Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 65. Bagas Berkuasa

Share

65. Bagas Berkuasa

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-05 16:09:34

"Juragan! Saya mohon, kasih saya waktu untuk membayar semuanya! Jangan potong gaji saya, Juragan!" Suara Agung penuh kepasrahan.

Bagas berdiri dengan tangan di pinggang, menatap pria itu dari atas, seperti seorang raja yang tengah memutuskan nasib rakyat jelatanya. Senyum dingin terlukis di wajahnya, penuh ejekan.

"Gung... Agung," ucap Bagas, suaranya rendah namun menusuk. "Kamu tahu nggak? Lihat dirimu sekarang. Berlutut, memohon-mohon. Kaya anjing kelaparan."

Agung menunduk, tidak mampu menatap mata Bagas. Ia tahu kata-kata itu benar, tetapi tetap sakit mendengarnya.

Bagas melangkah mendekat, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan tatapan penuh kebencian, dia melanjutkan, "Dulu, waktu aku yang di posisi itu, apa yang kamu lakukan, hah?!"

Agung mencoba membuka mulut, tetapi Bagas menyela dengan suara keras.

"Kamu tertawa! Kamu hina aku di depan semua orang desa. Kamu bilang aku dan Ratih itu manusia tak berguna, sampah yang nggak pantas tinggal di sini!"

Bagas me
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   66. Harga Diri

    Langit semakin gelap, senja cepat berganti malam. Suasana ladang sunyi, hanya desiran angin yang terdengar. Petani-petani pulang, kecuali satu wajah yang tertinggal—Agung.Agung berjalan perlahan, matanya penuh kebencian. Setiap langkahnya di tanah kering terdengar seperti ancaman bagi Bagas.Tatapan Agung penuh rencana, ingin membalas penghinaan Bagas. Setiap langkahnya membuat Bagas merasa ada yang aneh.Bagas menggeleng. Pikiran tentang tatapan Agung ia abaikan. Masalah lain lebih besar memenuhi kepalanya.Dia mengingat lagi ucapan Ratih tentang tiga hari yang hilang. Sesuatu terasa janggal."Ratih pasti salah," gumamnya, mencoba menenangkan diri. "Dia memang sering berlebihan."Bagas menepuk dahinya, berusaha melupakan semuanya.Ladang itu gelap, hanya bayang-bayang samar yang terlihat. Bagas duduk di kursi kayu, diam. Udara dingin menusuk tubuhnya.Pikirannya kacau. Wajah Agung terus terbayang. Kecurigaan mulai mengusik hatinya.Tiba-tiba, terdengar suara aneh.Srek! Srek!Bagas

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   67. Pengambilan Nyawa Kembali

    Agung mundur selangkah. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. "Ka—kamu kenapa , Bagas?" Bagas bangkit perlahan. Tatapannya dingin, menushm seperti belati. "Aku baik-baik aja, Gung. Hanya sedikit tersadar ... Bahwa aku terlalu baik sama kamu!" Pisau itu kini mengarah ke Agung. Bagas memutar-mutar gagangnya dengan santai, tapi sorott mata penuh ancaman, seolah siap mengoyak lawannya kapan saja."Kamu berhasil buat aku berdarah," ucapnya, senyum menyeringai lebar. "Sekarang, giliran kamu."Agung semakin gemetar. Keringat dingin membasahi wajahnya. Dia mencoba mundur lagi, tapi kakinya tersandung akar pohon, membuat tubuhnya tersungkur. "Bagas, tunggu! Jangan!" Agung berusaha menghentikan langkah Bagas yang kini semakin liar. Namun Bagas tidak peduli. Pisau itu tetap berada di tangannya, mengarah langsung ke Agung. Tapi langkah tiba-tiba terhenti. Bagas mendongak, mantap ke langit gelap. Bibirnya bergerakpelan, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak dimengerti oleh Agung.Agung memici

