“Ratih, apakah kamu benar-benar yakin ingin melanjutkan ini?” Kyai Ahmad bertanya dengan nada tegas, memecah keheningan. Ratih mengangguk mantap. “Pak Kyai, aku nggak punya pilihan lain. Kehidupanku sudah sangat sengsara dengan makhluk ini. Meski aku tahu ini semua terjadi karena perbuatan suamiku sendiri, aku tetap yakin untuk melanjutkannya!” ucapnya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Mata Kyai Ahmad yang tajam menelusuri wajah Ratih, mencari keraguan, tetapi tidak menemukannya. Gadis itu telah melalui banyak hal, dan sorot matanya menunjukkan keberanian yang lahir dari keputusasaan. Kyai menarik napas panjang, lalu berkata, “Baik. Kalau begitu, kita harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin. Ritual ini tidak mudah dan akan menguras tenaga, baik secara fisik maupun spiritual. Genderuwo akan berusaha mempertahankan ikatan ini dengan segala cara.” Ratih menggenggam kedua tangannya di atas pangkuannya, mencoba menguatkan dirinya. “Apa yang harus aku lakukan,
Dia menghela napas panjang, lalu menenangkan pikirannya. ‘Aku harus memutuskan ini semua. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Mas Bagas boleh aja menyerah, tapi aku nggak!’ pikirnya tegas. Hari itu berlalu dengan penuh aktivitas. Murid-murid Kyai Ahmad membersihkan aula belakang pesantren, mengatur meja, dan menyiapkan segala bahan yang diperlukan untuk ritual. Ruangan itu mulai terasa berbeda, penuh dengan aura ketenangan dan kekhusyukan. Sementara itu, Kyai Ahmad meluangkan waktu untuk membimbing Ratih secara pribadi. Dia mengajari Ratih cara membaca doa pelindung dengan intonasi yang benar dan membantu memperkuat keyakinannya melalui zikir dan shalat. “Nak Ratih, ingatlah bahwa Genderuwo akan semakin marah dan berusaha mengintimidasi kita. Tapi jangan pernah berhenti membaca doa ini, apa pun yang terjadi,” pesan Kyai Ahmad. Ratih mencoba menguatkan dirinya. "Aku tau Kyai. Aku udah siap apapun hasil dan gangguannya!" Malam sebelum ritual, Ratih duduk di depan Kyai
“Nak Ratih, sudah siap?” Kyai Ahmad sambil menatap Ratih dengan serius. Ratih mengangguk, meskipun tangannya gemetar. “Insya Allah, Pak Kyai. Saya sudah membaca doa pelindung sepanjang malam. Saya harus siap.” Kyai Ahmad memberikan senyuman kecil untuk menyemangatinya. “Ingat, fokus pada Allah. Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu.” Murid-murid Kyai Ahmad yang berada di ruangan itu juga menatap Ratih dengan penuh dukungan. Salah satu dari mereka, Feri , berkata, “Kami akan menjaga ruang ini dengan zikir dan doa. Bu Ratih tidak sendiri!" “Terima kasih. Aku nggak bisa membiarkan Genderuwo terus menguasai hidup kami,” jawab Ratih dengan nada tegas. Ruang ritual di belakang aula telah disiapkan dengan hati-hati. Di tengah ruangan, terdapat meja kecil yang dikelilingi lilin-lilin besar. Sebuah mangkuk tembaga berisi air ruqyah ditempatkan di atas meja, sementara di sekitarnya terdapat garam yang telah didoakan, kain putih, dan minya
Tiba-tiba cahaya terang muncul di sekeliling Ratih. Genderuwo itu menjerit keras, tubuhnya perlahan memudar hingga menghilang dari pandangan. Ratih terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Dia memeluk jimat itu erat, air mata mengalir di pipinya. “Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku kalah,” bisiknya dengan suara parau, sebelum semuanya kembali sunyi. Saat itu, Ratih terbangun dengan napas tersengal. Pandangannya mulai kembali terang, ruangan yang sebelumnya terasa seperti mimpi buruk kini terlihat nyata di hadapannya. Jemarinya masih menggenggam erat jimat yang baru saja diambil. “Aku harus segera pergi dari sini! Sebelum Mas Bagas pulang!” gumamnya dengan nada panik. Ratih berdiri dengan tubuh yang masih lemas. Dia memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya. Dengan langkah cepat, dia keluar dari ruangan rahasia itu, namun perasaannya masih dipenuhi kecemasan. Setiap suara kecil membuatnya melonjak kaget, takut kalau Bagas sudah pulang atau ada yang memergoki
