Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 184. Kenyataan atau Mimpi

Share

184. Kenyataan atau Mimpi

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 20:46:56

"Jangan!"

Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan.

"Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami.

Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo.

Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar.

"Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   185. Bertemu Feri yang Ketakutan

    "Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Pesugihan Genderuwo   186. Tatapan yang membuat Takut

    "Udahlah, Fer! Kasihan dia!" kata Umar, teman Feri, dengan nada tegas.Umar berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan. Di balik punggungnya, Feri yang masih diliputi ketakutan segera bersembunyi, hanya menampakkan separuh wajahnya."Ada apa, Mas?" tanya Umar dengan nada datar, menghadapi Bagas yang berdiri dengan ekspresi cemas dan gelisah."Ada Kyai? Saya harus bicara dengan Kyai Ahmad," ucap Bagas buru-buru, nada suaranya mendesak.Umar menghela napas. "Abah sedang nggak di tempat, Mas."Bagas terdiam sesaat, pandangannya menelisik wajah Umar, mencoba membaca kejujurannya. "Kapan beliau kembali?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih terkontrol, meskipun ketegangan masih terasa.Umar menatap Bagas dengan tenang, tetapi perhatiannya terganggu oleh gerakan kecil di belakangnya. Feri, yang bersembunyi dengan gelisah, tampak mencoba menghindari kontak mata dengan Bagas. Umar segera melangkah ke depan, menutupi tubuh Feri sepenuhnya dengan postur tubuhnya yang lebih besar.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Pesugihan Genderuwo   187. Mbah Damar atau siapa?

    "Kenapa sih hidupku jadi seperti ini?" keluh Bagas, suaranya penuh beban. Dia duduk di pinggir aliran sungai, di atas tumpukan bebatuan besar. Air mengalir dengan tenang, tetapi pikirannya penuh badai. "Aku harus cari tahu di mana lagi keberadaan Ki Praja," gumamnya sambil menunduk, memandang pantulan wajahnya di permukaan air yang bergoyang. "Aku juga harus cari lebih banyak informasi tentang Mbah dan apa hubungannya dengan Ki Praja." Dengan kesal, dia mengambil batu kecil di dekatnya dan melemparkannya ke sungai. Riak-riak air memantulkan cahaya bulan, seolah mengolok kegundahannya. "Mimpi-mimpi itu—" Bagas bergumam lagi, kali ini suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Terlihat jelas kalau Mbah itu jahat! Tapi kenapa ... kenapa aku seperti melihat diriku sendiri dalam mimpi itu?" Dia mengepalkan tangannya, lalu menghantamkan batu kecil yang dia pegang ke bebatuan besar di bawahnya. Suara denting kecil terdengar, tetapi tak mampu mengurangi beban di dadanya. "Mimp

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Pesugihan Genderuwo   188. Niat mendatangi Ki Praja

    "Ini begitu aneh! Kenapa aku merasa Mbah Damar dan Ki Praja seperti orang yang sama? Perasaan apa ini sebenarnya?" Bagas benar-benar diliputi rasa curiga. Pertemuan ketiganya dengan Mbah Damar kali ini terasa begitu janggal. Di benaknya, bayangan wajah Ki Praja terus muncul, menggantikan sosok Mbah Damar yang biasanya ramah dan sederhana. "Sejak kapan Mbah Damar memakai tongkat? Atau ... mungkin itu Kyai Ahmad? Tapi—tidak, suaranya berbeda. Suaranya justru terdengar seperti Ki Praja!" Bagas berbicara pada dirinya sendiri, mencoba merangkai berbagai kemungkinan yang berseliweran di pikirannya. Keanehan ini semakin membuat Bagas gelisah. Sosok Mbah Damar yang biasanya dia percayai kini terasa asing dan penuh misteri. Ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang belum dia pahami. "Belum lagi tentang kakekku ... kenapa sampai sekarang aku belum dapat jawaban pasti? Semua ini terlalu rumit!" Bagas memegang kepalanya yang terasa penuh. Pikiran tentang Mbah Damar, Ki Praja, dan kak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Pesugihan Genderuwo   189. Aku adalah Kamu

