Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 110. Berharap Kejujuran

Share

110. Berharap Kejujuran

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2024-12-19 17:45:27

"Aku harus cari tahu sendiri di rumah Mas Bagas!"

Ratih menutup pintu rumah kontrakannya dengan tekad bulat. Malam itu, bulan redup tertutup awan, dan angin kecil menghantam wajahnya saat dia berjalan melewati pohon-pohon yang rimbun di sepanjang jalan menuju rumah suaminya.

"Hmm, aku punya firasat buruk dengan adanya angin ini," gumam Ratih sambil mempercepat langkahnya.

Jalanan gelap itu hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil di beberapa rumah warga. Ratih melintasi beberapa rumah dan ladang milik Bagas.

Semakin dekat dengan rumah suaminya, suasana semakin sunyi. Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul seseorang yang membuatnya terlonjak kaget.

"Eh, maaf, Juragan Ratih! Saya mengagetkan ya!" Pekerja ladang milik Bagas muncul dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Astaga, Pak! Jantung saya mau copot rasanya! Bapak ngapain malam-malam begini di situ?!" tanya Ratih dengan suara tertahan.

"Ini, saya lagi nyari tanaman buat makan, Juragan," ujarnya lesu, sambil menunjukkan beberapa
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   111. Pintu Baru

    Wajah Bagas berubah muram, penuh amarah yang ditahan. "Kyai... Kyai... Itu lagi yang kamu sebutkan! Udah berapa kali aku bilang, jangan bawa-bawa dia dalam urusan ini! Aku bisa menyelesaikan ini sendiri!" "Nggak, Mas! Kamu nggak bisa sendiri! Mana buktinya? Apa perubahannya dari ucapanmu itu? Nggak ada, kan? Kamu masih terus terjebak di sini, di kegelapan itu! Setiap orang yang tersesat dalam dunia gaib harus ada yang membimbing, Mas!" Ratih membalas dengan suara yang meninggi, matanya berkaca-kaca, tapi keberaniannya tidak goyah. Bagas mengepalkan tangan, wajahnya semakin tegang. "Ratih, aku udah bilang, ini bukan urusanmu. Kalau kamu terus seperti ini, kamu hanya akan memperburuk semuanya!" "Tidak, Mas. Aku nggak akan diam! Kalau kamu nggak mau keluar dari ini semua, aku akan minta bantuan sendiri dengan Kyai. Aku nggak peduli kalau kamu marah!" Ratih kini berdiri menantang, air mata mengalir di pipinya, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Bagas menatap Ratih dengan mata penuh kebing

    Last Updated : 2024-12-19
  • Pesugihan Genderuwo   112. Menggali informasi lebih banyak

    Keesokan harinya, Ratih mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang Bagas. Saat sarapan, dia memulai dengan nada santai."Mas, kamu tahu nggak ada pintu terkunci di ruangan kerjamu?" tanya Ratih sambil menyeduhkan tehnya.Bagas menghentikan gerakannya, sendok terhenti di udara."Kenapa kamu ke ruangan kerjaku?" tanyanya dengan nada tinggi.Ratih berpura-pura santai. "Aku cuma iseng lihat-lihat. Pintu itu bikin aku penasaran. Mas tau apa isinya?"Bagas berusaha menenangkan diri. "Itu cuma tempat aku menyimpan barang-barang pribadi. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.""Tapi kenapa harus dikunci rapat?" desak Ratih dengan senyum kecil."Ratih, aku sudah bilang, jangan ganggu urusanku," kata Bagas dengan nada tegas. Dia berdiri dari kursinya, meninggalkan sarapan yang belum selesai.Ratih menatap kepergiannya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, semakin Bagas menghindar, semakin besar kemungkinan bahwa jimat itu memang ada di balik pintu terkunci.'Mas, kamu nggak bisa menyembunyikann

    Last Updated : 2024-12-19
  • Pesugihan Genderuwo   113. Kemarahan Memuncak

    Ketika Bagas pulang malam itu, Ratih sudah menunggunya di ruang tamu dengan jimat di tangannya. Begitu melihat benda itu, wajah Bagas berubah pucat."Ratih, apa yang kamu lakukan?" tanyanya tajam, suaranya bercampur antara marah dan panik.Ratih berdiri tegak, menggenggam jimat erat di tangannya. "Ini yang kamu sembunyikan, kan? Jimat ini sumber semua masalah kita, Mas."Bagas melangkah cepat, mencoba merebut jimat itu, tetapi Ratih menghindar. "Kembalikan itu, Ratih! Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan!"Ratih menatapnya dengan mata yang penuh emosi. "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Benda ini bukan memberikan, Mas. Ini kutukan! Kalau kita nggak menghancurkannya, hidup kita akan terus dihantui!"Bagas menghela napas, wajahnya terlihat putus asa. "Ratih, kalau jimat ini dihancurkan, semua yang kita miliki akan hilang. Rumah ini, usaha kita, semuanya!""Apa gunanya semua itu kalau kita kehilangan harga diri, Mas?" seru Ratih dengan suara bergetar. "Kekayaan nggak ada artiny

    Last Updated : 2024-12-19
  • Pesugihan Genderuwo   114. Mengatur Rencana Kembali

    "Pak Kyai, saya sudah tahu di mana jimat itu disembunyikan," ujar Ratih dengan suara tegas, meskipun kecemasan masih menggelayuti hatinya. "Dimana kamu menemukannya, Nak Ratih?" tanya Kyai, wajahnya penuh perhatian. "Mas Bagas sudah membohongi kita, Kyai! Waktu kita berusaha membantu dan mencari jimat itu—ternyata Mas Bagas sudah menyembunyikannya. Jimat itu ada padanya! Tapi dia malah menggiring kita ke hutan belakang yang jauh dari desa!" jelas Ratih, suaranya dipenuhi kekecewaan. "Astagfirullah, Nak Bagas!" seru Kyai dengan terkejut, sambil memegangi dadanya. "Pantas saja dia kekeh untuk tidak bertemu dengan saya lagi. Perasaan saya selama ini benar." Ratih kemudian menunjukkan sebuah benda yang di duganya juga jimat Bagas. Kyai langsung memegang jimat itu. "Ini jimat yang ketiga! Ada jimat yang utama masih sama dia! Semoga dia belum memakannya!" seru Kyai. Ratih melongok dengan ucapan Kyai yang seperti berbisik itu. Ratih kemudian, mengubah ekspresinya dengan keyakinan. "

    Last Updated : 2024-12-19
  • Pesugihan Genderuwo   115. Persiapan Mental

    "Ketika kamu merasa takut, ingatlah bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa. Jangan biarkan Genderuwo menguasai pikiranmu," pesan Kyai Ahmad sebelum Ratih pulang.Ratih mencoba menenangkan hatinya, meskipun gelombang ketakutan terus datang menghantam. Ini bukan hanya pertarungan melawan makhluk gaib, tetapi juga melawan rasa takut dan keraguan dalam dirinya. Perlawanan kali ini, ia tahu, akan jauh lebih berat dibanding sebelumnya.Setelah berjam-jam berdoa dan mempersiapkan diri, Kyai Ahmad memberikan sebuah botol kecil berisi minyak wangi yang sudah diruqyah."Gunakan ini dengan bijak, Ratih. Dan jangan lupa, setiap langkah yang kamu ambil harus dimulai dengan doa," kata Kyai Ahmad sambil menyerahkan botol itu.Ratih menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak Kyai. Saya akan berusaha sekuat tenaga.”Kyai Ahmad tersenyum lembut, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. "Allah bersamamu, Nak. Jangan lupa, ajak Bagas untuk berjuang bersamamu. Dia juga harus menghadapi i

    Last Updated : 2024-12-20
  • Pesugihan Genderuwo   116. Doa Melawan Setan

    “Ratih, apakah kamu benar-benar yakin ingin melanjutkan ini?” Kyai Ahmad bertanya dengan nada tegas, memecah keheningan. Ratih mengangguk mantap. “Pak Kyai, aku nggak punya pilihan lain. Kehidupanku sudah sangat sengsara dengan makhluk ini. Meski aku tahu ini semua terjadi karena perbuatan suamiku sendiri, aku tetap yakin untuk melanjutkannya!” ucapnya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Mata Kyai Ahmad yang tajam menelusuri wajah Ratih, mencari keraguan, tetapi tidak menemukannya. Gadis itu telah melalui banyak hal, dan sorot matanya menunjukkan keberanian yang lahir dari keputusasaan. Kyai menarik napas panjang, lalu berkata, “Baik. Kalau begitu, kita harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin. Ritual ini tidak mudah dan akan menguras tenaga, baik secara fisik maupun spiritual. Genderuwo akan berusaha mempertahankan ikatan ini dengan segala cara.” Ratih menggenggam kedua tangannya di atas pangkuannya, mencoba menguatkan dirinya. “Apa yang harus aku lakukan,

    Last Updated : 2024-12-20
  • Pesugihan Genderuwo   117. Tanda di Perut

    Dia menghela napas panjang, lalu menenangkan pikirannya. ‘Aku harus memutuskan ini semua. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Mas Bagas boleh aja menyerah, tapi aku nggak!’ pikirnya tegas. Hari itu berlalu dengan penuh aktivitas. Murid-murid Kyai Ahmad membersihkan aula belakang pesantren, mengatur meja, dan menyiapkan segala bahan yang diperlukan untuk ritual. Ruangan itu mulai terasa berbeda, penuh dengan aura ketenangan dan kekhusyukan. Sementara itu, Kyai Ahmad meluangkan waktu untuk membimbing Ratih secara pribadi. Dia mengajari Ratih cara membaca doa pelindung dengan intonasi yang benar dan membantu memperkuat keyakinannya melalui zikir dan shalat. “Nak Ratih, ingatlah bahwa Genderuwo akan semakin marah dan berusaha mengintimidasi kita. Tapi jangan pernah berhenti membaca doa ini, apa pun yang terjadi,” pesan Kyai Ahmad. Ratih mencoba menguatkan dirinya. "Aku tau Kyai. Aku udah siap apapun hasil dan gangguannya!" Malam sebelum ritual, Ratih duduk di depan Kyai

    Last Updated : 2024-12-20
  • Pesugihan Genderuwo   118. Jimat Hitam

    “Nak Ratih, sudah siap?” Kyai Ahmad sambil menatap Ratih dengan serius. Ratih mengangguk, meskipun tangannya gemetar. “Insya Allah, Pak Kyai. Saya sudah membaca doa pelindung sepanjang malam. Saya harus siap.” Kyai Ahmad memberikan senyuman kecil untuk menyemangatinya. “Ingat, fokus pada Allah. Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu.” Murid-murid Kyai Ahmad yang berada di ruangan itu juga menatap Ratih dengan penuh dukungan. Salah satu dari mereka, Feri , berkata, “Kami akan menjaga ruang ini dengan zikir dan doa. Bu Ratih tidak sendiri!" “Terima kasih. Aku nggak bisa membiarkan Genderuwo terus menguasai hidup kami,” jawab Ratih dengan nada tegas. Ruang ritual di belakang aula telah disiapkan dengan hati-hati. Di tengah ruangan, terdapat meja kecil yang dikelilingi lilin-lilin besar. Sebuah mangkuk tembaga berisi air ruqyah ditempatkan di atas meja, sementara di sekitarnya terdapat garam yang telah didoakan, kain putih, dan minya

    Last Updated : 2024-12-20

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   222. Anak Kembar masih terlihat Aneh

    "Kamu itu bukan anakku!" Suara Ratih melengking, dipenuhi amarah dan ketakutan. Napasnya memburu saat menatap kedua anaknya yang berdiri di samping ranjang dengan tatapan kosong. Tubuh mereka kecil, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka—sesuatu yang membuat Ratih semakin muak. Siapa yang ingin memiliki anak dengan wujud seperti setan? Anak-anak yang selama ini menghantui hidupnya? "Kalian lihat apa?! Jangan harap aku akan menyusui kalian lagi!" Ratih meluapkan kekesalannya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kepanikan. Namun, kemarahan itu tak berhenti hanya dengan kata-kata. Ratih mulai kehilangan kendali. Dalam kepanikan yang membutakannya, tangannya terangkat—dan tanpa ragu, dia mencengkram Jagat dan Kala dengan kasar. PLAK! Tangan Ratih menampar tubuh kecil mereka. Jagat dan Kala menangis keras, suara mereka melengking memenuhi kamar. Bagas yang tengah berbaring di ruang tamu sontak terbangun. Jantungnya berdebar ketika mendengar suara tangisan anak-anakn

  • Pesugihan Genderuwo   221. Jagat dan Kala

    "Ngapain kamu ke sini, Mas?"Langkah Bagas terhenti ketika Ratih melihatnya berada di rumah kontrakannya. Tanpa berkata apa pun, Bagas hanya menatap dua anak kembarnya."Apa kamu sudah menemukan nama untuk anak kembar kita?" tanya Bagas.Ratih mengerutkan dahi. "Anak kita? Jelas-jelas mereka bukan seperti manusia, Mas!""Ratih, sudahlah, cukup! Mau ini anakku atau bukan, aku tetap akan menganggap mereka anakku! Karena aku tahu ini adalah kesalahanku!" jawab Bagas dengan tegas.Ratih terdiam. Hatinya belum bisa menerima keberadaan anak kembar mereka, terlebih lagi anak laki-laki itu."Terserah. Mau kasih nama apa, aku nggak peduli!" sahut Ratih sambil mengalihkan pandangannya.Bagas hanya bisa diam. Dia tahu benar perasaan istrinya yang masih belum bisa menerima anak-anak mereka."Jagat Mayar, untuk anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, aku beri nama Kala Sundari," ucap Bagas sambil tersenyum memandang kedua anaknya.Ratih masih memalingkan wajahnya. Namun, dalam hatinya perlahan m

  • Pesugihan Genderuwo   220. Gunjingan hidup

    "Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul

  • Pesugihan Genderuwo   219. Kehidupan baru

    "Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar

  • Pesugihan Genderuwo   218. Kembar

    "Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l

  • Pesugihan Genderuwo   217. Kelahiran Mengerikan

    "Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber

  • Pesugihan Genderuwo   216. Masuk ke tubuh Ratih

    Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang

  • Pesugihan Genderuwo   215. Suara mengerikan

    Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit

  • Pesugihan Genderuwo   214. Kepala Kambing

    "Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status