Accueil / Horor / Pesugihan Genderuwo / 161. Pasar Gaib

Share

161. Pasar Gaib

Auteur: Wenchetri
last update Dernière mise à jour: 2025-01-02 22:36:25

"Udah lama nggak kemari, Nak Bagas."

Suara parau itu terdengar begitu berat, seakan berasal dari jauh. Bagas menatap pria tua itu dengan jantung yang berdegup kencang, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya.

"I—iya, saya mencari Mbah!" jawab Bagas dengan sedikit gugup, berusaha menjaga ketenangannya.

Pria tua itu menatap Ratih dengan pandangan yang dalam, seakan menilai setiap gerak-gerik tubuhnya. Ratih merasakan tatapan itu begitu tajam, bahkan lebih tajam daripada yang dia kira. Suatu perasaan tak nyaman mulai merayap di sepanjang tulang punggungnya.

Pria tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke barang-barang yang dibawa Bagas. Dengan gerakan lambat, Bagas mulai menunjukkan barang-barang spiritualnya, benda-benda yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kendi, dupa, dan berbagai benda ritual lainnya.

Pria tua itu memperhatikan setiap benda yang ditunjukkan, matanya penuh penilaian. Lalu, setelah beberapa saat, dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih berat dari sebel
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Related chapter

  • Pesugihan Genderuwo   162. Uang Menjadi Daun

    "Mas, tunggu dulu! Jawab pertanyaan ku sekarang!" Ratih memotong langkah Bagas, berdiri tegak di hadapannya. Matanya menatap tajam, mencari jawaban yang telah lama terpendam di dalam diri suaminya.Bagas berhenti sejenak, dan setelah beberapa detik hening, dia hanya mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tanpa menatap wajah Ratih. "Itu pasar gaib."Ratih terpaku. Perasaan cemas, bingung, dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Dia sudah merasakan ada yang aneh, tetapi tidak menyangka akan menghadapi kenyataan ini. "Pasar gaib? Mas, kamu nggak bilang kalau kita sudah terlibat dalam hal seperti ini!" suaranya bergetar, kesal.Bagas menundukkan kepala, tidak berani menatap istrinya. Dia merasa bersalah, tetapi di saat yang sama, ada rasa takut yang mendalam menguasai dirinya.Ratih menggertakkan giginya. "Tunjukkan uang yang diberikan pria tua itu!" perintahnya.Bagas terdiam sejenak, lalu dengan enggan mengeluarkan uang yang diterimanya dari pria tua itu. Begitu uang itu berada di t

    Dernière mise à jour : 2025-01-02
  • Pesugihan Genderuwo   163. Ratih bersikap Aneh Kembali

    "Hm, enak! Astaga ini makanan paling enak!" Ratih jongkok di lantai, menghadap dinding kayu rumahnya yang kusam. Tangannya gemetar, namun mulutnya tidak berhenti mengunyah. Bau anyir samar tercium di udara. Mulutnya merah, bercak-bercak merah pekat juga menodai jemarinya."Daging ini benar-benar enak... Aku nggak sangka Mas Bagas makan makanan seenak ini tanpa bilang ke aku," gumamnya pelan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.Dia merobek sepotong lagi dari daging mentah di tangannya, mata Ratih berbinar seperti menemukan sesuatu yang memuaskan. Namun, kesenangannya segera berubah menjadi ketegangan ketika suara Bagas menggema dari dalam rumah."Ratih! Kamu di mana?" panggil Bagas, langkah kakinya semakin mendekat.Ratih tersentak. Ekspresi panik langsung tergambar di wajahnya. Dengan cepat, dia menyembunyikan potongan daging di balik kain usang yang ada di lantai dan mengusap mulutnya dengan air."Ratih?" Bagas muncul di pintu dapur, melihatnya berdiri kaku dengan tangan yang m

    Dernière mise à jour : 2025-01-03
  • Pesugihan Genderuwo   164. Bagas Terpuruk dalam keadaan

