukan tempat biasa. Jangan-jangan ada sesuatu di sini!"Rasa takut mulai menyelimuti mereka. Beberapa warga mengangguk setuju, dan perlahan mereka memutuskan untuk berbalik arah. Namun, baru saja mereka ingin melangkah kembali menuju desa, suara keras tiba-tiba menggema dari dalam hutan.Graawwrr!Suara itu menyerupai raungan binatang buas, tetapi terdengar tidak seperti suara makhluk biasa. Suaranya memekakkan telinga, m
"Kenapa aku bisa di rumah? Bukannya tadi aku ada di rumah Ki Praja?" Bagas duduk termenung di ruang tamu, mencoba mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Semuanya terasa kabur dan membingungkan. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tak tahu apa. Tatapannya kosong, pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban. Namun, belum sempat dia memahami apa yang terjadi, suara gaduh dari luar rumah mengalihkan perhatiannya. Terdengar langkah kaki banyak orang, disertai suara teriakan yang semakin mendekat. Bagas segera berdiri, matanya menatap penuh kewaspadaan ke arah jendela. "Usir dia! Keluar dia dari desa ini!" "Kita harus bertindak tegas!" Teriakan itu menggema di luar, membuat dada Bagas berdebar kencang. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski rasa cemas sudah membanjiri pikirannya. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan. Pandangannya tak lepas dari kerumunan warga yang semakin dekat. Apa pun yang terjadi, Bagas tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Bamban
"Ada apa ini? Kenapa warga berkumpul di balai desa?"Ratih yang kebetulan melewati Desa Karang Jati melihat kerumunan besar di balai desa. Wajahnya langsung dipenuhi rasa cemas. Firasat buruk menyelusup dalam pikirannya, dan nama seseorang segera terlintas.“Jangan-jangan mereka—” Ratih menggantungkan kalimatnya, ragu untuk melanjutkan. Namun, kekhawatiran di hatinya semakin menguat. “Mau melabrak Mas Bagas!” gumamnya, suaranya pelan tapi penuh ketegangan.Dengan hati-hati, Ratih bersembunyi di balik pepohonan, berusaha tetap tak terlihat. Dari kejauhan, dia mengamati para warga yang terlihat bersemangat, bahkan penuh emosi. Beberapa membawa obor yang menyala terang, menciptakan pemandangan yang tampak seperti adegan dari masa lampau, di mana massa menghakimi tanpa ampun.“Kenapa mereka begini? Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Ratih dalam hati, was-was. Dia terus memperhatikan tanpa berani mendekat, tubuhnya tegang seolah-olah dia juga merasakan ancaman itu.Namun, jauh di lubuk h
"Usir dan bakar dia hidup-hidup!" Bambang mendengar bisikan itu lagi. Suaranya rendah, berat, tetapi jelas terdengar di telinganya meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Namun, bisikan itu terus mengisi kepalanya, seolah berbisik langsung ke jiwanya. “Aku yakin ini benar,” gumam Bambang sambil menatap rumahnya. Tangannya mengepal kuat, dan tatapannya berubah dingin. “Bagas memang pembawa sial. Dia penyebab semua bencana ini.” Langkah Bambang berat tetapi penuh tekad. Dia meninggalkan rumahnya menuju warung kopi tempat warga desa sering berkumpul. Wajahnya terlihat penuh amarah, tetapi tidak ada yang tahu bahwa amarah itu bukan miliknya sepenuhnya. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikirannya, mengendalikan setiap gerak dan perkataannya. Di warung, beberapa warga sedang duduk bercengkerama. Mereka tertawa kecil sambil menikmati kopi hitam pekat. Namun, suasana itu segera berubah ketika Bambang datang. “Eh,