"Bajingan! dasar Bagas bodoh!" Ki Praja duduk bersila di dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin. Di hadapannya, sebuah kendi tanah liat berisi cairan hitam berkilau. Dia menggumamkan mantra pelan, matanya terpejam, wajahnya penuh konsentrasi. Tiba-tiba, bayangan samar muncul di permukaan cairan kendi itu—bayangan Ratih sedang menggenggam jimat utama yang baru saja ditemukan."Dasar Bagas, goblok! Udah aku katakan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Seketika, napas Ki Praja berubah menjadi berat. Matanya terbuka lebar dengan sorot penuh kemarahan. Dia menatap kendi itu dengan tatapan yang tajam, tubuhnya bergetar menahan amarah.“Dasar perempuan licik! Bagaimana bisa dia menemukan jimat itu?!” desis Ki Praja dengan suara rendah namun penuh dendam.Dia meraih tongkat kayu di sampingnya dan memukul meja kayu di depannya dengan keras. "Bajingan! Bagas bodoh! Sudah aku peringatkan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Suara meja yang terbelah menjadi du
Ruangan itu dipenuhi ketegangan. Ratih berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar antara marah dan takut. Bagas tetap duduk di kursi ruang tamu, menatap lantai dengan tatapan kosong. Di seberang mereka, Kyai Ahmad mengawasi dengan penuh kesabaran, berusaha menenangkan keadaan. “Mas,” suara Ratih pecah, penuh emosi, “apa kamu nggak lihat? Semua ini udah melampaui batas! Aku tahu kamu ingin kita hidup lebih baik, tapi caramu salah! Pesugihan ini bukan solusi. Ini kutukan!” Bagas mendesah berat, jemarinya menggenggam lututnya erat. Dia tidak berani menatap mata istrinya. “Apa kamu pikir ini keputusan mudah buat aku, Tih?” suaranya rendah, hampir berbisik. "Semua ini … semua yang kita punya sekarang, aku perjuangkan. Kalau aku memutuskan perjanjian ini, kita kehilangan semuanya. Kembali ke nol. Kamu mau hidup seperti dulu lagi? Serba kekurangan?” Ratih menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya. “Mas, aku nggak peduli soal kekayaan itu! Aku peduli soal kita, soal nyawa kita! Ka
Keputusan Bagas untuk membantu membawa sedikit kelegaan bagi Ratih dan Kyai Ahmad. Namun, mereka tahu bahwa langkah ini hanyalah awal, dan Bagas masih melangkah dengan setengah hati. Kyai Ahmad menarik napas panjang, berusaha memberikan ketenangan. “Nak Bagas, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menyusun strategi. Kita harus mendekati jimat itu tanpa menarik perhatian Genderuwo. Dia pasti akan merasakan jika kita mencoba mengusiknya. Karena itu, saya membutuhkan keberanian mu untuk membantu mengalihkan perhatiannya.” "Bukannya, jimat itu udah ada sama kalian?" tanya Bagas. "Iya. Ini jimat yang lainnya udah sama aku, Mas! Tapi ini bukan satu-satunya jimat yang kamu punya, kan?" Ratih mencecar ucapan Bagas. "I—iya, kamu benar!" sahut Bagas melemah. "Kali ini aku nggak akan tertipu lagi sama kamu, Mas! Cukup waktu itu aja, kamu menipu kami berdua!" Pekik Ratih. "Iya, maaf!" jawab Bagas dengan singkat. Kyai kembali memberikan instruksi kepada Bagas. "Nak Bagas kamu harus
