Share

148. Pemulihan

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-29 20:05:41

“Mas,” kata Ratih pelan, memecah keheningan. “Apa kamu pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini?”

Malam itu sunyi, rumah kembali tenang tanpa bayang Genderuwo. Ratih memandang bintang, sementara Bagas menyeruput teh hangat di sampingnya. Hening terasa seperti hadiah setelah semua ketegangan.

Bagas tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke depan. “Nggak pernah. Kalau mengingat semua yang sudah kita lalui, rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Tapi sekarang, aku merasa seperti diberi kesempatan kedua untuk hidup.”

Ratih mengangguk. Pikirannya melayang pada semua yang telah terjadi—perjalanan mereka mencari bahan ritual, pertempuran yang penuh bahaya, hingga pengorbanan besar yang mereka lakukan. Semua itu meninggalkan luka, tapi juga pelajaran yang tak ternilai.

“Aku menyadari satu hal,” kata Ratih. “Bahwa hidup kita dulu terlalu mengeluh karena suatu keadaan."


Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   149. Membagikan Sebagian

    Kyai Ahmad mengangguk pelan, memahami apa yang dirasakan Bagas. Beliau tahu, meskipun Genderuwo telah lenyap, pengaruhnya masih menyisakan jejak yang mencoba menggoyahkan pikiran dan jiwa mereka. “Bagas,” ujar Kyai Ahmad, nadanya tenang namun penuh ketegasan. “Apa yang kamu rasakan itu ujian. Sesuatu yang jahat selalu berusaha kembali, mencari celah untuk menguasai. Tapi ingat, kuncinya ada di dalam hatimu.” Bagas menatap Kyai dengan penuh rasa syukur, sementara Ratih tetap diam, pandangannya tertuju pada lantai. Kyai Ahmad memandang keduanya, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kalian telah melewati ujian yang sangat berat,” ujar Kyai Ahmad, suaranya penuh kebijaksanaan. “Kalian berhasil karena keteguhan hati dan niat baik. Itu adalah kemenangan terbesar yang bisa dicapai oleh manusia. Tapi perjalanan kalian belum selesai.” “Belum selesai, Kyai?” tanya Bagas, sedikit bingung. “Belum,” jawab Kyai Ahma

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • Pesugihan Genderuwo   150. Perlahan Hilang

    “Juragan Bagas!”Teriakan panik seorang petani terdengar memecah keheningan pagi. Dia berlari dengan napas tersengal-sengal ke arah Bagas yang sedang duduk di kursi rotan di depan rumah.“Ada apa?” tanya Bagas, bangkit dari kursinya. Wajahnya menunjukkan campuran rasa penasaran dan kekhawatiran.“Ladang di belakang, Juragan! Tanamannya hancur semua!” kata petani itu dengan suara gemetar.Bagas mengerutkan dahi. “Hancur? Maksudmu apa? Jelaskan lebih jelas!”“Semua tanaman layu, Juragan! Jagungnya kering, padinya tumbang, daunnya seperti terbakar. Padahal kemarin semuanya masih subur!”Tanpa membuang waktu, Bagas segera berjalan cepat menuju ladang di belakang rumahnya. Petani itu mengikuti di belakang, masih berusaha mengatur napasnya.Sesampainya di ladang, Bagas berhenti dengan mata terbelalak. Ladang yang kemarin terlihat hijau dan subur kini berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Pohon-pohon jagung yang dulu kokoh kini roboh, daunnya menguning dan kering. Padi yang biasanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • Pesugihan Genderuwo   151. Kegagalan

    Bagas mencoba terlihat tenang dihadapan para petaninya. Dia tidak ingin situasi semakin sulit kalau mereka tahu bahwa itu karena pesugihan"Hm, kalau ini semua terungkap, bisa-bisa aku benar-benar dibakar hidup-hidup oleh warga desa," lirih Bagas, wajahnya tampak penuh kekhawatiran.Tiba-tiba, suara telepon rumah berbunyi nyaring.Rrring! Rrring!Bagas tersentak. Dia segera berjalan ke arah telepon dan mengangkatnya. "Halo! Siapa ini?" tanyanya dengan nada waspada."Pak Bagas, saya mau menghentikan kerja sama kita. Saya nggak akan lagi mengambil hasil panen dari ladang Anda," ujar suara pria di seberang telepon, nadanya tegas namun dingin.Bagas mengernyit, merasa terkejut sekaligus bingung. "Apa? Ada masalah apa, Pak? Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanyanya dengan suara agak meninggi."Maaf, Pak Bagas, ini keputusan saya. Saya nggak mau lagi terlibat kerja sama ini. Terima kasih."Tuuut...Telepon itu terputus begitu saja, sebelum Bagas sempat mendapat jawaban yang memuaskan. Dia men

