Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 64. Hilang Tiga Hari

Share

64. Hilang Tiga Hari

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-05 15:44:13

Tok! Tok!

Ketukan keras membangunkan Ratih dari lelapnya. Dia bergegas ke arah pintu dengan jantung yang berdebar.

"Iya... sebentar!" teriaknya sambil mengencangkan kain yang melilit tubuhnya.

Clik!

Gagang pintu berderit, membuka lebar ke arah malam yang dingin. Sesosok tubuh berdiri di hadapannya, membuatnya terperanjat.

"Mas Bagas?!"

Sosok suaminya, yang hilang selama tiga hari, kini berdiri di sana dengan wajah lelah namun tetap karismatik.

"Kamu kenapa? Kayak lihat setan!" Bagas menjawab dengan nada datar, sedikit risih dengan tatapan penuh kebingungan dari Ratih.

"Engg—nggak, Mas!" jawab Ratih terbata. Meski mulutnya berkata begitu, pikirannya penuh tanda tanya. "Ma—mas, kamu nggak apa-apa, kan?"

Bagas mengerutkan kening. "Apaan, sih? Aku nggak apa-apa! Kamu ini kayak orang gila aja!" balasnya ketus. Dia melangkah masuk, berniat menuju kamar untuk istirahat.

Namun, langkah itu terhenti ketika Ratih melontarkan kalimat yang membuatnya terpaku.

"Mas, Bagas udah tiga hari hilang! Ap
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   65. Bagas Berkuasa

    "Juragan! Saya mohon, kasih saya waktu untuk membayar semuanya! Jangan potong gaji saya, Juragan!" Suara Agung penuh kepasrahan.Bagas berdiri dengan tangan di pinggang, menatap pria itu dari atas, seperti seorang raja yang tengah memutuskan nasib rakyat jelatanya. Senyum dingin terlukis di wajahnya, penuh ejekan."Gung... Agung," ucap Bagas, suaranya rendah namun menusuk. "Kamu tahu nggak? Lihat dirimu sekarang. Berlutut, memohon-mohon. Kaya anjing kelaparan."Agung menunduk, tidak mampu menatap mata Bagas. Ia tahu kata-kata itu benar, tetapi tetap sakit mendengarnya.Bagas melangkah mendekat, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan tatapan penuh kebencian, dia melanjutkan, "Dulu, waktu aku yang di posisi itu, apa yang kamu lakukan, hah?!"Agung mencoba membuka mulut, tetapi Bagas menyela dengan suara keras."Kamu tertawa! Kamu hina aku di depan semua orang desa. Kamu bilang aku dan Ratih itu manusia tak berguna, sampah yang nggak pantas tinggal di sini!"Bagas me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Pesugihan Genderuwo   66. Harga Diri

    Langit semakin gelap, senja cepat berganti malam. Suasana ladang sunyi, hanya desiran angin yang terdengar. Petani-petani pulang, kecuali satu wajah yang tertinggal—Agung.Agung berjalan perlahan, matanya penuh kebencian. Setiap langkahnya di tanah kering terdengar seperti ancaman bagi Bagas.Tatapan Agung penuh rencana, ingin membalas penghinaan Bagas. Setiap langkahnya membuat Bagas merasa ada yang aneh.Bagas menggeleng. Pikiran tentang tatapan Agung ia abaikan. Masalah lain lebih besar memenuhi kepalanya.Dia mengingat lagi ucapan Ratih tentang tiga hari yang hilang. Sesuatu terasa janggal."Ratih pasti salah," gumamnya, mencoba menenangkan diri. "Dia memang sering berlebihan."Bagas menepuk dahinya, berusaha melupakan semuanya.Ladang itu gelap, hanya bayang-bayang samar yang terlihat. Bagas duduk di kursi kayu, diam. Udara dingin menusuk tubuhnya.Pikirannya kacau. Wajah Agung terus terbayang. Kecurigaan mulai mengusik hatinya.Tiba-tiba, terdengar suara aneh.Srek! Srek!Bagas

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   67. Pengambilan Nyawa Kembali

    Agung mundur selangkah. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. "Ka—kamu kenapa , Bagas?" Bagas bangkit perlahan. Tatapannya dingin, menushm seperti belati. "Aku baik-baik aja, Gung. Hanya sedikit tersadar ... Bahwa aku terlalu baik sama kamu!" Pisau itu kini mengarah ke Agung. Bagas memutar-mutar gagangnya dengan santai, tapi sorott mata penuh ancaman, seolah siap mengoyak lawannya kapan saja."Kamu berhasil buat aku berdarah," ucapnya, senyum menyeringai lebar. "Sekarang, giliran kamu."Agung semakin gemetar. Keringat dingin membasahi wajahnya. Dia mencoba mundur lagi, tapi kakinya tersandung akar pohon, membuat tubuhnya tersungkur. "Bagas, tunggu! Jangan!" Agung berusaha menghentikan langkah Bagas yang kini semakin liar. Namun Bagas tidak peduli. Pisau itu tetap berada di tangannya, mengarah langsung ke Agung. Tapi langkah tiba-tiba terhenti. Bagas mendongak, mantap ke langit gelap. Bibirnya bergerakpelan, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak dimengerti oleh Agung.Agung memici

