"Juragan! Saya mohon, kasih saya waktu untuk membayar semuanya! Jangan potong gaji saya, Juragan!" Suara Agung penuh kepasrahan.Bagas berdiri dengan tangan di pinggang, menatap pria itu dari atas, seperti seorang raja yang tengah memutuskan nasib rakyat jelatanya. Senyum dingin terlukis di wajahnya, penuh ejekan."Gung... Agung," ucap Bagas, suaranya rendah namun menusuk. "Kamu tahu nggak? Lihat dirimu sekarang. Berlutut, memohon-mohon. Kaya anjing kelaparan."Agung menunduk, tidak mampu menatap mata Bagas. Ia tahu kata-kata itu benar, tetapi tetap sakit mendengarnya.Bagas melangkah mendekat, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan tatapan penuh kebencian, dia melanjutkan, "Dulu, waktu aku yang di posisi itu, apa yang kamu lakukan, hah?!"Agung mencoba membuka mulut, tetapi Bagas menyela dengan suara keras."Kamu tertawa! Kamu hina aku di depan semua orang desa. Kamu bilang aku dan Ratih itu manusia tak berguna, sampah yang nggak pantas tinggal di sini!"Bagas me
Langit semakin gelap, senja cepat berganti malam. Suasana ladang sunyi, hanya desiran angin yang terdengar. Petani-petani pulang, kecuali satu wajah yang tertinggal—Agung.Agung berjalan perlahan, matanya penuh kebencian. Setiap langkahnya di tanah kering terdengar seperti ancaman bagi Bagas.Tatapan Agung penuh rencana, ingin membalas penghinaan Bagas. Setiap langkahnya membuat Bagas merasa ada yang aneh.Bagas menggeleng. Pikiran tentang tatapan Agung ia abaikan. Masalah lain lebih besar memenuhi kepalanya.Dia mengingat lagi ucapan Ratih tentang tiga hari yang hilang. Sesuatu terasa janggal."Ratih pasti salah," gumamnya, mencoba menenangkan diri. "Dia memang sering berlebihan."Bagas menepuk dahinya, berusaha melupakan semuanya.Ladang itu gelap, hanya bayang-bayang samar yang terlihat. Bagas duduk di kursi kayu, diam. Udara dingin menusuk tubuhnya.Pikirannya kacau. Wajah Agung terus terbayang. Kecurigaan mulai mengusik hatinya.Tiba-tiba, terdengar suara aneh.Srek! Srek!Bagas
Agung mundur selangkah. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. "Ka—kamu kenapa , Bagas?" Bagas bangkit perlahan. Tatapannya dingin, menushm seperti belati. "Aku baik-baik aja, Gung. Hanya sedikit tersadar ... Bahwa aku terlalu baik sama kamu!" Pisau itu kini mengarah ke Agung. Bagas memutar-mutar gagangnya dengan santai, tapi sorott mata penuh ancaman, seolah siap mengoyak lawannya kapan saja."Kamu berhasil buat aku berdarah," ucapnya, senyum menyeringai lebar. "Sekarang, giliran kamu."Agung semakin gemetar. Keringat dingin membasahi wajahnya. Dia mencoba mundur lagi, tapi kakinya tersandung akar pohon, membuat tubuhnya tersungkur. "Bagas, tunggu! Jangan!" Agung berusaha menghentikan langkah Bagas yang kini semakin liar. Namun Bagas tidak peduli. Pisau itu tetap berada di tangannya, mengarah langsung ke Agung. Tapi langkah tiba-tiba terhenti. Bagas mendongak, mantap ke langit gelap. Bibirnya bergerakpelan, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak dimengerti oleh Agung.Agung memici
Ratih tersenyum kecil, lalu kembali memejamkan mata. "Kamu kenapa malam banget pulangnya, Mas?" gumamnya pelan, seolah tidak sadar ada sesuatu yang salah.Bagas berdiri di pintu kamar, memandangi adegan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tidak bisa—atau tidak mau—menghentikannya. Dengan tangan gemetar, dia menutup pintu perlahan.Dari balik pintu, terdengar suara napas berat yang berubah menjadi gemuruh rendah. Bagas tahu suara itu, tapi dia tidak ingin memikirkannya. Langkah kakinya perlahan menjauh dari pintu, keluar rumah.Udara malam menusuk kulitnya. Tapi yang paling menghantuinya adalah suara tawa samar dari dalam kamar.Dia berdiri di bawah pohon tua di dekat rumah, memandang ke langit yang gelap. "Ini terakhir kali," gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hati, dia tahu itu kebohongan.Harga ini sudah terlalu sering dia bayar. Dan dia tahu, semakin lama, harga itu akan semakin mahal.Ratih kembali memej