Ratih duduk di samping Bagas. Dia mencoba tegar, meski hatinya berdebar. Bagas tampak gelisah. Tangannya menggenggam sajadah erat. Wajahnya pucat, pikirannya kacau. Doa-doa terus terdengar. Namun, ketakutan Bagas semakin membesar. Tiba-tiba, tubuh Bagas menegang. Sekujur tubuhnya terasa panas, seolah ada api yang menyala di dalam dirinya. “Panas … panas!” jerit Bagas, memegang dadanya dengan erat. Ratih segera mendekat, panik melihat suaminya menggeliat kesakitan di lantai. “Mas! Mas, ada apa?!” tanyanya dengan suara gemetar. Bagas mulai berguling-guling di lantai, mencoba mengatasi rasa sakit yang menyerang. “Panas! Tolong … aku nggak kuat!” suaranya memekik, memecah keheningan malam. Kyai Ahmad, yang mendengar teriakan itu, segera masuk ke dalam rumah bersama salah satu muridnya. “Ada apa ini?!” tanyanya, melihat Bagas yang tubuhnya kini dipenuhi bintik-bintik merah seperti bekas luka bakar. “Dia kesakitan, Kyai! Tolong Mas Bagas!” seru Ratih sambil memegangi suaminya yang t
"Jagat... Kala, hentikan!"Suasana begitu mencekam.Ratih berdiri dengan tubuh gemetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Jagat dan Kala sedang melahap beberapa kambing hidup. Daging dan darah segar berceceran, memenuhi tanah kandang ternak.Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Tidak—mereka lebih dari itu. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya.Walaupun Kala tampak lebih normal, tetap saja sifat iblis mengalir dalam darahnya, sama seperti Jagat, kakaknya.Kala menoleh dengan mulut berlumuran darah."Ini enak, Bu. Mau coba?"Suara itu tidak keluar dari mulutnya—suara itu menggema di dalam kepala Ratih.Ratih melangkah mundur, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Mata kedua anaknya semakin tajam, semakin menyeramkan.Dan yang lebih menakutkan—mereka bahkan tidak ragu untuk menyerangnya."Jagat... Kala! Hentikan perbuatan kalian!"Ratih berteriak, suaranya menggema di kandang ternak milik seorang warga yang baru saja pindah ke desa Sumb
"Jangan...!"Napas Ratih memburu, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin sempit. Tubuhnya gemetar hebat, peluh membasahi pelipisnya."Tidak mungkin... Ini tidak akan terjadi!"Ratih berdiri dari duduknya dengan tergesa, tangannya meraih teko air di atas meja dan meneguk beberapa gelas sekaligus. Namun, rasa sesak di dadanya tak kunjung mereda."Mimpi itu datang lagi!"Tangan Ratih semakin gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Kenapa dia selalu bermimpi buruk tentang masa depan? Mengapa bayangan Jagat dan Kala yang berubah menjadi sosok mengerikan selalu menghantuinya?Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berkecamuk."Tidak mungkin ini akan terjadi, kan? Apa yang harus aku lakukan jika semua itu benar-benar terjadi?"Krek!Ratih terperanjat.Suara itu datang dari belakangnya—suara seperti kuku yang mencakar kayu.Krek!Kali ini suara itu semakin jelas. Seolah-olah sesuatu sedang merayap mendekat.Ratih membeku. Tangannya men
“Bakar rumahnya!”Teriakan itu menggema di sepanjang gang sempit menuju rumah kontrakan Ratih. Puluhan warga dari Desa Sumberarum dan Karangjati berkumpul dengan wajah penuh amarah. Beberapa membawa obor, yang lainnya menggenggam golok, kayu, atau batu. Mereka datang bukan untuk berdialog, melainkan untuk menghakimi."Keluar, Ratih! Jangan sembunyikan lagi anak-anak setanmu itu!"Suara-suara itu semakin mendekat. Ratih yang berada di dalam rumah segera meraih kedua anak balitanya, Jagat dan Kala, lalu berlari ke dalam kamar.“Diam ya, Nak… jangan bersuara,” bisiknya dengan napas memburu.Tangannya gemetar saat membuka lemari pakaian kayu yang mulai lapuk. Dia memasukkan kedua anaknya ke dalam, lalu menutup pintunya pelan."Jangan keluar sampai Ibu bilang, ya?" suaranya nyaris berbisik.Jagat dan Kala menatapnya dengan mata bulat mereka yang hitam pekat. Mereka tidak menangis, tidak bersuara.Ratih menarik napas dalam, lalu berbalik. Di luar, suara warga semakin memanas.Braak! Braak!
