Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / Bab 61 - Bab 70

Semua Bab Pesugihan Genderuwo: Bab 61 - Bab 70

107 Bab

61. Keresahan Bagas

Bagas melangkah dengan penuh amarah, meninggalkan Ratih dan Kyai Ahmad tanpa memedulikan panggilan mereka. Langkah-langkahnya membawanya ke arah hutan yang gelap, jauh dari desa. Hari semakin gelap, dan suara-suara hutan mulai terdengar—gemerisik daun, lolongan aneh dari kejauhan, dan sesekali bunyi ranting yang patah di bawah kakinya. “Kenapa jalannya jadi sejauh ini? Rumah Ki Praja nggak biasanya sejauh ini dari desa,” pikir Bagas sambil terus berjalan. Peluh membasahi dahinya, sementara dadanya mulai terasa sesak karena kelelahan. Hutan itu terasa aneh. Pohon-pohon besar tampak lebih menyeramkan dari biasanya, dengan cabang-cabang yang menjulur seperti tangan kurus yang ingin menangkapnya. Sesekali Bagas berhenti untuk melihat sekeliling, mencoba mencari jalan yang benar. Tapi anehnya, setiap kali dia melangkah maju, dia merasa seperti kembali ke tempat yang sama. "Hah! Capek! Kenapa sih kok belum kelihatan juga rumah Ki Praja? Heran?!" keluhnya dengan napas tersengal-sengal
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-04
Baca selengkapnya

62. Kemarahan Ki Raden Praja

"Ya, itu risiko mu!" suara Ki Praja menggema, penuh amarah. "Aku tahu apa yang sudah kamu lakukan, Bagas!"Bagas langsung menunduk, tubuhnya gemetar. "Maafkan saya, Ki! Saya ... saya nggak punya pilihan lain!" suaranya hampir berbisik, penuh penyesalan.Ki Praja melangkah mendekat, tatapannya seperti bara api yang siap membakar. "Kamu telah mengkhianati perjanjian ini, Bagas! Kamu melupakan tugasmu, bahkan berani menentang keinginan Genderuwo! Apa kamu pikir, setelah semua ini, aku akan membiarkanmu pergi begitu aja?"Bagas berlutut, tangannya gemetar memohon ampun. "Saya nggak berniat mengkhianati, Ki. Saya hanya takut. Kyai Ahmad datang, dia memaksa saya untuk menghentikan semua ini. Saya nggak tau harus bagaimana lagi!"Ki Praja mendengus, suaranya seperti guntur yang bergemuruh. "Alasan! Kamu tau apa yang kamu tanda tangani ketika kita membuat perjanjian ini. Harta yang kamu dapatkan itu bukan cuma dari keringatmu sendiri, tapi dari kekuatan yang lebih besar! Dan sekarang, kamu ma
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-05
Baca selengkapnya

63. Senyum Sinis

Bagas tertegun, napasnya tersengal di bawah tatapan tajam Ki Praja. Sosok tua itu berdiri diam di hadapannya, dengan sorot mata penuh kemenangan yang membuat udara terasa semakin berat. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi senyum tipis di bibirnya sudah cukup untuk membuat Bagas merasakan sesuatu yang tidak beres."Aku nggak mungkin melawan ini semua," pikir Bagas. Namun, tatapannya masih terpaku pada Ki Praja, mencoba mencari petunjuk apa yang akan dilakukan lelaki itu.Di sisi lain, Ki Praja hanya berdiri, memandang Bagas seperti seorang pemilik yang mengamati hewan peliharaannya. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi di dalam hatinya Dia membatin, 'Bagas… kamu sudah kembali padaku. Kamu pikir bisa melarikan diri? Tidak ada yang bisa keluar dari jeratku begitu saja. Sekali terjebak, selamanya kamu milikku.'Ki Praja memalingkan wajahnya, menatap pohon besar yang menjadi saksi perjanjian mereka. Dia berjalan pelan ke arahnya, tangannya yang kurus dan penuh urat meny
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-05
Baca selengkapnya

