Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 172. Tekanan Emosional

Share

172. Tekanan Emosional

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 22:18:56

Rumah kecil di pinggir desa itu sunyi, tapi penuh ketegangan. Bagas bukan lagi pria tangguh seperti dulu. Hidup yang berat telah meruntuhkannya. Dia terperangkap dalam bayang-bayang kegagalan.

Prang!

Ratih sedang memasak di dapur ketika terdengar suara benda pecah dari ruang tamu. Dia berlari ke sana dan melihat Bagas melemparkan vas bunga ke dinding. Pecahan vas berserakan di lantai, dan Bagas berdiri dengan napas memburu, matanya merah oleh amarah.

Ratih terkejut melihat suaminya yang mengamuk di ruang tamu. "Mas, apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada panik.

Bagas berteriak, suaranya dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. "Ini semua salah mereka! Salah dunia ini! Kenapa semua orang menghancurkan hidupku?"

Ratih mencoba mendekati suaminya dengan hati-hati. "Mas, tenang. Marah seperti ini nggak akan menyelesaikan masalah."

Namun, Bagas menatapnya tajam sambil menunjuk dengan jari yang gemetar. "Kamu nggak ngerti, Ratih. Kamu nggak kehilangan harga dirimu seperti aku."

Ratih terdi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   173. Berpikir ingin kembali

    Ratih berdiri di depan pintu dapur, tangan masih basah karena mencuci piring. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Bagas yang duduk di kursi kayu kecil di ruang tengah. Suaminya itu sedang sibuk memahat kayu, tapi gerakannya kasar, seperti mencerminkan amarah yang dipendam. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan kecil itu dengan aroma yang menyesakkan."Kita itu harus pakai jalan itu lagi, Tih!" Bagas berkata tanpa menatap Ratih, suaranya tegas tapi sedikit gemetar. Dia tahu kata-kata itu akan memicu ledakan emosi istrinya.Ratih tertegun sejenak, lalu berjalan mendekat dengan cepat. "Maksud, Mas, apa?!" tanyanya, suaranya meninggi, matanya penuh ketidakpercayaan."Aku mau melakukannya lagi," jawab Bagas sambil terus memahat, seolah-olah dia tidak mengatakan sesuatu yang besar.Ratih berdiri mematung di hadapannya, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. "Melakukan apa, Mas? Jangan bilang... pesugihan itu!" suaranya serak, antara marah dan takut.Bagas berhenti memahat,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pesugihan Genderuwo   174. Perpisahan kembali

    Bagas berdiri di ambang pintu kamar, napasnya tertahan melihat Ratih sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas kecil. Langkah-langkah istrinya cepat, tangannya gemetar, tapi tetap teratur. Di ranjang, tas lain sudah tertutup rapi, siap dibawa. Suasana kamar itu terasa mencekam, seolah-olah angin pun takut untuk bergerak."Tih, kamu mau ke mana?" Bagas akhirnya bertanya, suaranya serak.Ratih tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewatinya, menuju lemari kecil di sudut kamar untuk mengambil dokumen. Suara laci yang dibuka dan ditutup terdengar keras di keheningan."Hei, kamu mau ke mana?!" suara Bagas meninggi, campuran panik dan marah. Matanya tertuju pada tas kecil yang tersusun rapi di atas ranjang, seolah itu menjadi simbol kehancuran yang tak terhindarkan.Ratih berhenti sejenak, berdiri membelakangi suaminya. Dia menundukkan kepala, menggenggam surat-surat di tangannya dengan erat. Kemudian dia menoleh, menatap Bagas dengan mata yang penuh kekecewaan. "Aku nggak tahan lagi, Mas," kat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Pesugihan Genderuwo   175. Bermimpi Bertemu Kakek Wartono