Ratih melangkah perlahan memasuki kediaman Kiai Ahmad. Hatinya diliputi kegelisahan, tetapi dia berusaha menenangkan diri. Dua hari telah berlalu sejak Kiai Ahmad dilarikan ke rumah sakit setelah kejadian mengerikan di pendopo. Ratih masih belum bisa melupakan peristiwa itu, terutama sosok dua anaknya yang dia lihat di sana.Namun, kali ini dia memilih diam.Di dalam rumah, dia melihat Kiai Ahmad sedang beristirahat di dipan, tubuhnya dipenuhi perban. Luka-luka yang tampak di lengan dan wajahnya membuat dada Ratih semakin sesak."Kiai, bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan suara pelan.Seorang perempuan muda yang duduk di dekat Kiai Ahmad menoleh. Dia adalah anak perempuan Kiai Ahmad, seorang wanita yang terlihat kuat namun tetap lembut dalam sikapnya."Ini sudah lebih baik, Mbak Ratih," jawabnya dengan senyum tipis.Ratih mengangguk. "Syukur alhamdulillah," ucapnya lega, meskipun di dalam hati, dia masih menyimpan banyak pertanyaan.Dia duduk di kursi kayu yang berada di samping tem
"Ada apa itu?""Sepertinya dari rumah Pak Windra!"Suara teriakan dari arah ladang membuat Ratih tersentak. Warga desa yang masih berkumpul di pendopo pun langsung menoleh.Beberapa warga segera berlari ke arah sumber suara. Ratih berdiri mematung, tubuhnya seakan tidak bisa digerakkan. Jagat dan Kala masih berdiri di tempat yang sama, menatapnya dengan senyum aneh itu."Ayo-ayo kita kesana!""Iya, ada apa di sana?"Ratih tidak mau tahu. Dia harus pergi ke rumah Pak Windra! Dia harus memastikan.Dengan cepat, Ratih berlari menyusul warga yang sudah lebih dulu sampai. Ketika dia tiba di sana, teriakan histeris memenuhi udara."Ya Allah, Pak Windra!"Ratih menyibak kerumunan dan langsung terkejut.Pak Windra tergeletak di tanah dengan mata membelalak ketakutan. Tubuhnya penuh luka, robek di sana-sini, dan yang paling mengerikan—darah menggenang di sekitar lehernya yang hampir putus.