64. Hilang Tiga Hari

Tok! Tok!Ketukan keras membangunkan Ratih dari lelapnya. Dia bergegas ke arah pintu dengan jantung yang berdebar."Iya... sebentar!" teriaknya sambil mengencangkan kain yang melilit tubuhnya.Clik!Gagang pintu berderit, membuka lebar ke arah malam yang dingin. Sesosok tubuh berdiri di hadapannya, membuatnya terperanjat."Mas Bagas?!"Sosok suaminya, yang hilang selama tiga hari, kini berdiri di sana dengan wajah lelah namun tetap karismatik."Kamu kenapa? Kayak lihat setan!" Bagas menjawab dengan nada datar, sedikit risih dengan tatapan penuh kebingungan dari Ratih."Engg—nggak, Mas!" jawab Ratih terbata. Meski mulutnya berkata begitu, pikirannya penuh tanda tanya. "Ma—mas, kamu nggak apa-apa, kan?"Bagas mengerutkan kening. "Apaan, sih? Aku nggak apa-apa! Kamu ini kayak orang gila aja!" balasnya ketus. Dia melangkah masuk, berniat menuju kamar untuk istirahat.Namun, langkah itu terhenti ketika Ratih melontarkan kalimat yang membuatnya terpaku."Mas, Bagas udah tiga hari hilang! Ap
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-05
Baca selengkapnya

65. Bagas Berkuasa

"Juragan! Saya mohon, kasih saya waktu untuk membayar semuanya! Jangan potong gaji saya, Juragan!" Suara Agung penuh kepasrahan.Bagas berdiri dengan tangan di pinggang, menatap pria itu dari atas, seperti seorang raja yang tengah memutuskan nasib rakyat jelatanya. Senyum dingin terlukis di wajahnya, penuh ejekan."Gung... Agung," ucap Bagas, suaranya rendah namun menusuk. "Kamu tahu nggak? Lihat dirimu sekarang. Berlutut, memohon-mohon. Kaya anjing kelaparan."Agung menunduk, tidak mampu menatap mata Bagas. Ia tahu kata-kata itu benar, tetapi tetap sakit mendengarnya.Bagas melangkah mendekat, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan tatapan penuh kebencian, dia melanjutkan, "Dulu, waktu aku yang di posisi itu, apa yang kamu lakukan, hah?!"Agung mencoba membuka mulut, tetapi Bagas menyela dengan suara keras."Kamu tertawa! Kamu hina aku di depan semua orang desa. Kamu bilang aku dan Ratih itu manusia tak berguna, sampah yang nggak pantas tinggal di sini!"Bagas me
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-05
Baca selengkapnya

66. Harga Diri

Langit semakin gelap, senja cepat berganti malam. Suasana ladang sunyi, hanya desiran angin yang terdengar. Petani-petani pulang, kecuali satu wajah yang tertinggal—Agung.Agung berjalan perlahan, matanya penuh kebencian. Setiap langkahnya di tanah kering terdengar seperti ancaman bagi Bagas.Tatapan Agung penuh rencana, ingin membalas penghinaan Bagas. Setiap langkahnya membuat Bagas merasa ada yang aneh.Bagas menggeleng. Pikiran tentang tatapan Agung ia abaikan. Masalah lain lebih besar memenuhi kepalanya.Dia mengingat lagi ucapan Ratih tentang tiga hari yang hilang. Sesuatu terasa janggal."Ratih pasti salah," gumamnya, mencoba menenangkan diri. "Dia memang sering berlebihan."Bagas menepuk dahinya, berusaha melupakan semuanya.Ladang itu gelap, hanya bayang-bayang samar yang terlihat. Bagas duduk di kursi kayu, diam. Udara dingin menusuk tubuhnya.Pikirannya kacau. Wajah Agung terus terbayang. Kecurigaan mulai mengusik hatinya.Tiba-tiba, terdengar suara aneh.Srek! Srek!Bagas
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