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   68. Malam yang Sama

    Ratih tersenyum kecil, lalu kembali memejamkan mata. "Kamu kenapa malam banget pulangnya, Mas?" gumamnya pelan, seolah tidak sadar ada sesuatu yang salah.Bagas berdiri di pintu kamar, memandangi adegan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tidak bisa—atau tidak mau—menghentikannya. Dengan tangan gemetar, dia menutup pintu perlahan.Dari balik pintu, terdengar suara napas berat yang berubah menjadi gemuruh rendah. Bagas tahu suara itu, tapi dia tidak ingin memikirkannya. Langkah kakinya perlahan menjauh dari pintu, keluar rumah.Udara malam menusuk kulitnya. Tapi yang paling menghantuinya adalah suara tawa samar dari dalam kamar.Dia berdiri di bawah pohon tua di dekat rumah, memandang ke langit yang gelap. "Ini terakhir kali," gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hati, dia tahu itu kebohongan.Harga ini sudah terlalu sering dia bayar. Dan dia tahu, semakin lama, harga itu akan semakin mahal.Ratih kembali memej

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   69. Jawaban Kosong

    Ratih mengguncang tubuh Bagas dengan panik. “Mas Bagas, bangun!” ujarnya, suaranya penuh ketegangan.Bagas terbangun dengan terkejut, matanya masih setengah terpejam. “Argh! Apa sih?!” Dia menghempaskan tangan Ratih yang menggoyangnya.Ratih mundur sejenak, napasnya terengah-engah. Matanya berkaca-kaca, namun ada rasa ragu yang mendalam. Dia menatap Bagas, matanya mencoba mencari jawaban yang dia tak tahu harus dicari di mana. Namun, mulutnya tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnya. Bahkan, hati kecilnya menolak percaya bahwa semalam bukan Bagas yang bersamanya.“Ma—mas!” suara Ratih terdengar gemetar, namun dia masih ragu mengucapkan kata itu. Rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu.Bagas memandangnya dengan tatapan tajam. "Apa lagi sih, Tih?!" Suaranya terdengar kasar, seperti menahan amarah. Dia langsung duduk bersandar di tempat tidurnya, mengusap wajahnya dengan kasar.Ratih diam sejenak, kemudian perlahan memegang lengan suaminya, mengarahkan matanya pada tubuhnya y

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   70. Penyelidikan

    "Nak Bagas!" Kyai Ahmad menyapa dengan suara lembut.Namun, Bagas hanya terus memeriksa hasil panennya. Kyai Ahmad berdiri beberapa langkah dari Bagas, melihatnya dengan penuh pertanyaan."Ah, lagi sibuk, ya? Ya, udah kalau begitu," katanya sambil menghela napas.Saat mau pergi, langkahnya terhenti sejenak. Kyai tahu ada sesuatu yang berbeda lagi dari diri Bagas.Kecurigaan Kyai mulai muncul. Aura gelap yang mengelilingi Bagas semakin terasa kuat. "Seperti ada yang nggak beres," gumam kyai Ahmad, hampir tidak terdengar.Dia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Namun, mata itu tetap tertuju pada Bagas. Tiba-tiba, seorang petani datang mendekat dan berbicara dengan cepat pada Bagas. Kyai mengamati dari kejauhan."Apa yang sedang mereka bicarakan?" Petani itu tampak tergesa-gesa, berbicara dalam bisikan. Setelah beberapa saat, Bagas mengangguk. Tanpa berkata banyak, Bagas berdiri dan mengikuti petani itu.Insting kyai yang tajam segera mengikuti mereka. "Ada yang nggak beres," pikirn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   71. Malam yang Berbeda

    Ratih berdiri di depan Kyai, tubuhnya gemetar hebat, napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat, dan matanya yang merah menandakan kekhawatiran yang mendalam. "Mas Bagas pulang tengah malam, Kyai..." suaranya bergetar, seolah ada sesuatu yang menghalangi napasnya.Dia menghela napas panjang, berusaha mengendalikan diri, tapi kepanikan itu tak bisa dia tahan. "Dia... dia seperti berbeda. Ini bukan hanya kecurigaan kosong!" Ratih mengangkat tangannya, gemetar, mencoba mengontrol diri. Matanya penuh cemas, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.Kyai menatap Ratih dengan penuh perhatian, mendorongnya untuk melanjutkan. "Tenang, Nak," kata Kyai dengan lembut. "Ceritakan semuanya. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"Ratih menatap Kyai dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku pernah mengalami malam-malam aneh sebelumnya, Kyai... dan Kyai tau kan?" katanya, suaranya semakin lirih, penuh kesedihan yang terpendam.Kyai mengangguk perlahan, matanya seakan menembus jauh ke dalam di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   72. Terik Amarah

    "Ratih ... Ratih!" Suara teriakan Bagas memecah kesunyian.Wajahnya yang gelap dipenuhi rasa cemas. Seolah-olah dia sedang mengejar waktu yang terus berjalan. Bagas berlari ke dalam rumah. Dia kembali memanggil istrinya yang belum juga muncul. "Ah, mana sih dia ini!" gumamnya dengan kesal.Bagas merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suasana rumah yang biasanya tenang kini terasa begitu mencekam. Seakan ada ketegangan yang mengendap di udara.Tidak lama setelahnya, terdengar suara hiruk-pikuk dari kejauhan. Suara teriakan penduduk desa yang begitu lantang semakin mendekat dan jelas."Ayo, kita usir aja dia dari sini!" teriak salah seorang warga dengan penuh kebencian. "Iya, benar! Usir ... Usir!" seru yang lain."Kalau perlu kita bakar dia hidup-hidup!" suara yang lebih keras terdengar penuh amarah."Apa-apaan ini?" Bagas terperanjat. Jantung berdegup kencang. Mereka terdengar begitu penuh kebencian dan niat jahat. Seakan-akan mereka sudah menunggu kesempatan sejak lama. Dalam bebera

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

  • Pesugihan Genderuwo   260. Kebenaran Terkubur

    "“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik

  • Pesugihan Genderuwo   259. Amarah

    Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku

  • Pesugihan Genderuwo   258. Pembalasan

    “Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status