Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / Bab 71 - Bab 80

Semua Bab Pesugihan Genderuwo: Bab 71 - Bab 80

107 Bab

71. Malam yang Berbeda

Ratih berdiri di depan Kyai, tubuhnya gemetar hebat, napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat, dan matanya yang merah menandakan kekhawatiran yang mendalam. "Mas Bagas pulang tengah malam, Kyai..." suaranya bergetar, seolah ada sesuatu yang menghalangi napasnya.Dia menghela napas panjang, berusaha mengendalikan diri, tapi kepanikan itu tak bisa dia tahan. "Dia... dia seperti berbeda. Ini bukan hanya kecurigaan kosong!" Ratih mengangkat tangannya, gemetar, mencoba mengontrol diri. Matanya penuh cemas, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.Kyai menatap Ratih dengan penuh perhatian, mendorongnya untuk melanjutkan. "Tenang, Nak," kata Kyai dengan lembut. "Ceritakan semuanya. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"Ratih menatap Kyai dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku pernah mengalami malam-malam aneh sebelumnya, Kyai... dan Kyai tau kan?" katanya, suaranya semakin lirih, penuh kesedihan yang terpendam.Kyai mengangguk perlahan, matanya seakan menembus jauh ke dalam di
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

72. Terik Amarah

"Ratih ... Ratih!" Suara teriakan Bagas memecah kesunyian.Wajahnya yang gelap dipenuhi rasa cemas. Seolah-olah dia sedang mengejar waktu yang terus berjalan. Bagas berlari ke dalam rumah. Dia kembali memanggil istrinya yang belum juga muncul. "Ah, mana sih dia ini!" gumamnya dengan kesal.Bagas merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suasana rumah yang biasanya tenang kini terasa begitu mencekam. Seakan ada ketegangan yang mengendap di udara.Tidak lama setelahnya, terdengar suara hiruk-pikuk dari kejauhan. Suara teriakan penduduk desa yang begitu lantang semakin mendekat dan jelas."Ayo, kita usir aja dia dari sini!" teriak salah seorang warga dengan penuh kebencian. "Iya, benar! Usir ... Usir!" seru yang lain."Kalau perlu kita bakar dia hidup-hidup!" suara yang lebih keras terdengar penuh amarah."Apa-apaan ini?" Bagas terperanjat. Jantung berdegup kencang. Mereka terdengar begitu penuh kebencian dan niat jahat. Seakan-akan mereka sudah menunggu kesempatan sejak lama. Dalam bebera
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

73. Korban Hidup

"Feri ke sini!" teriak salah satu penduduk desa. Mendengar nama itu, Bagas matanya langsung melotot. 'Nggak! Nggak mungkin dia kan? Dia kan udah mati! Nggak mungkin dia bisa bangkit dari kuburkan?!' batin Bagas bertanya-tanya. Feri berjalan perlahan dari kerumunan penduduk desa. Dialah anak Pak Lurah Marwan. “Ratih, aku nggak suka kamu bicara seolah-olah kami ini cuma menuduh tanpa alasan,” kata salah satu penduduk desa. Dia melangkah maju, menunjuk Bagas dengan tongkat kayunya. “Kami semua udah cukup lama tau apa yang dilakukan suamimu!” Ratih terkejut. Dia memandang Feri dengan tatapan bingung, lalu kembali melirik Bagas yang mulai menggertakkan gigi. “Feri ...!" Penduduk desa yang lainnya mengangkat tangannya, memberi isyarat agar seseorang dari kerumunan maju. Seorang petani yang bekerja di ladang Bagas. Wajahnya pucat, ketakutan. “Aku lihat sendiri, Bu Ratih,” ujar petani itu sambil menundukkan kepala. “Juragan membuat Feri ketakutan. Saya juga lihat ada sosok yang se
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