“Buka pintunya!”Bagas berteriak sekencang mungkin sambil menarik dan mendorong pintu rumah Ki Praja. Pintu kayu itu tetap terkunci rapat, tidak bergeming sedikit pun meskipun dia mengerahkan seluruh tenaganya.Duk! Duk!Bagas mulai memukul pintu dengan kepalan tangannya hingga kulit di jemarinya memerah dan terasa sakit. “Ayo buka! Aku tahu kau di sini!” teriaknya lagi dengan penuh frustasi.Namun, alih-alih pintu yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.Brak!Bagas terpaku sejenak. Dari celah pintu, dia melihat bayangan benda-benda kecil di meja seperti lilin, mangkuk, dan beberapa kain yang tertata rapi kini bergeser dan berjatuhan tanpa alasan yang jelas.“Apa yang terjadi di dalam sana?” gumamnya dengan napas tersengal, keringat mulai membasahi dahinya.Ketika dia hendak kembali memukul pintu, sebuah kejadian tak biasa terjadi. Barang-barang di dalam rumah yang sebelumnya hanya jatuh, kini mulai bergerak seperti ada yang mengangkatnya. Kain-kain hitam
"Aku yakin udah bunuh dia! Tapi—"Bagas semakin diliputi kebingungan. Genderuwo itu perlahan memudar, seperti kabut yang tersapu angin. Tubuh Bagas akhirnya bisa digerakkan kembali. Namun, saat dia melihat lengannya, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bulu-bulu kasar yang tadi bersentuhan dengan Genderuwo kini menempel di lengannya—tidak, bukan hanya menempel, tapi tumbuh di sana."Lengan ini... kenapa berbulu seperti ini?" Bagas bergumam, napasnya memburu. Dia mencoba mencabut salah satu bulu itu."Aah!" serunya, terkejut karena rasa sakit yang tajam menjalar dari lengannya. Itu nyata. Bukan hanya halusinasi."Ini nggak mungkin nyata!" Bagas mengguncang kepalanya, berharap semua ini hanyalah ilusi. Tapi rasa sakit tadi terlalu meyakinkan untuk diabaikan.Bagas memandang bulu-bulu itu dengan ngeri. "Ini harus aku cukur saat di rumah," katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kalut.Dengan perasaan tak karuan, Bagas melangkahkan kaki
"Kenapa badanku terpaku di sini?" Bagas berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi sia-sia. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat erat setiap sendi tubuhnya. Tubuhnya kaku, seperti kayu yang tak bernyawa. Angin tiba-tiba berhembus semakin kencang, membuat ranting-ranting pohon berderit menyeramkan. Di tengah hembusan angin itu, Bagas merasakan sesuatu menyentuh lengannya, seperti helaian rambut yang tipis namun tajam. Dia memalingkan pandangan ke samping kirinya. Dan di sanalah dia muncul. Sosok itu berdiri, tinggi dan besar, dengan tubuh gelap yang seakan menyatu dengan bayangan pepohonan. Matanya menyala merah, penuh kebencian dan kejahatan. Itu adalah Genderuwo. 'D—dia... itu Gen—!' Bagas tak mampu menyelesaikan pikirannya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia mencoba berbicara, ingin berteriak, tapi suara itu seolah terkunci di tenggorokannya. Bahkan napasnya terasa tersangkut di dada. Air mata mulai mengalir dari mata kirinya, tanpa bisa dia
"Siapa di sana?" seru Bagas, suaranya tegang. Sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan lebat. Bagas segera mendekati pohon tempat bayangan itu menghilang. Namun, saat dia mengintip di balik batangnya yang besar, tak ada siapa pun di sana. Hanya keheningan yang menemaninya. "Siapa tadi? Apa itu Ki Praja? Atau ... Genderuwo?" gumamnya sambil mencoba menenangkan diri. "Nggak mungkin itu Genderuwo ... dia sudah musnah, kan? Terbakar bersama jimat yang aku gunakan waktu itu." Bagas menggeleng, mencoba menepis pikirannya yang semakin liar. Tapi hutan itu terasa semakin menekan dirinya. Suasana di sekitarnya seakan berubah menjadi lebih gelap, lebih suram, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Dia menghirup napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk terasa berat. Dadanya mulai sesak. "Haa!" Bagas terengah-engah, tangannya mencengkeram batang pohon untuk menopang tubuhnya yang mulai melemah. "Aku ... susah bernapas! Kenapa ini?" Keringat dingin membasahi