67. Pengambilan Nyawa Kembali

Agung mundur selangkah. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. "Ka—kamu kenapa , Bagas?" Bagas bangkit perlahan. Tatapannya dingin, menushm seperti belati. "Aku baik-baik aja, Gung. Hanya sedikit tersadar ... Bahwa aku terlalu baik sama kamu!" Pisau itu kini mengarah ke Agung. Bagas memutar-mutar gagangnya dengan santai, tapi sorott mata penuh ancaman, seolah siap mengoyak lawannya kapan saja."Kamu berhasil buat aku berdarah," ucapnya, senyum menyeringai lebar. "Sekarang, giliran kamu."Agung semakin gemetar. Keringat dingin membasahi wajahnya. Dia mencoba mundur lagi, tapi kakinya tersandung akar pohon, membuat tubuhnya tersungkur. "Bagas, tunggu! Jangan!" Agung berusaha menghentikan langkah Bagas yang kini semakin liar. Namun Bagas tidak peduli. Pisau itu tetap berada di tangannya, mengarah langsung ke Agung. Tapi langkah tiba-tiba terhenti. Bagas mendongak, mantap ke langit gelap. Bibirnya bergerakpelan, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak dimengerti oleh Agung.Agung memici
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

68. Malam yang Sama

Ratih tersenyum kecil, lalu kembali memejamkan mata. "Kamu kenapa malam banget pulangnya, Mas?" gumamnya pelan, seolah tidak sadar ada sesuatu yang salah.Bagas berdiri di pintu kamar, memandangi adegan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tidak bisa—atau tidak mau—menghentikannya. Dengan tangan gemetar, dia menutup pintu perlahan.Dari balik pintu, terdengar suara napas berat yang berubah menjadi gemuruh rendah. Bagas tahu suara itu, tapi dia tidak ingin memikirkannya. Langkah kakinya perlahan menjauh dari pintu, keluar rumah.Udara malam menusuk kulitnya. Tapi yang paling menghantuinya adalah suara tawa samar dari dalam kamar.Dia berdiri di bawah pohon tua di dekat rumah, memandang ke langit yang gelap. "Ini terakhir kali," gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hati, dia tahu itu kebohongan.Harga ini sudah terlalu sering dia bayar. Dan dia tahu, semakin lama, harga itu akan semakin mahal.Ratih kembali memej
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

69. Jawaban Kosong

Ratih mengguncang tubuh Bagas dengan panik. “Mas Bagas, bangun!” ujarnya, suaranya penuh ketegangan.Bagas terbangun dengan terkejut, matanya masih setengah terpejam. “Argh! Apa sih?!” Dia menghempaskan tangan Ratih yang menggoyangnya.Ratih mundur sejenak, napasnya terengah-engah. Matanya berkaca-kaca, namun ada rasa ragu yang mendalam. Dia menatap Bagas, matanya mencoba mencari jawaban yang dia tak tahu harus dicari di mana. Namun, mulutnya tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnya. Bahkan, hati kecilnya menolak percaya bahwa semalam bukan Bagas yang bersamanya.“Ma—mas!” suara Ratih terdengar gemetar, namun dia masih ragu mengucapkan kata itu. Rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu.Bagas memandangnya dengan tatapan tajam. "Apa lagi sih, Tih?!" Suaranya terdengar kasar, seperti menahan amarah. Dia langsung duduk bersandar di tempat tidurnya, mengusap wajahnya dengan kasar.Ratih diam sejenak, kemudian perlahan memegang lengan suaminya, mengarahkan matanya pada tubuhnya y
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

70. Penyelidikan

"Nak Bagas!" Kyai Ahmad menyapa dengan suara lembut.Namun, Bagas hanya terus memeriksa hasil panennya. Kyai Ahmad berdiri beberapa langkah dari Bagas, melihatnya dengan penuh pertanyaan."Ah, lagi sibuk, ya? Ya, udah kalau begitu," katanya sambil menghela napas.Saat mau pergi, langkahnya terhenti sejenak. Kyai tahu ada sesuatu yang berbeda lagi dari diri Bagas.Kecurigaan Kyai mulai muncul. Aura gelap yang mengelilingi Bagas semakin terasa kuat. "Seperti ada yang nggak beres," gumam kyai Ahmad, hampir tidak terdengar.Dia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Namun, mata itu tetap tertuju pada Bagas. Tiba-tiba, seorang petani datang mendekat dan berbicara dengan cepat pada Bagas. Kyai mengamati dari kejauhan."Apa yang sedang mereka bicarakan?" Petani itu tampak tergesa-gesa, berbicara dalam bisikan. Setelah beberapa saat, Bagas mengangguk. Tanpa berkata banyak, Bagas berdiri dan mengikuti petani itu.Insting kyai yang tajam segera mengikuti mereka. "Ada yang nggak beres," pikirn
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status