74. Usaha Ki Praja

Di dalam gubuk tua yang penuh bau kemenyan, Ki Praja duduk bersila di depan kendi tanah liat. Matanya yang suram menatap tajam air dalam kendi itu, permukaannya bergelombang meskipun udara di ruangan itu begitu pengap."Argh!" lirihnya sambil menekan dada yang terasa sesak. Rasa sakit ini seperti peringatan bahwa ada yang mengusik keseimbangannya.Ki Praja meraih segenggam bunga tujuh rupa dari sebuah mangkuk tembaga di sampingnya, lalu melemparkannya ke dalam kendi. "Perlihatkan padaku … Apa yang terjadi di sana," gumamnya, mulai merapal mantra dengan nada berat.Asap dupa berputar di udara, membentuk lingkaran-lingkaran tipis yang semakin menebal. Permukaan air kendi perlahan menunjukkan bayangan. Kerumunan penduduk Desa Karang Jati yang berkumpul di depan rumah Bagas. Mata Ki Praja menyipit, mengamati dengan seksama."Dasar dungu! Kalian pikir bisa menyentuh Bagas tanpa mengundang amarahku?" bisiknya dengan suara penuh kebencian.Dalam penglihatannya, penduduk desa tampak melempa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

75. Berbanding Terbalik

"Pembunuh itu ada di antara kita!" Suara lantang seorang pria tua di tengah kerumunan memecah suasana. Penduduk desa yang sejak tadi marah dan berteriak kini semakin mendidih emosinya Semua mata tertuju pada Bagas, yang berdiri diam di tengah lingkaran manusia yang dipenuhi amarah."Kyai, dia nggak perlu ke masjid! Suruh aja dia mengakuinya di sini! Kita sudah siapkan bara api untuk membakarnya!" teriak salah satu penduduk sambil menunjuk Bagas dengan penuh kebencian."Tenang-tenang! Tenang semuanya!" Kyai Ahmad mengangkat tongkat kayunya tinggi-tinggi, mencoba menenangkan massa yang nyaris tak terkendali.Penduduk desa mulai mereda, meski bisikan masih terdengar. Kyai Ahmad berkata tegas, "Jangan main hakim sendiri! Belum ada bukti Bagas bersalah!"Namun, di dalam hatinya, Kyai Ahmad bimbang. Dia ingat jelas malam itu, ketika melihat Bagas berdiri di tengah ladangnya. Di dekatnya, ada mayat dengan tubuh terkoyak, tapi Bagas tampak tenang—terlalu tenang, seolah pemandangan itu adala
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

76. Terbebas

"Kamu selamat, Bagas!"Bagas mendengar suara samar yang mirip dengan Ki Praja. Dia tersenyum puas, seolah sesuatu telah berjalan sesuai rencananya. Tanpa bicara sepatah kata pun, Bagas berbalik dan berjalan perlahan menjauh dari Ratih dan Kyai Ahmad."Mas Bagas!" panggil Ratih dengan suara nyaring.Namun, Bagas tak menoleh sedikit pun. Bahkan ucapan terima kasih kepada Kyai Ahmad yang sudah melerai kerumunan pun tak keluar dari mulutnya. Langkahnya mantap, meninggalkan kegelisahan di belakang.Ratih bergerak ingin mengejar suaminya, tapi tangannya dicegah oleh Kyai Ahmad. "Jangan, Nak Ratih," ucap Kyai Ahmad sambil menatap tajam ke arah Bagas yang semakin jauh.Ratih berbalik, bingung. "Kenapa, Kyai?" tanyanya, suaranya bergetar antara marah dan cemas.Kyai Ahmad menatapnya dengan serius. "Kejadian hari ini... seperti ada campur tangan ilmu hitam," katanya perlahan, seolah menimbang kata demi kata.Ratih terkejut. Matanya melebar, tapi tatapannya masih terpaku pada punggung suaminya y
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

77. Mimpi di Dalam Mimpi

"Jangan sentuh aku!"Ratih terbangun dari mimpi buruknya. Keringat mengucur deras dari kening. Napasnya tersengal sesak seperti orang yang sedang di buru sesuatu. "Nggak ... Nggak ... Jangan mimpi ini lagi!" Ratih semakin ketakutan. Tiba-tiba di hadapannya, terlihat samar sosok yang sering mengganggunya. Sosok itu perlahan Semakin mendekat. Lalu, tanpa di sangka sosok itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Ratih teriak histeris. Badannya kaku, mulutnya tidak bisa berkata. Hanya teriakkan itu yang mengisi kamarnya. Tiba-tiba dia terbangun kembali dari mimpi buruknya."Ah, cuma mimpi!" ujarnya. Sambil membasuh keringat itu.Ratih kembali melihat sosok tersebut. Kini, sosok itu muncul di perutnya. Ratih gemetar, suaranya terdengar gagap. "Gen—Gen ... Genderowo!"Dadanya terasa sesak. Dia seakan tidak bisa lari dari hal tersebut. Tubuhnya benar-benar kaku. Matanya bertatapan dengan mata Genderuwo itu. "Aaaaa ...!" Ratih teriak sekencang-kencangnya."Ratih ... Ratih, bangun! Hei, b
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