    "Siapa di sana?" seru Bagas, suaranya tegang. Sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan lebat. Bagas segera mendekati pohon tempat bayangan itu menghilang. Namun, saat dia mengintip di balik batangnya yang besar, tak ada siapa pun di sana. Hanya keheningan yang menemaninya. "Siapa tadi? Apa itu Ki Praja? Atau ... Genderuwo?" gumamnya sambil mencoba menenangkan diri. "Nggak mungkin itu Genderuwo ... dia sudah musnah, kan? Terbakar bersama jimat yang aku gunakan waktu itu." Bagas menggeleng, mencoba menepis pikirannya yang semakin liar. Tapi hutan itu terasa semakin menekan dirinya. Suasana di sekitarnya seakan berubah menjadi lebih gelap, lebih suram, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Dia menghirup napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk terasa berat. Dadanya mulai sesak. "Haa!" Bagas terengah-engah, tangannya mencengkeram batang pohon untuk menopang tubuhnya yang mulai melemah. "Aku ... susah bernapas! Kenapa ini?" Keringat dingin membasahi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Pesugihan Genderuwo   190. Melihat Genderuwo adalah Dirinya sendiri

    "Kenapa badanku terpaku di sini?" Bagas berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi sia-sia. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat erat setiap sendi tubuhnya. Tubuhnya kaku, seperti kayu yang tak bernyawa. Angin tiba-tiba berhembus semakin kencang, membuat ranting-ranting pohon berderit menyeramkan. Di tengah hembusan angin itu, Bagas merasakan sesuatu menyentuh lengannya, seperti helaian rambut yang tipis namun tajam. Dia memalingkan pandangan ke samping kirinya. Dan di sanalah dia muncul. Sosok itu berdiri, tinggi dan besar, dengan tubuh gelap yang seakan menyatu dengan bayangan pepohonan. Matanya menyala merah, penuh kebencian dan kejahatan. Itu adalah Genderuwo. 'D—dia... itu Gen—!' Bagas tak mampu menyelesaikan pikirannya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia mencoba berbicara, ingin berteriak, tapi suara itu seolah terkunci di tenggorokannya. Bahkan napasnya terasa tersangkut di dada. Air mata mulai mengalir dari mata kirinya, tanpa bisa dia

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • Pesugihan Genderuwo   191. Terkunci Dirumah Ki Raden Praja

    "Aku yakin udah bunuh dia! Tapi—"Bagas semakin diliputi kebingungan. Genderuwo itu perlahan memudar, seperti kabut yang tersapu angin. Tubuh Bagas akhirnya bisa digerakkan kembali. Namun, saat dia melihat lengannya, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bulu-bulu kasar yang tadi bersentuhan dengan Genderuwo kini menempel di lengannya—tidak, bukan hanya menempel, tapi tumbuh di sana."Lengan ini... kenapa berbulu seperti ini?" Bagas bergumam, napasnya memburu. Dia mencoba mencabut salah satu bulu itu."Aah!" serunya, terkejut karena rasa sakit yang tajam menjalar dari lengannya. Itu nyata. Bukan hanya halusinasi."Ini nggak mungkin nyata!" Bagas mengguncang kepalanya, berharap semua ini hanyalah ilusi. Tapi rasa sakit tadi terlalu meyakinkan untuk diabaikan.Bagas memandang bulu-bulu itu dengan ngeri. "Ini harus aku cukur saat di rumah," katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kalut.Dengan perasaan tak karuan, Bagas melangkahkan kaki

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-23
  • Pesugihan Genderuwo   192. Menampakkan perubahan kembali