"Aku sudah bilang, suami Ratih itu bukan manusia biasa!""Benar! Aku juga pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah mereka dulu.""Apa mungkin dia yang membunuh Feri?"Bisikan demi bisikan memenuhi udara malam yang dingin. Warga Desa Karangjati berkumpul di depan pendopo, membicarakan hal yang selama ini tak pernah mereka ungkapkan dengan lantang. Sosok Bagas, yang dulunya hanyalah seorang lelaki pendiam, kini kembali menjadi pusat ketakutan mereka."Genderuwo!" "Wah, itu makhluk terbesar yang pernah aku lihat di ladang Bagas!" Ratih berdiri tak jauh dari kerumunan, tubuhnya lelah dan wajahnya penuh luka cakaran. Darah yang mengering di pipinya terasa perih, namun lebih perih lagi mendengar namanya dan Bagas disebut-sebut sebagai sumber malapetaka."Aku dengar, Bagas dan Ratih dulu sering bertengkar di rumah mereka.""Dia, katanya Ratih ingin pergi, tapi Bagas tak pernah membiarkannya!""Apa jangan-ja
"Astagfirullah, Kiai!"Ratih mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar hebat.Darah.Darah mengalir di lantai kayu, merembes ke sela-sela papan yang mulai lapuk. Tubuh Kiai Ahmad terkulai di atas tikar dengan napas yang tersengal-sengal.Matanya setengah terbuka, tapi pandangannya kosong."Ya Allah, Kiai! Apa yang telah terjadi!" Seluruh tubuhnya dipenuhi luka. Sayatan panjang di dadanya menganga, dan bekas cakaran mencabik kulit di lengannya.Ada sesuatu yang telah menyerangnya.Ratih menutup mulutnya, rasa mual merayap di tenggorokannya.Ini ulah mereka.Jagat dan Kala."Na—Nak Ratih..."Suara Kiai Ahmad bergetar, nyaris tak terdengar.Ratih buru-buru berlutut di sampingnya, berusaha mencari cara untuk menghentikan pendarahan. Namun, darah terus mengalir, membasahi jubah putihnya."Kiai, bertahanlah!" Ratih menahan air matanya. "Saya akan minta bantuan!""A—anak ... anak mu! ha—harus segera—"Dengan tangan gemetar, Ratih berlari ke luar rumah."Tolong! Ada yang bisa membantu?!"Be
"Siapa yang telah terbunuh?"Jantung Ratih berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Tidak... ini tidak mungkin terjadi lagi.Ratih menggigit bibir, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, pikirannya berkecamuk."Mayat siapa itu? Ke—kenapa...?"Tangannya mencengkeram gagang pintu dengan erat. Tubuhnya terasa kaku, namun ketakutan yang mencekam membuatnya tidak bisa berdiam diri.Dia harus melihatnya.Ratih melangkah maju, lalu berhenti. Ragu.Tangannya gemetar saat dia meraih sebilah pisau di atas meja. Genggamannya erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari kengerian di balik pintu.Duka dan ketakutan menyelimuti hatinya.Lalu, dengan gerakan perlahan, dia mendorong pintu kamar itu.Kreek...Suara engsel berderit, membuka pemandangan yang membuat Ratih membeku.Darah.Darah ada di mana
"Ibu... kita di sini!"Suara itu kembali terdengar, menggetarkan udara malam yang dingin. Ratih menoleh ke kanan dan kiri, matanya liar mencari sumber suara. Namun, yang dia temukan hanyalah pepohonan tinggi yang menjulang, menciptakan bayangan gelap yang bergerak seiring tiupan angin."Di sini, Bu... di sini!"Ratih menelan ludah. Suaranya semakin dekat, tapi bayangan kedua anaknya tak juga terlihat.Bagaimana mereka bisa keluar rumah?Jantungnya berdebar kencang. Rasa takut menyusup ke setiap sudut pikirannya."Jagat... Kala!" teriaknya, suaranya bergetar.Namun, hanya sunyi yang menjawabnya.Argh!Sebuah erangan tajam menggema di kegelapan.Ratih terperanjat, tangannya mencengkeram bajunya sendiri. Dia melangkah mundur, matanya liar mencari sumber suara.Tapi tidak ada siapa-siapa.Srek!Sesuatu bergerak di antara dedaunan kering. Ratih menahan napas. Dia tahu dia tidak sendirian di sini."Ibu... kami di sini!"Suara itu kembali terdengar, kali ini dari arah yang berbeda. Ratih mel