78. Bukan Dejavu

Prank!Bagas membanting piring. Dia mengamuk begitu hebat."Kamu udah aku kasih taukan? Aku itu makan daging, bukan makan ini!" Dia melemparkan semua makanan yang ada di meja kelantai. Ratih hanya mengerutkan tubuhnya karena takut. "Kamu itu bisa di kasih tau nggak sih! Aku ini malas debat karena makan, Tih! Aku bilang daging mentah ya daging, nggak usah pakai makanan yang lain!" ujar Bagas begitu emosional.Ratih hanya bisa mengangguk sambil menahan tangis. Tubuhnya gemetar, tetapi dia tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Amukan Bagas semakin menjadi-jadi. Tatapannya liat seperti binatang buas.Ratih berusaha membereskan pecahan piring di lantai. Namun, gerakan lambatnya justru membuat Bagas semakin marah."Berhenti berlagak lamban, Ratih! Cepat bersihkan itu senl aku benar-benar hilang kesabaran!" Bagas menggeram.Serpihan pecahan itu melukai jari Ratih. Darah menetes ke lantai. Tetapi, dia tidak mengeluh kesakitan.Bagas menatap darah di tangan Ratih dengan pandangan berbeda
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

79. Ikatan Semakin Erat

"Aku minta kamu jangan dekat-dekat lagi sama Pak tua itu lagi. Ngerti?" suara Bagas tegas, tak meninggalkan ruang untuk perlawanan."Tapi Mas! Kyai orang baik, dia akan menolong kita dari perjanjianmu itu kan?" jawab Ratih sambil kembali ke dapur untuk membereskan meja makan.Namun, di dalam benaknya, kata-kata Kyai Ahmad terus terngiang. Panggilan itu terasa seperti peringatan, tetapi Ratih tidak berani membicarakannya dengan Bagas.Dia tahu bagaimana reaksi suaminya jika mendengar sesuatu yang dianggap mengganggu rutinitas mereka.Saat Ratih mencuci piring, pikirannya melayang ke mimpi buruk yang dialaminya tadi malam. Apa benar semuanya hanya mimpi? Bagas memang sering marah, tapi mimpi itu terasa terlalu nyata.Langkah kaki berat Bagas kembali terdengar mendekatinya. Ratih mencoba mengatur napasnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakannya."Tih," suara Bagas datar, tapi ada nada aneh di dalamnya.Ratih berbalik, mendapati suaminya berdiri di ambang pintu dapur dengan eks
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

80. Penyakit tidak Wajar

"Mas Bagas! Kamu kenapa?" Ratih mengguncang pelan tubuh Bagas yang tertidur di atas meja makan. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Mas, kamu lagi sakit?" tanyanya cemas. Bagas membuka matanya perlahan, terlihat bingung. "Aku tadi... tertidur?" "Iya, Mas! Tiba-tiba aja kamu ketiduran," jawab Ratih dengan nada lembut. Bagas mengerutkan kening, seolah berusaha mengingat sesuatu. "Kyai Ahmad tadi ke sini?" tanyanya tiba-tiba, membuat Ratih terkejut. "Nggak, Mas. Kyai nggak pernah ke sini," jawab Ratih sambil mengerutkan alis, bingung dengan pertanyaan suaminya. Bagas memandangi meja di depannya, lalu bergumam pelan, nyaris tak terdengar. "Jadi... aku cuma mimpi? Tapi kenapa mimpinya begitu aneh?" Ratih menatapnya dengan sorot mata penuh tanya. "Mimpi apa, Mas?" Namun, Bagas tidak menjawab. Hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kemudian, Bagas berdiri. Dia berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke ladang. Langkahnya dan pikirannya masih bertolak belakang. Mimpi itu tampak ny
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status