Ratih mengguncang tubuh Bagas dengan panik. “Mas Bagas, bangun!” ujarnya, suaranya penuh ketegangan.Bagas terbangun dengan terkejut, matanya masih setengah terpejam. “Argh! Apa sih?!” Dia menghempaskan tangan Ratih yang menggoyangnya.Ratih mundur sejenak, napasnya terengah-engah. Matanya berkaca-kaca, namun ada rasa ragu yang mendalam. Dia menatap Bagas, matanya mencoba mencari jawaban yang dia tak tahu harus dicari di mana. Namun, mulutnya tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnya. Bahkan, hati kecilnya menolak percaya bahwa semalam bukan Bagas yang bersamanya.“Ma—mas!” suara Ratih terdengar gemetar, namun dia masih ragu mengucapkan kata itu. Rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu.Bagas memandangnya dengan tatapan tajam. "Apa lagi sih, Tih?!" Suaranya terdengar kasar, seperti menahan amarah. Dia langsung duduk bersandar di tempat tidurnya, mengusap wajahnya dengan kasar.Ratih diam sejenak, kemudian perlahan memegang lengan suaminya, mengarahkan matanya pada tubuhnya y
"Nak Bagas!" Kyai Ahmad menyapa dengan suara lembut.Namun, Bagas hanya terus memeriksa hasil panennya. Kyai Ahmad berdiri beberapa langkah dari Bagas, melihatnya dengan penuh pertanyaan."Ah, lagi sibuk, ya? Ya, udah kalau begitu," katanya sambil menghela napas.Saat mau pergi, langkahnya terhenti sejenak. Kyai tahu ada sesuatu yang berbeda lagi dari diri Bagas.Kecurigaan Kyai mulai muncul. Aura gelap yang mengelilingi Bagas semakin terasa kuat. "Seperti ada yang nggak beres," gumam kyai Ahmad, hampir tidak terdengar.Dia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Namun, mata itu tetap tertuju pada Bagas. Tiba-tiba, seorang petani datang mendekat dan berbicara dengan cepat pada Bagas. Kyai mengamati dari kejauhan."Apa yang sedang mereka bicarakan?" Petani itu tampak tergesa-gesa, berbicara dalam bisikan. Setelah beberapa saat, Bagas mengangguk. Tanpa berkata banyak, Bagas berdiri dan mengikuti petani itu.Insting kyai yang tajam segera mengikuti mereka. "Ada yang nggak beres," pikirn
Ratih berdiri di depan Kyai, tubuhnya gemetar hebat, napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat, dan matanya yang merah menandakan kekhawatiran yang mendalam. "Mas Bagas pulang tengah malam, Kyai..." suaranya bergetar, seolah ada sesuatu yang menghalangi napasnya.Dia menghela napas panjang, berusaha mengendalikan diri, tapi kepanikan itu tak bisa dia tahan. "Dia... dia seperti berbeda. Ini bukan hanya kecurigaan kosong!" Ratih mengangkat tangannya, gemetar, mencoba mengontrol diri. Matanya penuh cemas, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.Kyai menatap Ratih dengan penuh perhatian, mendorongnya untuk melanjutkan. "Tenang, Nak," kata Kyai dengan lembut. "Ceritakan semuanya. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"Ratih menatap Kyai dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku pernah mengalami malam-malam aneh sebelumnya, Kyai... dan Kyai tau kan?" katanya, suaranya semakin lirih, penuh kesedihan yang terpendam.Kyai mengangguk perlahan, matanya seakan menembus jauh ke dalam di
"Ratih ... Ratih!" Suara teriakan Bagas memecah kesunyian.Wajahnya yang gelap dipenuhi rasa cemas. Seolah-olah dia sedang mengejar waktu yang terus berjalan. Bagas berlari ke dalam rumah. Dia kembali memanggil istrinya yang belum juga muncul. "Ah, mana sih dia ini!" gumamnya dengan kesal.Bagas merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suasana rumah yang biasanya tenang kini terasa begitu mencekam. Seakan ada ketegangan yang mengendap di udara.Tidak lama setelahnya, terdengar suara hiruk-pikuk dari kejauhan. Suara teriakan penduduk desa yang begitu lantang semakin mendekat dan jelas."Ayo, kita usir aja dia dari sini!" teriak salah seorang warga dengan penuh kebencian. "Iya, benar! Usir ... Usir!" seru yang lain."Kalau perlu kita bakar dia hidup-hidup!" suara yang lebih keras terdengar penuh amarah."Apa-apaan ini?" Bagas terperanjat. Jantung berdegup kencang. Mereka terdengar begitu penuh kebencian dan niat jahat. Seakan-akan mereka sudah menunggu kesempatan sejak lama. Dalam bebera
"Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s
"Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,
"Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.
"Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel
"Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.
"Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan
"Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p
"Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb
"Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war