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • Pesugihan Genderuwo   152. Petani Berhenti Kerja

    "Maaf, Juragan. Saya ingin berhenti kerja," ujar salah satu petani dengan nada ragu, namun tegas.Bagas menghela napas panjang, menenangkan diri sebelum menjawab. "Kenapa? Apa karena gaji?" tanyanya, mencoba tetap tenang meski hatinya mulai resah.Para petani saling pandang, ragu sejenak sebelum salah satu dari mereka akhirnya memberanikan diri berbicara."Iya, Juragan. Salah satunya karena itu. Tapi ada alasan lain yang lebih besar," jawabnya dengan hati-hati.Bagas mengernyitkan dahi. "Alasan apa?"Petani itu menelan ludah, lalu berkata, "Kami tidak ingin bekerja tanpa ada hasil, Juragan. Tanaman tidak tumbuh, ladang semakin rusak, dan kami merasa seperti menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia."Bagas semakin penasaran. "Maksudmu apa? Jelaskan lebih jelas!"Petani lainnya maju dan mulai menjelaskan dengan lebih detail. "Begini, Juragan. Kami sudah mencoba segalanya. Bibit baru sudah kami tanam. Tanah sudah kami pupuki. Tapi tetap saja, ladang itu seperti ditolak oleh alam. Tanahn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Pesugihan Genderuwo   153. Semakin Jatuh

    Dia menarik napas panjang. Matanya terpaku pada angka-angka utang. Angka itu seharusnya lunas, tapi kini membengkak. Panik mulai merayap. Seperti api, perlahan membakar kepercayaannya."Bagaimana bisa semua ini terjadi? Bukannya sudah aku bayar? Kenapa rasanya malah makin besar?" Bagas mengernyitkan dahi, meraih dokumen lain untuk diperiksa. Tangannya gemetar saat membalik halaman demi halaman, mencoba mencari kesalahan atau jawaban yang masuk akal.Namun, semakin dia membaca, semakin tidak jelas semua ini. Seolah-olah ada kekuatan yang mempermainkannya, membuat segalanya berantakan. "Aku nggak bisa terus seperti ini. Harus ada jalan keluar ... harus!" bisiknya, penuh keputusasaan.Bagas merasakan semua yang istimewa menjadi hal yang paling memalukan. "Kenapa bisa seperti ini?" gumamnya, suaranya serak. Bagas merasa hidupnya benar-benar hancur. Bukan di tangan orang lain, melainkan tangannya sendiri."Sial," katanya dalam hati, menatap surat-surat itu. Rasa cemas mulai menyerangny

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Pesugihan Genderuwo   154. Dilema Dari Kegagalan

    Tok! Tok! Tok!Ketukan keras di pintu memecah kesunyian pagi. Bagas mendesah berat. Dari dalam rumah, dia memandang ke arah ladangnya yang gersang, menyadari bahwa semuanya semakin hancur. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya lelah.Saat pintu dibuka, seorang pria berdiri dengan wajah merah padam. Itu Herman, salah satu pelanggan setianya dulu."Pak Bagas! Kembalikan uang saya!" seru Herman dengan suara menggema, tanpa basa-basi.Bagas tertegun. Dia mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Pak Herman, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba meminta uang kembali?" tanyanya, meski dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini."Jangan pura-pura nggak tahu, Pak! Saya sudah kasih uang muka untuk pakan dan buah dari ladang Anda. Tapi hasilnya nol! Mana uang saya?" bentak Herman, matanya menyala penuh amarah.Bagas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Pak, saya mohon sabar dulu. Ladang saya memang sedang nggak baik, tapi saya berjanji akan memperbaiki semuanya.""Memperbaiki?" Herman tert

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Pesugihan Genderuwo   155. Harga dari Kesesatan

    "Bayar upah kami!" Kerumunan petani berkumpul di depan rumah Bagas, membawa berbagai benda tajam seperti parang dan cangkul. Wajah mereka tampak geram, suara mereka menggema keras di pagi yang mencekam. "Juragan! Mana upah kami? Kami butuh makan!" teriak salah seorang dari mereka, disambut sorakan setuju dari yang lain. Para pekerja itu telah berbulan-bulan tidak menerima gaji, dan kesabaran mereka akhirnya habis. Usaha Bagas yang terpuruk membuatnya tidak mampu memenuhi kewajibannya, tetapi para petani tidak ingin tahu. Di dalam rumah, Ratih mengintip dari sela-sela jendela dengan wajah cemas. Suara teriakan dan ancaman di luar semakin membuat hatinya berdebar kencang. "Mas, mereka sudah di depan rumah! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ratih dengan suara bergetar, menoleh ke arah Bagas yang duduk diam di ruang tamu. Bagas hanya bisa menghela napas panjang. Kepalanya tertunduk, pikirannya kalut mencari jawaban. Tapi kenyataan menamparnya keras—dia benar-benar tidak tahu harus

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Pesugihan Genderuwo   156. Sikap Tegas Ratih

    Dia berbalik, meninggalkan Bagas yang terpaku di tempatnya, terguncang oleh kenyataan yang dia tahu benar namun enggan dia terima. Bagas mencoba mendekati Ratih, tapi perempuan itu mundur. Air mata menggenang di matanya, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Bagas menatap Ratih dengan lembut, meski matanya menyiratkan penyesalan. "Aku nggak mau melihatmu hidup seperti ini, Ratih. Kamu berhak mendapatkan lebih," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Ratih langsung menyela, suaranya meninggi penuh emosi. "Yang aku inginkan hanya hidup tenang, Mas! Bukan rumah besar, bukan emas di mana-mana!" Dia menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Aku cuma mau kita hidup tanpa bayang-bayang kutukan!" Bagas mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan tajam istrinya. "Aku melakukannya demi kita—" gumamnya hampir tidak terdengar. Ratih tertawa kecil, namun terdengar sinis. "Demi kita?" tanyanya dengan nada getir. "Nggak, Mas. Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   162. Uang Menjadi Daun

    "Mas, tunggu dulu! Jawab pertanyaan ku sekarang!" Ratih memotong langkah Bagas, berdiri tegak di hadapannya. Matanya menatap tajam, mencari jawaban yang telah lama terpendam di dalam diri suaminya.Bagas berhenti sejenak, dan setelah beberapa detik hening, dia hanya mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tanpa menatap wajah Ratih. "Itu pasar gaib."Ratih terpaku. Perasaan cemas, bingung, dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Dia sudah merasakan ada yang aneh, tetapi tidak menyangka akan menghadapi kenyataan ini. "Pasar gaib? Mas, kamu nggak bilang kalau kita sudah terlibat dalam hal seperti ini!" suaranya bergetar, kesal.Bagas menundukkan kepala, tidak berani menatap istrinya. Dia merasa bersalah, tetapi di saat yang sama, ada rasa takut yang mendalam menguasai dirinya.Ratih menggertakkan giginya. "Tunjukkan uang yang diberikan pria tua itu!" perintahnya.Bagas terdiam sejenak, lalu dengan enggan mengeluarkan uang yang diterimanya dari pria tua itu. Begitu uang itu berada di t

  • Pesugihan Genderuwo   161. Pasar Gaib

    "Udah lama nggak kemari, Nak Bagas."Suara parau itu terdengar begitu berat, seakan berasal dari jauh. Bagas menatap pria tua itu dengan jantung yang berdegup kencang, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya."I—iya, saya mencari Mbah!" jawab Bagas dengan sedikit gugup, berusaha menjaga ketenangannya.Pria tua itu menatap Ratih dengan pandangan yang dalam, seakan menilai setiap gerak-gerik tubuhnya. Ratih merasakan tatapan itu begitu tajam, bahkan lebih tajam daripada yang dia kira. Suatu perasaan tak nyaman mulai merayap di sepanjang tulang punggungnya.Pria tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke barang-barang yang dibawa Bagas. Dengan gerakan lambat, Bagas mulai menunjukkan barang-barang spiritualnya, benda-benda yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kendi, dupa, dan berbagai benda ritual lainnya.Pria tua itu memperhatikan setiap benda yang ditunjukkan, matanya penuh penilaian. Lalu, setelah beberapa saat, dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih berat dari sebel