    “Buka pintunya!”Bagas berteriak sekencang mungkin sambil menarik dan mendorong pintu rumah Ki Praja. Pintu kayu itu tetap terkunci rapat, tidak bergeming sedikit pun meskipun dia mengerahkan seluruh tenaganya.Duk! Duk!Bagas mulai memukul pintu dengan kepalan tangannya hingga kulit di jemarinya memerah dan terasa sakit. “Ayo buka! Aku tahu kau di sini!” teriaknya lagi dengan penuh frustasi.Namun, alih-alih pintu yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.Brak!Bagas terpaku sejenak. Dari celah pintu, dia melihat bayangan benda-benda kecil di meja seperti lilin, mangkuk, dan beberapa kain yang tertata rapi kini bergeser dan berjatuhan tanpa alasan yang jelas.“Apa yang terjadi di dalam sana?” gumamnya dengan napas tersengal, keringat mulai membasahi dahinya.Ketika dia hendak kembali memukul pintu, sebuah kejadian tak biasa terjadi. Barang-barang di dalam rumah yang sebelumnya hanya jatuh, kini mulai bergerak seperti ada yang mengangkatnya. Kain-kain hitam

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-24

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   197. Deretan Kesialan

    "Aku akan aman di sini!" Bagas berteduh di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Napasnya masih tersengal-sengal setelah berlari sejauh itu. Dadanya naik turun, mencoba mengatur ritme pernapasannya yang terasa berat. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah suasana semakin kelam. Dia menatap kosong ke depan, pikirannya melayang. Entah sejak kapan, hidupnya mulai terasa seperti mengulang takdir kakeknya, Wartono—diusir dari desa, terpaksa pergi tanpa tujuan. "Ah, hidup macam apa ini?! Aku benci diriku sendiri!" Bagas menggeram frustasi. Dengan penuh amarah, dia memukul batu besar di hadapannya. Tangannya terasa sakit, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia pendam dalam hatinya. Semua terasa sia-sia. Tidak ada lagi tempat baginya untuk kembali."Sampai sekarang pun aku masih mendapatkan informasi yang simpang siur tentang Mbah dan Ki Praja! Ah, kenapa sih dunia ini buat aku pusing?!"Bagas berteriak, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Dadanya naik turun, dipenuh

  • Pesugihan Genderuwo   196. Kocar-kacir

    "Cari dia sampai ketemu!"Teriakan salah seorang warga menggema di dalam gelapnya hutan. Obor-obor yang mereka bawa menebarkan sinar temaram di antara pepohonan lebat, namun hanya kegelapan hutan yang menyambut mereka. Beberapa warga terlihat gugup, langkah mereka melambat seiring dengan makin dalamnya perjalanan ke hutan terlarang."Eh, ini kan hutan terlarang di desa kita," ucap salah seorang warga dengan suara bergetar, berusaha mengingatkan yang lain."Benar juga," sahut warga lain yang tampaknya mulai menyadari situasi mereka. "Kita sudah terlalu jauh masuk. Ini bukan tempat biasa. Jangan-jangan ada sesuatu di sini!"Rasa takut mulai menyelimuti mereka. Beberapa warga mengangguk setuju, dan perlahan mereka memutuskan untuk berbalik arah. Namun, baru saja mereka ingin melangkah kembali menuju desa, suara keras tiba-tiba menggema dari dalam hutan.Graawwrr!Suara itu menyerupai raungan binatang buas, tetapi terdengar tidak seperti suara makhluk biasa. Suaranya memekakkan telinga, m