    "Mbah, berhenti!" Teriak Bagas, melihat kakeknya melakukan sesuatu yang mengerikan. Bagas terkejut melihat kakeknya, Wartono, dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. "Mbah, apa yang kamu lakukan?!" Bagas bertanya dengan takjub. Namun, ucapan itu tidak dapat terdengar oleh kakeknya karena ternyata hanya mimpi buruk. Bagas terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menandai mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dia duduk di atas ranjang, memegangi kepalanya yang terasa berat. Pikiran tentang mimpi itu terus menghantuinya.“Mbah Warto…” gumamnya pelan. Bayangan kakeknya, Wartono, melakukan sesuatu yang mengerikan dalam mimpi itu masih tergambar jelas di benaknya. Sosok tua dengan tatapan tajam dan senyum misterius, seperti sedang melakukan ritual gelap yang tak dimengerti Bagas.“Kenapa aku mimpi Mbah sekarang?” pikir Bagas. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali memikirkan kakeknya, tapi ingatannya terasa buram. Kakek Wartono, mantan dukun sakt

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Pesugihan Genderuwo   01. Godaan Kekayaan

    Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Genderuwo   02. Tawaran Pesugihan

    Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.Baga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Genderuwo   03. Syarat Perjanjian

    “Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Genderuwo   04. Jimat Pengikat

    Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Genderuwo   05. Perjanjian yang Mengikat

    “Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. “Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. “Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. “Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   175. Bermimpi Bertemu Kakek Wartono

    "Mbah, berhenti!" Teriak Bagas, melihat kakeknya melakukan sesuatu yang mengerikan. Bagas terkejut melihat kakeknya, Wartono, dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. "Mbah, apa yang kamu lakukan?!" Bagas bertanya dengan takjub. Namun, ucapan itu tidak dapat terdengar oleh kakeknya karena ternyata hanya mimpi buruk. Bagas terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menandai mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dia duduk di atas ranjang, memegangi kepalanya yang terasa berat. Pikiran tentang mimpi itu terus menghantuinya.“Mbah Warto…” gumamnya pelan. Bayangan kakeknya, Wartono, melakukan sesuatu yang mengerikan dalam mimpi itu masih tergambar jelas di benaknya. Sosok tua dengan tatapan tajam dan senyum misterius, seperti sedang melakukan ritual gelap yang tak dimengerti Bagas.“Kenapa aku mimpi Mbah sekarang?” pikir Bagas. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali memikirkan kakeknya, tapi ingatannya terasa buram. Kakek Wartono, mantan dukun sakt

  • Pesugihan Genderuwo   174. Perpisahan kembali

    Bagas berdiri di ambang pintu kamar, napasnya tertahan melihat Ratih sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas kecil. Langkah-langkah istrinya cepat, tangannya gemetar, tapi tetap teratur. Di ranjang, tas lain sudah tertutup rapi, siap dibawa. Suasana kamar itu terasa mencekam, seolah-olah angin pun takut untuk bergerak."Tih, kamu mau ke mana?" Bagas akhirnya bertanya, suaranya serak.Ratih tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewatinya, menuju lemari kecil di sudut kamar untuk mengambil dokumen. Suara laci yang dibuka dan ditutup terdengar keras di keheningan."Hei, kamu mau ke mana?!" suara Bagas meninggi, campuran panik dan marah. Matanya tertuju pada tas kecil yang tersusun rapi di atas ranjang, seolah itu menjadi simbol kehancuran yang tak terhindarkan.Ratih berhenti sejenak, berdiri membelakangi suaminya. Dia menundukkan kepala, menggenggam surat-surat di tangannya dengan erat. Kemudian dia menoleh, menatap Bagas dengan mata yang penuh kekecewaan. "Aku nggak tahan lagi, Mas," kat

