Malam semakin larut. Hening terasa mencekam di rumah kecil mereka. Angin malam bertiup perlahan, sesekali membuat jendela kayu berderit. Ratih masih duduk di ruang tamu, menggenggam tasbih, membaca doa pelan. Sementara itu, Bagas mondar-mandir di dalam kamar, kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk. "Ratih," panggil Bagas akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. Dia berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut. Ratih menghentikan doanya dan menatap suaminya. "Ada apa, Mas?" Bagas mendekat, duduk di kursi di hadapannya. Ia menunduk, tidak berani menatap istrinya langsung. "Kalau semua ini gagal... kalau Genderuwo itu membalas dendam, apa yang akan kita lakukan?" Ratih menghela napas panjang. Ratih menatap suaminya dengan tatapan penuh keyakinan, mencoba memberikan ketenangan. "Kita nggak akan gagal. Kyai Ahmad sudah memberikan kita doa dan perlindungan. Kita hanya perlu percaya." "Tapi percaya saja tidak cukup," balas Bagas, suaranya meninggi sedikit. Bagas bangkit berd
Bagas duduk di depan meja kayu tua yang terletak di sudut ruang tamu. Di hadapannya, Ratih dengan sabar menyusun perlengkapan doa yang diberikan oleh Kyai Ahmad. Ucapan dzikir lirih terdengar dari mulut istrinya, menciptakan suasana yang tenang namun sarat dengan ketegangan.Malam itu, setelah semua kejadian yang mencekam, Bagas akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menghindar. Dia tahu bahwa keputusannya untuk menghentikan pesugihan adalah langkah yang benar, tetapi rasa ragu masih terus menghantui.“Bagas,” panggil Ratih dengan lembut, membuyarkan lamunannya. “Kamu mau bantu aku mengatur ini?”Bagas memandang istrinya sejenak, lalu mengangguk. “Apa yang harus aku lakukan?”“Susun ini,” jawab Ratih sambil menyerahkan kain putih yang harus dilipat dengan cara tertentu. “Kyai Ahmad bilang ini penting untuk perlindungan kita.”Bagas menerima kain itu dengan hati-hati. Meskipun tangannya gemetar, diaa mencoba fokus pada tugas yang diberikan. Ada sesuatu yang menenangkan dari melihat Rat
"Kau pikir doa-doa itu akan menyelamatkanmu, Bagas?” Suara berat Genderuwo itu berbisik di telinga Bagas saat dia terbangun di tengah malam. “Aku sudah menanamkan diriku di dalam hidupmu. Kamu tidak akan pernah bebas dariku.” Bagas terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya dibasahi keringat dingin. Dia melihat Ratih masih tertidur di sampingnya, wajahnya tampak damai meski dia tahu beban yang mereka pikul sama beratnya. Dengan hati-hati, Bagas bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke ruang tamu, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, di sudut ruangan yang gelap, dia merasa seolah-olah ada sepasang mata mengawasinya. Bayangan gelap bergerak cepat, dan suara tawa pelan terdengar. Bagas memejamkan matanya, menggenggam erat kedua tangannya. “Aku nggak bisa terus seperti ini,” gumamnya lirih. "Ini semakin menyesakkan napas. Gerakan semakin menyempit." Pagi harinya, Ratih menyadari perubahan di wajah suaminya. Kantung matanya tampak lebih dalam, dan tubuhnya terlihat lebih lem