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   68. Malam yang Sama

    Ratih tersenyum kecil, lalu kembali memejamkan mata. "Kamu kenapa malam banget pulangnya, Mas?" gumamnya pelan, seolah tidak sadar ada sesuatu yang salah.Bagas berdiri di pintu kamar, memandangi adegan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tidak bisa—atau tidak mau—menghentikannya. Dengan tangan gemetar, dia menutup pintu perlahan.Dari balik pintu, terdengar suara napas berat yang berubah menjadi gemuruh rendah. Bagas tahu suara itu, tapi dia tidak ingin memikirkannya. Langkah kakinya perlahan menjauh dari pintu, keluar rumah.Udara malam menusuk kulitnya. Tapi yang paling menghantuinya adalah suara tawa samar dari dalam kamar.Dia berdiri di bawah pohon tua di dekat rumah, memandang ke langit yang gelap. "Ini terakhir kali," gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hati, dia tahu itu kebohongan.Harga ini sudah terlalu sering dia bayar. Dan dia tahu, semakin lama, harga itu akan semakin mahal.Ratih kembali memej

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   69. Jawaban Kosong

    Ratih mengguncang tubuh Bagas dengan panik. “Mas Bagas, bangun!” ujarnya, suaranya penuh ketegangan.Bagas terbangun dengan terkejut, matanya masih setengah terpejam. “Argh! Apa sih?!” Dia menghempaskan tangan Ratih yang menggoyangnya.Ratih mundur sejenak, napasnya terengah-engah. Matanya berkaca-kaca, namun ada rasa ragu yang mendalam. Dia menatap Bagas, matanya mencoba mencari jawaban yang dia tak tahu harus dicari di mana. Namun, mulutnya tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnya. Bahkan, hati kecilnya menolak percaya bahwa semalam bukan Bagas yang bersamanya.“Ma—mas!” suara Ratih terdengar gemetar, namun dia masih ragu mengucapkan kata itu. Rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu.Bagas memandangnya dengan tatapan tajam. "Apa lagi sih, Tih?!" Suaranya terdengar kasar, seperti menahan amarah. Dia langsung duduk bersandar di tempat tidurnya, mengusap wajahnya dengan kasar.Ratih diam sejenak, kemudian perlahan memegang lengan suaminya, mengarahkan matanya pada tubuhnya y

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   70. Penyelidikan

    "Nak Bagas!" Kyai Ahmad menyapa dengan suara lembut.Namun, Bagas hanya terus memeriksa hasil panennya. Kyai Ahmad berdiri beberapa langkah dari Bagas, melihatnya dengan penuh pertanyaan."Ah, lagi sibuk, ya? Ya, udah kalau begitu," katanya sambil menghela napas.Saat mau pergi, langkahnya terhenti sejenak. Kyai tahu ada sesuatu yang berbeda lagi dari diri Bagas.Kecurigaan Kyai mulai muncul. Aura gelap yang mengelilingi Bagas semakin terasa kuat. "Seperti ada yang nggak beres," gumam kyai Ahmad, hampir tidak terdengar.Dia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Namun, mata itu tetap tertuju pada Bagas. Tiba-tiba, seorang petani datang mendekat dan berbicara dengan cepat pada Bagas. Kyai mengamati dari kejauhan."Apa yang sedang mereka bicarakan?" Petani itu tampak tergesa-gesa, berbicara dalam bisikan. Setelah beberapa saat, Bagas mengangguk. Tanpa berkata banyak, Bagas berdiri dan mengikuti petani itu.Insting kyai yang tajam segera mengikuti mereka. "Ada yang nggak beres," pikirn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   71. Malam yang Berbeda