  • Pesugihan Genderuwo   173. Berpikir ingin kembali

    Ratih berdiri di depan pintu dapur, tangan masih basah karena mencuci piring. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Bagas yang duduk di kursi kayu kecil di ruang tengah. Suaminya itu sedang sibuk memahat kayu, tapi gerakannya kasar, seperti mencerminkan amarah yang dipendam. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan kecil itu dengan aroma yang menyesakkan."Kita itu harus pakai jalan itu lagi, Tih!" Bagas berkata tanpa menatap Ratih, suaranya tegas tapi sedikit gemetar. Dia tahu kata-kata itu akan memicu ledakan emosi istrinya.Ratih tertegun sejenak, lalu berjalan mendekat dengan cepat. "Maksud, Mas, apa?!" tanyanya, suaranya meninggi, matanya penuh ketidakpercayaan."Aku mau melakukannya lagi," jawab Bagas sambil terus memahat, seolah-olah dia tidak mengatakan sesuatu yang besar.Ratih berdiri mematung di hadapannya, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. "Melakukan apa, Mas? Jangan bilang... pesugihan itu!" suaranya serak, antara marah dan takut.Bagas berhenti memahat,

  • Pesugihan Genderuwo   172. Tekanan Emosional

    Rumah kecil di pinggir desa itu sunyi, tapi penuh ketegangan. Bagas bukan lagi pria tangguh seperti dulu. Hidup yang berat telah meruntuhkannya. Dia terperangkap dalam bayang-bayang kegagalan.Prang!Ratih sedang memasak di dapur ketika terdengar suara benda pecah dari ruang tamu. Dia berlari ke sana dan melihat Bagas melemparkan vas bunga ke dinding. Pecahan vas berserakan di lantai, dan Bagas berdiri dengan napas memburu, matanya merah oleh amarah.Ratih terkejut melihat suaminya yang mengamuk di ruang tamu. "Mas, apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada panik.Bagas berteriak, suaranya dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. "Ini semua salah mereka! Salah dunia ini! Kenapa semua orang menghancurkan hidupku?"Ratih mencoba mendekati suaminya dengan hati-hati. "Mas, tenang. Marah seperti ini nggak akan menyelesaikan masalah."Namun, Bagas menatapnya tajam sambil menunjuk dengan jari yang gemetar. "Kamu nggak ngerti, Ratih. Kamu nggak kehilangan harga dirimu seperti aku."Ratih terdi

  • Pesugihan Genderuwo   171. Semakin Terpojok

    "Orang gila ... orang gila!"Teriakan anak-anak kecil itu mengganggu Bagas yang sedang asik menghisap rokok di depan rumahnya. Suasana desa yang sunyi seketika pecah oleh suara mereka yang riuh. Bagas mengangkat wajahnya sedikit, menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah tidak peduli. Namun, di balik matanya yang suram, ada kebencian yang tersirat. Dunia ini tak lagi memberi tempat baginya."Eh, itu loh orang gila baru!" salah seorang anak laki-laki berteriak dengan tertawa nakal."Wes, lempar batu!" sahut temannya yang lain."Ayo-ayo!" Anak-anak itu makin semangat, seakan menemukan hiburan dalam penderitaan orang lain.Buk! Buk!Batu-batu kecil melayang ke tubuh Bagas. Dia tak bergerak, hanya diam dan menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. Rasa sakit dari batu-batu yang menghantam tubuhnya tidak menggerakkannya sedikit pun. Ketika sebuah batu hampir mengenai wajahnya, Bagas akhirnya berdiri dengan perlahan, menekan rokok yang masih menyala itu di kakinya.Namun, sebelum

  • Pesugihan Genderuwo   170. Suara-suara aneh

    "Hentikan... Bukan aku! Bukan aku!"Jeritan Bagas menggema, memecah keheningan siang itu. Suara itu terdengar hingga keluar rumah, membuat Ratih yang sedang menyapu halaman tertegun. Dia segera menghentikan pekerjaannya dan bergegas masuk ke dalam.Pintu rumah yang setengah terbuka memperlihatkan pemandangan yang membuat Ratih kaget. Barang-barang berantakan—kursi terjungkal, pecahan gelas berserakan di lantai, dan meja kecil yang biasanya rapi kini terbalik. Di tengah kekacauan itu, Bagas duduk meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat."Mas, kamu kenapa?!" Ratih mendekatinya dengan hati-hati, tetapi Bagas tidak menjawab. Matanya melotot ke satu titik, seolah-olah ada sesuatu yang hanya bisa dia lihat."Tolong ... jangan dekati aku ...." Bagas bergumam lirih, tangannya menutup wajah.Ratih mencoba menyentuh bahunya, tetapi Bagas tiba-tiba menjerit keras. "Aku bilang jangan dekati aku! Jangan bawa mereka ke sini! Aku nggak sanggup lagi!"Ratih mundur sejenak, hatinya kalut. B