    "Benar-benar nggak bisa seperti dulu lagi," gumam Bagas, hampir tak terdengar.Dia kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu—pria yang pernah dihormati, disegani, dan menjadi tumpuan banyak orang. Kehilangan rumah, bisnis, dan kepercayaan dari warga desa membuatnya merasa seperti manusia yang tak berarti. Setiap langkah terasa berat, setiap napas seperti menambah beban yang tak pernah bisa lepas.Bagas membatin. "Apa gunanya aku sekarang? Semua yang ku bangun hancur. Rumah itu ... tanah itu ... bahkan harga diriku. Mereka semua benar, aku ini gagal. Bagaimana aku bisa menatap wajah Ratih lagi? Dia pasti kecewa ... Tapi, kenapa dia masih bertahan? Aku bahkan nggak pantas untuknya."Di matanya, dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelabu. Dia terjebak dalam lingkaran rasa bersalah dan keputusasaan."Andai aku berusaha dengan tenaga. Mungkin semua ini nggak akan hilang! Tapi, pesugihan itu juga sebagian dari tenaga dan pikiran. Aku juga merasa lelah. Aku udah pantaskan di

    Dernière mise à jour : 2025-01-04
  • Pesugihan Genderuwo   165. Menjadi Sorotan Warga

    Beberapa hari kemudian, Bagas memutuskan pergi ke kota untuk mencoba berbicara dengan mantan rekan bisnisnya, berharap ada celah untuk memulai sesuatu yang baru. Namun, langkahnya terhenti ketika suara bisikan warga yang sedang bergunjing mencapai telinganya."Eh, itu si Bagas," bisik seorang pria paruh baya di pojok jalan, matanya melirik tajam ke arah Bagas yang berjalan dengan kepala menunduk. "Dulu dia sombong banget. Sekarang? Jatuh miskin, kayak orang nggak punya arah."Temannya menyahut dengan nada penuh ejekan. "Iya, karma. Kalau tamak dan mau menang sendiri, ya akhirnya begini. Aku denger-denger, ladangnya juga angker. Siapa yang mau beli?"Pria pertama terkekeh, matanya berkilat penuh kepuasan. "Bukan cuma soal ladang. Dulu kan katanya dia pesugihan, makanya sukses cepat. Sekarang semua berbalik. Dengar-dengar, setiap kejadian aneh di desa kita juga gara-gara ulah dia.""Benar. Orang kayak dia cuma bikin sial. Tapi anehnya, masih ada aja yang nganggap dia baik," tambah teman

    Dernière mise à jour : 2025-01-04
  • Pesugihan Genderuwo   166. Bagas Merasa Kenangan Semu

    Bagas duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, menatap foto lama yang terletak di meja. Foto itu menunjukkan mereka berdua di masa kejayaan—senyum lebar, penuh harapan, dan impian yang seolah tak terbatas. Namun kini, semua itu terasa jauh, seolah berada di kehidupan yang berbeda."Kenangan ini, menyenangkan tapi juga banyak penyesalan. Aku terlalu bodoh untuk bisa menganggap semua ini kebahagiaan. Nyatanya aku hanya membawakan penderitaan terhadap Ratih! Hm, memalukan!" Ratih masuk perlahan, membawa secangkir teh hangat. Dengan hati-hati, dia meletakkan secangkir teh di atas meja dan duduk di samping Bagas. Keheningan di antara mereka begitu terasa, meskipun mereka duduk bersebelahan. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun jarak fisik mereka begitu dekat."Mas," Ratih akhirnya bersuara, mencoba menjangkau suaminya. "Aku tahu ini sulit. Tapi kita masih punya satu sama lain."Bagas menggeleng pelan, suaranya serak dan penuh penyesalan. "Aku bahkan nggak pa