  • Pesugihan Genderuwo   195. Bagas Kabur ke hutan Terlarang

    "Kenapa aku bisa di rumah? Bukannya tadi aku ada di rumah Ki Praja?" Bagas duduk termenung di ruang tamu, mencoba mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Semuanya terasa kabur dan membingungkan. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tak tahu apa. Tatapannya kosong, pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban. Namun, belum sempat dia memahami apa yang terjadi, suara gaduh dari luar rumah mengalihkan perhatiannya. Terdengar langkah kaki banyak orang, disertai suara teriakan yang semakin mendekat. Bagas segera berdiri, matanya menatap penuh kewaspadaan ke arah jendela. "Usir dia! Keluar dia dari desa ini!" "Kita harus bertindak tegas!" Teriakan itu menggema di luar, membuat dada Bagas berdebar kencang. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski rasa cemas sudah membanjiri pikirannya. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan. Pandangannya tak lepas dari kerumunan warga yang semakin dekat. Apa pun yang terjadi, Bagas tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Bamban

  • Pesugihan Genderuwo   194. Ratih Memantau

    "Ada apa ini? Kenapa warga berkumpul di balai desa?"Ratih yang kebetulan melewati Desa Karang Jati melihat kerumunan besar di balai desa. Wajahnya langsung dipenuhi rasa cemas. Firasat buruk menyelusup dalam pikirannya, dan nama seseorang segera terlintas.“Jangan-jangan mereka—” Ratih menggantungkan kalimatnya, ragu untuk melanjutkan. Namun, kekhawatiran di hatinya semakin menguat. “Mau melabrak Mas Bagas!” gumamnya, suaranya pelan tapi penuh ketegangan.Dengan hati-hati, Ratih bersembunyi di balik pepohonan, berusaha tetap tak terlihat. Dari kejauhan, dia mengamati para warga yang terlihat bersemangat, bahkan penuh emosi. Beberapa membawa obor yang menyala terang, menciptakan pemandangan yang tampak seperti adegan dari masa lampau, di mana massa menghakimi tanpa ampun.“Kenapa mereka begini? Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Ratih dalam hati, was-was. Dia terus memperhatikan tanpa berani mendekat, tubuhnya tegang seolah-olah dia juga merasakan ancaman itu.Namun, jauh di lubuk h

  • Pesugihan Genderuwo   193. Hasutan

    "Usir dan bakar dia hidup-hidup!" Bambang mendengar bisikan itu lagi. Suaranya rendah, berat, tetapi jelas terdengar di telinganya meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Namun, bisikan itu terus mengisi kepalanya, seolah berbisik langsung ke jiwanya. “Aku yakin ini benar,” gumam Bambang sambil menatap rumahnya. Tangannya mengepal kuat, dan tatapannya berubah dingin. “Bagas memang pembawa sial. Dia penyebab semua bencana ini.” Langkah Bambang berat tetapi penuh tekad. Dia meninggalkan rumahnya menuju warung kopi tempat warga desa sering berkumpul. Wajahnya terlihat penuh amarah, tetapi tidak ada yang tahu bahwa amarah itu bukan miliknya sepenuhnya. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikirannya, mengendalikan setiap gerak dan perkataannya. Di warung, beberapa warga sedang duduk bercengkerama. Mereka tertawa kecil sambil menikmati kopi hitam pekat. Namun, suasana itu segera berubah ketika Bambang datang. “Eh,

  • Pesugihan Genderuwo   192. Menampakkan perubahan kembali

    “Buka pintunya!”Bagas berteriak sekencang mungkin sambil menarik dan mendorong pintu rumah Ki Praja. Pintu kayu itu tetap terkunci rapat, tidak bergeming sedikit pun meskipun dia mengerahkan seluruh tenaganya.Duk! Duk!Bagas mulai memukul pintu dengan kepalan tangannya hingga kulit di jemarinya memerah dan terasa sakit. “Ayo buka! Aku tahu kau di sini!” teriaknya lagi dengan penuh frustasi.Namun, alih-alih pintu yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.Brak!Bagas terpaku sejenak. Dari celah pintu, dia melihat bayangan benda-benda kecil di meja seperti lilin, mangkuk, dan beberapa kain yang tertata rapi kini bergeser dan berjatuhan tanpa alasan yang jelas.“Apa yang terjadi di dalam sana?” gumamnya dengan napas tersengal, keringat mulai membasahi dahinya.Ketika dia hendak kembali memukul pintu, sebuah kejadian tak biasa terjadi. Barang-barang di dalam rumah yang sebelumnya hanya jatuh, kini mulai bergerak seperti ada yang mengangkatnya. Kain-kain hitam