Malam itu, setelah semua orang tidur, Bagas duduk sendiri di ruang tamu. Heningnya malam menyelimuti rumah, hanya ditemani oleh suara detik jam yang terdengar begitu lambatBayangan-bayangan dari lampu malam membentuk siluet di dinding, tetapi untuk pertama kalinya, bayangan itu tidak lagi terasa mengancam. Bagas menunduk, tangannya bertumpu pada lutut. Pikirannya berputar, mengingat setiap kejadian yang telah dia lalui. Ketakutan yang terus menghantui, bisikan Genderuwo yang menggema dalam pikirannya, dan bayangan gelap yang selalu mengintai. Semua itu adalah bagian dari beban yang selama ini dia bawa. Namun, di tengah keheningan itu, sesuatu yang berbeda mulai tumbuh dalam dirinya. Seolah-olah, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada ruang kecil di hatinya yang mulai terisi dengan kedamaian. Itu bukan kedamaian yang datang karena semua masalah telah selesai, tetapi kedamaian yang muncul dari penerimaan bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangan ini. Dia teringat pada ka
"Ratih, Bagas!"Suara Kyai Ahmad Syafii terdengar tegas di ruangan kecil tempat mereka berkumpul. “Untuk menghentikan kekuatan Genderuwo sepenuhnya, kita harus memutus semua jejak ritual pesugihan yang pernah dilakukan. Itu berarti menemukan benda-benda yang pernah digunakan dalam ritual tersebut.” Ratih terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-kata itu. Bagas, di sisi lain, langsung menggelengkan kepala. “Kyai, bukankah menghancurkan jimat saja sudah cukup? Mengapa kita harus mencari benda-benda itu?” Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tenang. “Jimat adalah pusat kekuatan, tetapi benda-benda lain itu adalah penghubungnya. Selama penghubung itu ada, kekuatan Genderuwo tidak akan benar-benar hilang.” Bagas menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. “Tapi Kyai, benda-benda itu... saya bahkan nggak tahu di mana mereka sekarang. Banyak yang sudah saya buang, atau mungkin sudah diambil orang lain.” Ratih memegang tangan suaminya erat. “Kita bisa mencobanya, Mas. K
“Apa kamu tidak lelah percaya pada semua ini, Ratih?” suara Bagas bergema di ruang tamu yang sunyi, suaranya penuh emosi.Ratih berdiri di hadapannya, menggenggam cawan perak yang mereka temukan di gudang beberapa waktu lalu. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah. “Mas, kalau aku tidak percaya, siapa lagi yang akan melakukannya? Kamu? Kamu bahkan tidak pernah benar-benar membantu!”Bagas mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Aku sudah melakukan lebih dari cukup, Ratih! Tapi kamu terus menyeretku dalam hal-hal ini. Apa kamu tidak sadar? Semua ini berisiko! Kalau kita gagal, kita bisa kehilangan segalanya!”Ratih membalas dengan nada tinggi, “Kita sudah kehilangan lebih banyak daripada yang kamu sadari, Mas. Apa kamu tidak lihat apa yang terjadi pada kita? Kekayaanmu tidak akan bisa menggantikan rasa sakit ini, Mas!Ratih melanjutkan kembali perkataannya. "Bagiamana bisa kamu bilang aku nggak percaya. Bahkan kamu sudah bohongi aku aja aku masih percaya sama kamu, Ma
“Kenapa kamu begitu takut, Bagas? Apa kamu pikir dia akan memaafkan kita?”Malam itu, suasana di ruang tamu begitu sunyi, hanya ditemani bunyi jam dinding yang terus berdetak. Bagas memejamkan matanya, menghela napas panjang, namun tetap tidak menjawab. Tubuhnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang terus menekan dadanya.Ratih melangkah mendekat, suaranya terdengar lirih namun tajam. “Kamu tahu apa yang harus kita lakukan, kan? Atau kamu mau terus bersembunyi di balik alasan?”Bagas membuka matanya, menatap lurus ke arah istrinya. Wajahnya letih, tetapi di balik itu ada ketakutan yang mendalam. “Ini bukan sekadar alasan, Ratih. Kamu tidak tahu seberapa besar risikonya.”“Risiko apa?” Ratih membalas, matanya berkaca-kaca. “Risiko kehilangan? Kita sudah kehilangan terlalu banyak, Mas. Apa lagi yang harus kita pertahankan?”Bagas terdiam, membiarkan kata-kata Ratih menghantam dirinya. Dia tahu istrinya benar, tapi lidahnya terasa kelu. Semua ini bukan hanya tentang harta, tapi juga tent