    Dernière mise à jour : 2025-01-04
  • Pesugihan Genderuwo   167. Kekosongan

    "Mas aku tau ini semua sulit bagimu!",Namun, meskipun Ratih mencoba menyentuh hati Bagas, dia tahu suaminya butuh waktu untuk menerima dirinya yang sekarang. Kekosongan yang dirasakan Bagas perlahan menggerogoti hubungan mereka, menjauhkan mereka satu sama lain. Setiap malam, Ratih terbangun dengan perasaan kosong, merasa seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, meski mereka tinggal di atap yang sama.'Bahkan aku merasa diriku juga tidak baik-baik aja, Mas! Aku merasa aneh! Walaupun aku menguatkan kamu, tapi diriku tidak juga sekuat itu!' Suatu pagi, Ratih memutuskan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di sana, dia bertemu dengan seorang teman lamanya, Siti, yang sudah lama tak dia temui.Siti menatap Ratih dengan tatapan prihatin, seperti melihat sesuatu yang lebih dari sekadar wajah sahabat lamanya. Mereka duduk di teras rumah kontrakan sederhana milik Ratih, suasana sunyi hanya ditemani suara angin yang berhembus pelan, menciptakan rasa hampa di

    Dernière mise à jour : 2025-01-04
  • Pesugihan Genderuwo   168. Menjadi Topik Hangat

    "Ratih, kamu sadar kan? Mereka semua menghindari kita."Bagas berdiri di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, menghindari tatapan Ratih."Apa yang kita lakukan sampai mereka begitu takut dekat dengan kita?" lanjutnya dengan suara hampir putus asa.Ratih menunduk, menahan emosinya. "Kita nggak bisa kontrol apa yang orang lain pikirkan, Mas."Bagas berbalik, wajahnya dipenuhi amarah yang terkendali. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Terus seperti ini, terasing di rumah yang semakin rapuh?"Ratih menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita nggak akan selamanya terperangkap di sini, Mas. Kita hanya perlu waktu. Waktu untuk bangkit.""Tapi bagaimana kalau waktu itu nggak datang?" Bagas menyahut, suara penuh keraguan.Suasana desa terasa dingin, meski matahari bersinar cerah. Setiap kali Ratih atau Bagas mencoba keluar rumah, pandangan sinis dan bisikan warga mengikuti mereka. Kehilangan harta benda telah memisahkan mereka dari status sosial yang dulu tinggi, sementa

    Dernière mise à jour : 2025-01-05
  • Pesugihan Genderuwo   169. Mengisolasi Diri

    Di salah satu warung kopi desa, suasana santai berubah menjadi obrolan serius ketika beberapa warga mulai membahas keluarga Bagas.Seorang pria muda menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu dan berbisik pelan, "Aku dengar mereka sampai jual ladang dan rumah mewahnya. Benar-benar habis semuanya. Kasihan juga, sih."Bapak-bapak berkumis yang sedang menyeruput kopi, meletakkan cangkirnya dan mendesah. "Tapi ya, itu pelajaran buat kita semua. Jangan serakah. Lagipula, kamu tau cerita tentang kakeknya Bagas, kan?"Pria muda mengernyit penasaran. "Cerita yang mana?"Bapak tua mulai mendekatkan tubuhnya, seolah takut ada yang mendengar. "Konon, dia dulu pernah bermain dengan ilmu hitam. Katanya sih, dia minta kekayaan dengan cara nggak wajar."Warga yang lainnya yang dari tadi diam, tiba-tiba menimpali. "Mungkin ini balasannya. Kalau bukan sekarang, ya, turunnya ke keturunan."Pria muda itu mengangguk serius. "Apa pun itu, keluarganya memang lagi diuji habis-habisan. Aku cuma berharap mereka bi

    Dernière mise à jour : 2025-01-05

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

  • Pesugihan Genderuwo   260. Kebenaran Terkubur

    "“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik

  • Pesugihan Genderuwo   259. Amarah

    Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku

  • Pesugihan Genderuwo   258. Pembalasan

    “Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status