  • Pesugihan Genderuwo   191. Terkunci Dirumah Ki Raden Praja

    "Aku yakin udah bunuh dia! Tapi—"Bagas semakin diliputi kebingungan. Genderuwo itu perlahan memudar, seperti kabut yang tersapu angin. Tubuh Bagas akhirnya bisa digerakkan kembali. Namun, saat dia melihat lengannya, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bulu-bulu kasar yang tadi bersentuhan dengan Genderuwo kini menempel di lengannya—tidak, bukan hanya menempel, tapi tumbuh di sana."Lengan ini... kenapa berbulu seperti ini?" Bagas bergumam, napasnya memburu. Dia mencoba mencabut salah satu bulu itu."Aah!" serunya, terkejut karena rasa sakit yang tajam menjalar dari lengannya. Itu nyata. Bukan hanya halusinasi."Ini nggak mungkin nyata!" Bagas mengguncang kepalanya, berharap semua ini hanyalah ilusi. Tapi rasa sakit tadi terlalu meyakinkan untuk diabaikan.Bagas memandang bulu-bulu itu dengan ngeri. "Ini harus aku cukur saat di rumah," katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kalut.Dengan perasaan tak karuan, Bagas melangkahkan kaki

  • Pesugihan Genderuwo   190. Melihat Genderuwo adalah Dirinya sendiri

    "Kenapa badanku terpaku di sini?" Bagas berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi sia-sia. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat erat setiap sendi tubuhnya. Tubuhnya kaku, seperti kayu yang tak bernyawa. Angin tiba-tiba berhembus semakin kencang, membuat ranting-ranting pohon berderit menyeramkan. Di tengah hembusan angin itu, Bagas merasakan sesuatu menyentuh lengannya, seperti helaian rambut yang tipis namun tajam. Dia memalingkan pandangan ke samping kirinya. Dan di sanalah dia muncul. Sosok itu berdiri, tinggi dan besar, dengan tubuh gelap yang seakan menyatu dengan bayangan pepohonan. Matanya menyala merah, penuh kebencian dan kejahatan. Itu adalah Genderuwo. 'D—dia... itu Gen—!' Bagas tak mampu menyelesaikan pikirannya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia mencoba berbicara, ingin berteriak, tapi suara itu seolah terkunci di tenggorokannya. Bahkan napasnya terasa tersangkut di dada. Air mata mulai mengalir dari mata kirinya, tanpa bisa dia

  • Pesugihan Genderuwo   189. Aku adalah Kamu

    "Siapa di sana?" seru Bagas, suaranya tegang. Sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan lebat. Bagas segera mendekati pohon tempat bayangan itu menghilang. Namun, saat dia mengintip di balik batangnya yang besar, tak ada siapa pun di sana. Hanya keheningan yang menemaninya. "Siapa tadi? Apa itu Ki Praja? Atau ... Genderuwo?" gumamnya sambil mencoba menenangkan diri. "Nggak mungkin itu Genderuwo ... dia sudah musnah, kan? Terbakar bersama jimat yang aku gunakan waktu itu." Bagas menggeleng, mencoba menepis pikirannya yang semakin liar. Tapi hutan itu terasa semakin menekan dirinya. Suasana di sekitarnya seakan berubah menjadi lebih gelap, lebih suram, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Dia menghirup napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk terasa berat. Dadanya mulai sesak. "Haa!" Bagas terengah-engah, tangannya mencengkeram batang pohon untuk menopang tubuhnya yang mulai melemah. "Aku ... susah bernapas! Kenapa ini?" Keringat dingin membasahi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status