  • Pesugihan Genderuwo   160. Wajah Pucat

    "Mas, disini dingin!" Ratih menggigil, mencoba menghangatkan tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri. Bibirnya bergetar kedinginan, dan kakinya pun sedikit gemetar menahan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Meski malam sudah larut, hawa yang begitu dingin membuatnya merasa tidak nyaman.Bagas berjalan di depannya tanpa menunjukkan reaksi apapun. Langkahnya mantap dan terburu-buru, seakan dia tidak merasakan apa yang dirasakan istrinya. Wajahnya terfokus pada jalan gelap di depannya, matanya seperti menghindari pandangan Ratih yang penuh tanya."Mas, pasarnya mana?" Ratih akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu-ragu. Dia merasa tidak nyaman dengan kegelapan dan hawa dingin yang semakin menusuk."Sabar, sebentar lagi kita sampai!" jawab Bagas, suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada yang aneh. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa dipaksakan.Mereka terus berjalan di tengah kegelapan, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin aneh perasaan Ratih. Udara semak

  • Pesugihan Genderuwo   159. Pindah Rumah

    "Hm, ini yang pernah aku lakukan..."Bagas memandang beberapa kendi dan dupa bekas ritual yang sering dia lakukan. Kenangan-kenangan itu kembali menghantui pikirannya, membawa dirinya ke masa-masa kelam yang sulit dilupakan."Aku serahkan semua jiwa-jiwa yang tersesat. Jiwa-jiwa yang berkhianat, jiwa-jiwa yang menentang, untuk kau makan. Kau beri aku harta melimpah. Ku kasih kau istriku untuk memenuhi hasratmu..."Bagas mengingat dengan jelas bacaan mantra yang pernah diucapkannya saat melakukan ritual tersebut. Dalam momen itu, jiwa Bagas merasa seperti dirasuki oleh kekuatan yang begitu besar, seolah-olah ada sesuatu yang menguasai tubuhnya.Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian besar ingatannya kini terasa samar dan menyusut, seolah dia terjebak dalam kabut yang sulit dipahami."Aku sudah janji sama Ratih... Tapi—waktu itu, nikmatnya nggak bisa digantikan. Harta dan tahta seakan berpihak padaku!" gumam Bagas, matanya kosong seiring pikirannya melayang ke masa lalu.Sambil sibu

  • Pesugihan Genderuwo   158. Gunjingan

    "Kembalikan hak kami!"Suara keras itu menggema di halaman rumah Bagas. Sekelompok petani mulai berdatangan, membawa obor di tangan mereka. Wajah mereka dipenuhi amarah, namun juga kelelahan dari pekerjaan yang tak kunjung dihargai."Mana Juragan? Katanya malam ini upah kami dibayar!" seru salah seorang petani, matanya tajam menatap ke arah pintu rumah Bagas.Bagas keluar dengan langkah berat, mencoba menenangkan situasi yang semakin memanas. "Tenang, tenang! Semua akan aku bagi! Kalian cuma perlu sedikit sabar," katanya dengan suara lantang, meskipun nada suaranya bergetar.Para petani mulai mereda, tapi tak sepenuhnya tenang. Bagas lalu meminta mereka untuk berbaris di depan rumahnya. Namun, salah seorang petani tiba-tiba bersuara, menatap kondisi rumah Bagas yang terlihat berantakan. "Juragan, rumahnya habis kerampokan ya?" tanyanya polos.Bagas terkejut, namun cepat-cepat menjawab singkat, "Bu—bukan!" Dia berusaha mempertahankan wibawanya meskipun hatinya penuh kegelisahan.Terden