    Ratih berdiri di depan Kyai, tubuhnya gemetar hebat, napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat, dan matanya yang merah menandakan kekhawatiran yang mendalam. "Mas Bagas pulang tengah malam, Kyai..." suaranya bergetar, seolah ada sesuatu yang menghalangi napasnya.Dia menghela napas panjang, berusaha mengendalikan diri, tapi kepanikan itu tak bisa dia tahan. "Dia... dia seperti berbeda. Ini bukan hanya kecurigaan kosong!" Ratih mengangkat tangannya, gemetar, mencoba mengontrol diri. Matanya penuh cemas, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.Kyai menatap Ratih dengan penuh perhatian, mendorongnya untuk melanjutkan. "Tenang, Nak," kata Kyai dengan lembut. "Ceritakan semuanya. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"Ratih menatap Kyai dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku pernah mengalami malam-malam aneh sebelumnya, Kyai... dan Kyai tau kan?" katanya, suaranya semakin lirih, penuh kesedihan yang terpendam.Kyai mengangguk perlahan, matanya seakan menembus jauh ke dalam di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   72. Terik Amarah

    "Ratih ... Ratih!" Suara teriakan Bagas memecah kesunyian.Wajahnya yang gelap dipenuhi rasa cemas. Seolah-olah dia sedang mengejar waktu yang terus berjalan. Bagas berlari ke dalam rumah. Dia kembali memanggil istrinya yang belum juga muncul. "Ah, mana sih dia ini!" gumamnya dengan kesal.Bagas merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suasana rumah yang biasanya tenang kini terasa begitu mencekam. Seakan ada ketegangan yang mengendap di udara.Tidak lama setelahnya, terdengar suara hiruk-pikuk dari kejauhan. Suara teriakan penduduk desa yang begitu lantang semakin mendekat dan jelas."Ayo, kita usir aja dia dari sini!" teriak salah seorang warga dengan penuh kebencian. "Iya, benar! Usir ... Usir!" seru yang lain."Kalau perlu kita bakar dia hidup-hidup!" suara yang lebih keras terdengar penuh amarah."Apa-apaan ini?" Bagas terperanjat. Jantung berdegup kencang. Mereka terdengar begitu penuh kebencian dan niat jahat. Seakan-akan mereka sudah menunggu kesempatan sejak lama. Dalam bebera

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesugihan Genderuwo   73. Korban Hidup

    "Feri ke sini!" teriak salah satu penduduk desa. Mendengar nama itu, Bagas matanya langsung melotot. 'Nggak! Nggak mungkin dia kan? Dia kan udah mati! Nggak mungkin dia bisa bangkit dari kuburkan?!' batin Bagas bertanya-tanya. Feri berjalan perlahan dari kerumunan penduduk desa. Dialah anak Pak Lurah Marwan. “Ratih, aku nggak suka kamu bicara seolah-olah kami ini cuma menuduh tanpa alasan,” kata salah satu penduduk desa. Dia melangkah maju, menunjuk Bagas dengan tongkat kayunya. “Kami semua udah cukup lama tau apa yang dilakukan suamimu!” Ratih terkejut. Dia memandang Feri dengan tatapan bingung, lalu kembali melirik Bagas yang mulai menggertakkan gigi. “Feri ...!" Penduduk desa yang lainnya mengangkat tangannya, memberi isyarat agar seseorang dari kerumunan maju. Seorang petani yang bekerja di ladang Bagas. Wajahnya pucat, ketakutan. “Aku lihat sendiri, Bu Ratih,” ujar petani itu sambil menundukkan kepala. “Juragan membuat Feri ketakutan. Saya juga lihat ada sosok yang se

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   107. Tak Bisa Melepaskan

    Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,

  • Pesugihan Genderuwo   106. Bayangan Kelam

    "Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be

  • Pesugihan Genderuwo   105. Berbohong

    “Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men

  • Pesugihan Genderuwo   104. Ratih Mendatangi Bagas

    "Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola

  • Pesugihan Genderuwo   103. Panen Busuk

    "Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak

  • Pesugihan Genderuwo   102. Mengubur Hidup-hidup

    "Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu

  • Pesugihan Genderuwo   101. Aku adalah Kamu

    “Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri

  • Pesugihan Genderuwo   100. Bertubi-tubi

    "Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan

  • Pesugihan Genderuwo   99. Bayangan Mimpi

    “Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y

DMCA.com Protection Status