  • Pesugihan Genderuwo   169. Mengisolasi Diri

    Di salah satu warung kopi desa, suasana santai berubah menjadi obrolan serius ketika beberapa warga mulai membahas keluarga Bagas.Seorang pria muda menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu dan berbisik pelan, "Aku dengar mereka sampai jual ladang dan rumah mewahnya. Benar-benar habis semuanya. Kasihan juga, sih."Bapak-bapak berkumis yang sedang menyeruput kopi, meletakkan cangkirnya dan mendesah. "Tapi ya, itu pelajaran buat kita semua. Jangan serakah. Lagipula, kamu tau cerita tentang kakeknya Bagas, kan?"Pria muda mengernyit penasaran. "Cerita yang mana?"Bapak tua mulai mendekatkan tubuhnya, seolah takut ada yang mendengar. "Konon, dia dulu pernah bermain dengan ilmu hitam. Katanya sih, dia minta kekayaan dengan cara nggak wajar."Warga yang lainnya yang dari tadi diam, tiba-tiba menimpali. "Mungkin ini balasannya. Kalau bukan sekarang, ya, turunnya ke keturunan."Pria muda itu mengangguk serius. "Apa pun itu, keluarganya memang lagi diuji habis-habisan. Aku cuma berharap mereka bi

  • Pesugihan Genderuwo   168. Menjadi Topik Hangat

    "Ratih, kamu sadar kan? Mereka semua menghindari kita."Bagas berdiri di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, menghindari tatapan Ratih."Apa yang kita lakukan sampai mereka begitu takut dekat dengan kita?" lanjutnya dengan suara hampir putus asa.Ratih menunduk, menahan emosinya. "Kita nggak bisa kontrol apa yang orang lain pikirkan, Mas."Bagas berbalik, wajahnya dipenuhi amarah yang terkendali. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Terus seperti ini, terasing di rumah yang semakin rapuh?"Ratih menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita nggak akan selamanya terperangkap di sini, Mas. Kita hanya perlu waktu. Waktu untuk bangkit.""Tapi bagaimana kalau waktu itu nggak datang?" Bagas menyahut, suara penuh keraguan.Suasana desa terasa dingin, meski matahari bersinar cerah. Setiap kali Ratih atau Bagas mencoba keluar rumah, pandangan sinis dan bisikan warga mengikuti mereka. Kehilangan harta benda telah memisahkan mereka dari status sosial yang dulu tinggi, sementa

  • Pesugihan Genderuwo   167. Kekosongan

    "Mas aku tau ini semua sulit bagimu!",Namun, meskipun Ratih mencoba menyentuh hati Bagas, dia tahu suaminya butuh waktu untuk menerima dirinya yang sekarang. Kekosongan yang dirasakan Bagas perlahan menggerogoti hubungan mereka, menjauhkan mereka satu sama lain. Setiap malam, Ratih terbangun dengan perasaan kosong, merasa seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, meski mereka tinggal di atap yang sama.'Bahkan aku merasa diriku juga tidak baik-baik aja, Mas! Aku merasa aneh! Walaupun aku menguatkan kamu, tapi diriku tidak juga sekuat itu!' Suatu pagi, Ratih memutuskan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di sana, dia bertemu dengan seorang teman lamanya, Siti, yang sudah lama tak dia temui.Siti menatap Ratih dengan tatapan prihatin, seperti melihat sesuatu yang lebih dari sekadar wajah sahabat lamanya. Mereka duduk di teras rumah kontrakan sederhana milik Ratih, suasana sunyi hanya ditemani suara angin yang berhembus pelan, menciptakan rasa hampa di

DMCA.com Protection Status