  • Pesugihan Genderuwo   157. Penyitaan Barang

    "Buka pintu!"Gedoran keras di pintu depan membuat suasana malam yang sunyi berubah tegang. Bagas, yang duduk termenung di kursi tua, mendongak dengan raut kesal. Namun, dia tahu siapa yang ada di balik pintu itu. Dengan berat hati, Bagas bangkit dan berjalan ke arah pintu."Bagas! Buka sekarang juga atau aku dobrak!" Suara pria dari luar terdengar makin keras.Ratih, yang sedang di dapur, menghentikan aktivitasnya. "Siapa itu, Mas?" tanyanya cemas.Bagas tidak menjawab. Dia membuka pintu sedikit, tapi sebelum Bagas sempat berkata apa-apa, sebuah tinju mendarat keras di wajahnya.Buk!Bagas terhuyung ke belakang, memegangi pipinya yang kini terasa panas."Mas!" Ratih berlari ke ruang tamu, terkejut melihat suaminya terjatuh. Dia mendekati pria bertubuh besar yang berdiri di ambang pintu. "Kenapa kamu pukul suami saya?!" suaranya penuh amarah, meskipun dia sendiri terlihat gemetar.Namun, bukannya menjawab, pria itu justru melayangkan tamparan ke wajah Ratih. Ratih jatuh ke lantai, ter

  • Pesugihan Genderuwo   156. Sikap Tegas Ratih

    Dia berbalik, meninggalkan Bagas yang terpaku di tempatnya, terguncang oleh kenyataan yang dia tahu benar namun enggan dia terima. Bagas mencoba mendekati Ratih, tapi perempuan itu mundur. Air mata menggenang di matanya, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Bagas menatap Ratih dengan lembut, meski matanya menyiratkan penyesalan. "Aku nggak mau melihatmu hidup seperti ini, Ratih. Kamu berhak mendapatkan lebih," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Ratih langsung menyela, suaranya meninggi penuh emosi. "Yang aku inginkan hanya hidup tenang, Mas! Bukan rumah besar, bukan emas di mana-mana!" Dia menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Aku cuma mau kita hidup tanpa bayang-bayang kutukan!" Bagas mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan tajam istrinya. "Aku melakukannya demi kita—" gumamnya hampir tidak terdengar. Ratih tertawa kecil, namun terdengar sinis. "Demi kita?" tanyanya dengan nada getir. "Nggak, Mas. Kamu

  • Pesugihan Genderuwo   155. Harga dari Kesesatan

    "Bayar upah kami!" Kerumunan petani berkumpul di depan rumah Bagas, membawa berbagai benda tajam seperti parang dan cangkul. Wajah mereka tampak geram, suara mereka menggema keras di pagi yang mencekam. "Juragan! Mana upah kami? Kami butuh makan!" teriak salah seorang dari mereka, disambut sorakan setuju dari yang lain. Para pekerja itu telah berbulan-bulan tidak menerima gaji, dan kesabaran mereka akhirnya habis. Usaha Bagas yang terpuruk membuatnya tidak mampu memenuhi kewajibannya, tetapi para petani tidak ingin tahu. Di dalam rumah, Ratih mengintip dari sela-sela jendela dengan wajah cemas. Suara teriakan dan ancaman di luar semakin membuat hatinya berdebar kencang. "Mas, mereka sudah di depan rumah! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ratih dengan suara bergetar, menoleh ke arah Bagas yang duduk diam di ruang tamu. Bagas hanya bisa menghela napas panjang. Kepalanya tertunduk, pikirannya kalut mencari jawaban. Tapi kenyataan menamparnya keras—dia benar-benar tidak tahu harus

  • Pesugihan Genderuwo   154. Dilema Dari Kegagalan

    Tok! Tok! Tok!Ketukan keras di pintu memecah kesunyian pagi. Bagas mendesah berat. Dari dalam rumah, dia memandang ke arah ladangnya yang gersang, menyadari bahwa semuanya semakin hancur. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya lelah.Saat pintu dibuka, seorang pria berdiri dengan wajah merah padam. Itu Herman, salah satu pelanggan setianya dulu."Pak Bagas! Kembalikan uang saya!" seru Herman dengan suara menggema, tanpa basa-basi.Bagas tertegun. Dia mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Pak Herman, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba meminta uang kembali?" tanyanya, meski dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini."Jangan pura-pura nggak tahu, Pak! Saya sudah kasih uang muka untuk pakan dan buah dari ladang Anda. Tapi hasilnya nol! Mana uang saya?" bentak Herman, matanya menyala penuh amarah.Bagas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Pak, saya mohon sabar dulu. Ladang saya memang sedang nggak baik, tapi saya berjanji akan memperbaiki semuanya.""Memperbaiki?" Herman tert

DMCA.com Protection Status