“Ritual ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan setengah hati,” ulang Kyai Ahmad Syafii dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Suaranya menggema di ruangan kecil itu, menyelimuti suasana malam yang semakin berat. “Kalian harus benar-benar siap, karena ini bukan hanya soal benda, tapi jiwa kalian yang menjadi taruhan. Jika ragu sedikit saja, Genderuwo akan mengambil keuntungan dari celah itu.”Bagas menelan ludah. Matanya beralih dari wajah Kyai Ahmad ke Ratih yang duduk di sampingnya. “Apa yang harus kami lakukan, Kyai? Semua ini... terasa begitu besar bagi saya”“Kalian harus benar-benar percaya bahwa apa yang kalian lakukan ini adalah untuk menyelamatkan diri dan keluarga kalian,” jawab Kyai Ahmad, matanya tajam menusuk. “Jika kalian tidak yakin, lebih baik berhenti sekarang.”Ratih mengepalkan tangan. “Kami siap, Kyai. Beri tahu kami apa yang harus dilakukan.”Kyai Ahmad mengangguk kecil, lalu membuka kitab doa yang tampak tua di tangannya. “Langkah pertama adalah menyucikan ruma
"Kamu itu bukan anakku!" Suara Ratih melengking, dipenuhi amarah dan ketakutan. Napasnya memburu saat menatap kedua anaknya yang berdiri di samping ranjang dengan tatapan kosong. Tubuh mereka kecil, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka—sesuatu yang membuat Ratih semakin muak. Siapa yang ingin memiliki anak dengan wujud seperti setan? Anak-anak yang selama ini menghantui hidupnya? "Kalian lihat apa?! Jangan harap aku akan menyusui kalian lagi!" Ratih meluapkan kekesalannya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kepanikan. Namun, kemarahan itu tak berhenti hanya dengan kata-kata. Ratih mulai kehilangan kendali. Dalam kepanikan yang membutakannya, tangannya terangkat—dan tanpa ragu, dia mencengkram Jagat dan Kala dengan kasar. PLAK! Tangan Ratih menampar tubuh kecil mereka. Jagat dan Kala menangis keras, suara mereka melengking memenuhi kamar. Bagas yang tengah berbaring di ruang tamu sontak terbangun. Jantungnya berdebar ketika mendengar suara tangisan anak-anakn
"Ngapain kamu ke sini, Mas?"Langkah Bagas terhenti ketika Ratih melihatnya berada di rumah kontrakannya. Tanpa berkata apa pun, Bagas hanya menatap dua anak kembarnya."Apa kamu sudah menemukan nama untuk anak kembar kita?" tanya Bagas.Ratih mengerutkan dahi. "Anak kita? Jelas-jelas mereka bukan seperti manusia, Mas!""Ratih, sudahlah, cukup! Mau ini anakku atau bukan, aku tetap akan menganggap mereka anakku! Karena aku tahu ini adalah kesalahanku!" jawab Bagas dengan tegas.Ratih terdiam. Hatinya belum bisa menerima keberadaan anak kembar mereka, terlebih lagi anak laki-laki itu."Terserah. Mau kasih nama apa, aku nggak peduli!" sahut Ratih sambil mengalihkan pandangannya.Bagas hanya bisa diam. Dia tahu benar perasaan istrinya yang masih belum bisa menerima anak-anak mereka."Jagat Mayar, untuk anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, aku beri nama Kala Sundari," ucap Bagas sambil tersenyum memandang kedua anaknya.Ratih masih memalingkan wajahnya. Namun, dalam hatinya perlahan m
"Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul
"Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar
"Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l
"Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber
Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang
Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit
"Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya