Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / Bab 91 - Bab 100

Semua Bab Pesugihan Genderuwo: Bab 91 - Bab 100

107 Bab

91. Arwah

"Jasadnya nggak wajar!"Warga berkerumun di depan rumah Kyai Ahmad, menatap ngeri pada jasad keempat petani yang tergeletak kaku."Kyai, apa nggak mendengar sesuatu semalam?" tanya salah satu warga dengan nada cemas."Saya benar-benar nggak tahu apa-apa!" jawab Kyai, wajahnya penuh kebingungan."Tapi lihat jasad mereka, sangat mengerikan!" sahut yang lain, suaranya bergetar.Kyai Ahmad hanya bisa diam. Tidak ada jeritan, tidak ada tanda-tanda aneh semalam—semuanya terasa seperti misteri. Jenazah keempat petani itu telah dikebumikan. Awalnya, suasana desa kembali tenang, hingga malam tahlilan digelar di rumah Kyai Ahmad. Namun, ketenangan itu berubah menjadi kepanikan saat beberapa warga tiba-tiba kerasukan.Tubuh mereka bergetar hebat, suara mereka berubah, menyerupai keempat petani yang telah meninggal. Mereka berbicara dengan nada putus asa, meminta tolong."Kami terjebak di tanah! Tolong keluarkan kami!" teriak salah satu warga yang kerasukan, matanya membelalak ketakutan."Tolon
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-12
Baca selengkapnya

92. Ruang Hampa

"Juragan, tolong aku!" Ruang itu terasa hampa, sepi, dan gelap. Hanya ada satu sosok di tengah kegelapan, meringkuk dan memeluk kakinya. Tubuhnya tampak kurus, namun masih terbilang muda. "Jangan ... ampun, ampuni aku!" Bagas terkejut melihat dirinya sendiri berada di tengah kegelapan itu. Ia menatap tubuhnya yang terbaring lemah, seolah terperangkap dalam ruang yang tak berujung. Tiba-tiba, bisikan itu kembali terdengar. "Bagas, kamu harus mati!" "Juragan, kamu jahat!" "Juragan, ampun!" "Tanggung jawab, Bagas!" Bisikan-bisikan itu semakin banyak dan semakin jelas. Setiap kata seperti jarum yang menusuk telinganya. Bagas berusaha berteriak, namun suara itu tidak keluar. Seperti ada kekuatan yang membuatnya bisu, terjebak dalam ruang hampa itu tanpa bisa mengungkapkan apapun. Tangan Bagas mengepal, mencoba mengeluarkan suara, mencoba berontak dari bisikan yang terus-menerus menghantuinya. Namun, ruang itu terasa semakin sempit, seperti ada sesuatu yang menekan tubuh
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-12
Baca selengkapnya

93. Teror Alam Mimpi

"Haa, dadaku sesak!"Bagas tersengal-sengal, napasnya seperti dapat dihitung dengan jari."Ada apa ini?" tanyanya, semakin panik saat dadanya terasa semakin berat.Ruangan itu semakin mengecil dan terasa sempit. Tubuh Bagas kaku, tak bisa digerakkan. Lalu, suara-suara itu kembali muncul."Bagas, kamu harus bertanggung jawab!""Juragan, kamu harus membayar ini semua!"Bisikan-bisikan itu terdengar semakin jelas. Bagas mulai menyadari, suara-suara tersebut berasal dari mereka yang pernah menjadi korbannya.Namun, dengan keangkuhan dan keras kepala, Bagas malah membalas dengan suara lantang."Aku nggak peduli sama kalian! Yang penting aku kaya!"Ruangan itu semakin mencekik, seolah menuntut keadilan. Udara menjadi dingin, membuat napas Bagas makin berat. Suara-suara itu tak berhenti, kini terdengar lebih nyaring, penuh amarah."Bagas, dosa-dosamu nggak akan hilang begitu aja!""Kami menderita karena kamu!"Bagas mencoba melawan rasa takut yang mulai menyelimuti dirinya. Dia menatap ke ar
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-13
Baca selengkapnya

94. Kepergian Ratih

"Ayo-ayo, kerja yang benar! Mau dapat gaji nggak kalian?!" Bagas berteriak kepada para petani di ladangnya. Mereka semua bergegas melanjutkan pekerjaan mereka. Meskipun begitu, bisikan tentang sikap Bagas masih menjadi buah bibir di antara mereka.Beberapa petani mulai bergosip saat Bagas mulai tak terlihat lagi di ladang."Kalian sadar nggak sih? Beberapa bulan ini Juragan itu selalu pakai jaket, bahkan di cuaca yang panas sekalipun?" salah seorang petani berkata, melirik temannya dengan heran.Mereka semakin seru membicarakan Bagas. Tanpa memandang dan mengetahui Ratih mendengar semua itu."Aku sih lihat, cuma malas mau tahu. Takut!" jawab petani lainnya sambil menggelengkan kepala."Tapi bener juga, sih! Kadang aku lihat di leher Juragan itu kayak ada bulu gitu!" ujar petani yang lain dengan ekspresi bingung."Ah, kamu ini, kalau soal bulu, ya semua orang juga ada bulu!" sahut petani pertama, sedikit tertawa."Bukan, ini bulunya lebih pekat dan hitam. Apa kalian juga nggak merasa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-13
Baca selengkapnya

95. Teror

"Siapa di sana?!" Teriakan Ratih menggema sambil menatap tajam ke arah ujung rumah kontrakannya. Namun, yang dilihatnya hanya jendela yang terbuka, menimbulkan suara berderit pelan."Huff! Mungkin ini cuma perasaan aku aja," gumamnya, mencoba menenangkan diri sambil mengelus dadanya dan mengusap wajah.Meski sudah pindah dari rumah mewahnya dan meninggalkan Bagas, gangguan itu tidak berhenti. Malah semakin parah. Malam-malam Ratih sering diisi dengan mimpi buruk yang terasa begitu nyata. Dalam mimpinya, Genderuwo itu selalu hadir menatap Ratih seperti ingin mencabik-cabik nya.Di satu mimpi, Ratih terjebak di ruangan gelap tanpa pintu. Suara tawa serak memenuhi ruang itu. Genderuwo muncul dari kegelapan, berjalan perlahan, menghentakkan kakinya hingga tanah bergetar. Ratih ingin lari, tapi tubuhnya kaku."Ratih ... kamu tidak bisa lari dariku," suara itu bergema, membuat Ratih menangis dalam mimpi.Dia terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuh penuh keringat dingin. Ratih memel
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-13
Baca selengkapnya

96. Fakta mencengangkan

"Nggak ... Itu nggak mungkin! Jadi selama ini dia menginginkan anak dari aku Kyai?" tanya Ratih agar memperjelas semuanya."Iya, kamu lupa ya! Kalau Bagas pernah berbicara hal itu?" Kyai berusaha membuat Ratih mengingat semuanya."Nggak, Kyai. Aku hanya ingat dia bilang mau memberikan aku sebagai persyaratan—" ucapan itu terpotong ketika Ratih mengingat maksud dari kata persyaratan. "Astaga, Kyai! Aku baru sadar sekarang! Ini ... Ini buat aku mengingat memori ketika—" Ratih tidak melanjutkan ucapannya. Badannya semakin gemetar. Setiap memori itu teringat di kepalanya. Ratih meremas tangannya sendiri, gemetar hebat. Matanya berkaca-kaca, menatap Kyai Ahmad dengan penuh ketakutan. "Jadi... jadi itu sebabnya? Itu sebabnya Genderuwo itu terus datang menghantui aku? Karena... aku bagian dari perjanjiannya?" suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Kyai Ahmad mengangguk pelan, mencoba tetap tenang meskipun hatinya ikut berguncang melihat Ratih yang begitu ketakutan. "Iya, Nak. Ada kemungk
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-13
Baca selengkapnya

97. Damar atau Ki Praja

"Aku nggak akan buat kamu tenang!"Bagas terlihat kesal karena ditinggalkan oleh Ratih. Hidupnya benar-benar hancur berantakan. Salah satu ketakutannya kini mulai terlihat dan terbayar."Argh! Ini seharusnya nggak terjadi!" keluhnya sambil memukul meja dengan keras.Tok! Tok!"Assalamu'alaikum, Juragan!"Terdengar suara seseorang memanggil dari luar rumah. Bagas segera membuka pintu dan melihat seorang petani berdiri di depan rumahnya."Ada apa?" tanya Bagas singkat."Ada yang ingin bertemu, Juragan," jawab petani itu dengan nada sopan."Siapa?!" Bagas menatapnya tajam."Nggak tahu, Juragan," ujar petani itu sambil menunduk sedikit."Di mana?""Ke arah ladang belakang sana, Juragan," jawab petani itu sambil menunjuk dengan sopan.Bagas mengangguk dan menutup kembali pintu rumahnya. Tanpa banyak berpikir, dia segera menuju ke ladang belakang, tempat yang belum ditanami. Ladang itu terkenal gersang bahkan tanahnya tidak bisa ditanami apapun.Saat Bagas tiba di sana, dia melihat seseoran
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-14
Baca selengkapnya

98. Tuntutan

“Bu—bukan aku! Bukan—!”Bagas terbangun. Jeritannya menggema. Tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal.Mimpi buruk itu datang lagi. Wajah-wajah marah menghantuinya. Mata-mata penuh dendam terus menatapnya. Suara-suara mengutuknya tanpa henti.Bagas memegangi kepalanya. Bayangan mimpi itu sulit hilang. Setiap kali ia memejamkan mata, semuanya kembali.Langkahnya gontai menuju ladang. Tangannya gemetar menggenggam cangkul. Pikirannya kacau. Pekerjaan pun berantakan.“Juragan! Minum dulu,” panggil seorang wanita paruh baya, Ibu Petani, yang sudah lama membantu mengurus ladang Bagas.Bagas menoleh dan menerima segelas air dengan tangan yang gemetar. “Terima kasih, ini udah jam berapa?” tanyanya sambil mengelap keringat di dahinya.“Jam 16.00, Juragan,” jawab Ibu Petani sopan.Bagas menghela napas panjang. “Kasih pupuk baru yang ada di gudang,” perintahnya.Ibu Petani mengangguk dan segera menuju gudang kecil di pinggir ladang. Sementara itu, Bagas kembali melanjutkan peker
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-14
Baca selengkapnya

99. Bayangan Mimpi

“Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-14
Baca selengkapnya

100. Bertubi-tubi

"Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-15
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status